Bahwa informasi
merupakan sesuatu yang sangat penting dan telah menjadi komoditi yang bernilai
uang, tidak ada yang meragukan. Mungkin
Anda pernah ditelepon seseorang yang menawarkan ini dan itu. Dari mana di penelepon tahu nomor hp
Anda? Jangan kaget, bisa saja si
penelepon memperoleh nomer itu dari isian Anda saat menginap di hotel atau isian
saat Anda melakukan mengikuti di acara tertentu. Bukankah kita tidak pernah mengatakan bahwa
nomer hp kita rahasia, sehingga bisa saja nomer tersebut dicatat orang. Kata teman ahli IT, salah satu keuntungan
yang diperoleh Google adalah memiliki informasi penggunanya. Tahun 2014 saya diundang USAID Washington
untuk menyampaikan pemikiran tentang peningkatan kompetensi guru di Indonesia.
Sebelum saya berbicara, moderator menyampaikan siapa saya dengan detail. Pada hal, saya tidak pernah mengisi data
apapun sebelum itu. Dari mana dia tahu? Sangat mungkin melalui isian saya di Google
atau di acara-acara lain.
Berangkat dari kerangka
pikir bahwa informasi itu sangat penting, menurut saya mencari informasi,
mengolah informasi menjadi suatu simpulan sangat penting dikuasai. Oleh karena itu, kemampuan tersebut harus
diajarkan dan ditumbuhkembangkan pada anak-anal kita, khususnya melalui jalur
pendidikan. Bukankah salah satu
kompetensi pokok di era digital adalah solving
problem creatively (memecahkan masalah secara kreatif). Tentu untuk memecahkan masalah diperlukan
informasi yang cukup untuk dianalisis dan kemudian dicari solusinya yang paling
tepat.
Di era digital internet
telah menjadi sarana komunikasi yang semakin digemari orang. Internet juga telah menjadi tempat mengirim
data serta menjadi sumber informasi.
Namun harus dicatat, ibarat sungai yang ke dalam alirannya segala jenis
air masuk, maka data di internet berbaur antara informasi yang benar dan
akurat, informasi yang benar tetapi tidak akurat, dan bahkan data bohong atau
yang sekarang dikenal dengan hoax. Oleh
karena itu, kita harus hati-hati menggunakannya. Internet tetap menjadi sarana mencari
informasi yang cepat dan murah, tetapi harus divalidasi kebenaran dan
keakuratannya.
Sayangnya, kemampuan
mencari dan mengolah informasi belum tumbuh baik di sekolah dan universitas. Sebagai guru, saya mencoba menumbuhkan kesadaran
dan mendorong siswa, mahasiswa dan rekan guru untuk melakukannya. Ketika mengajar, mengisi pelatihan dan
seminar saya mencoba mendorong mahasiwa/peserta, namun tampaknya kurang
berhasil. Mereka tahu kalau di internet terdapat banyak data/informasi tetapi
belum terbiasa memanfaatkan. Itu terjadi tidak hanya di kampus Unesa tempat
saya mengajar, juga di beberapa kampus lain.
Tidak hanya terjadi pada seminar di Surabaya tetapi juga di kota lain.
Tanggal 23 Agustus
2019 saya memberi kuliah umum di FKIP Universitas Mulawarman Samarinda, yang
diikuti oleh mahasiswa perwakilan dari berbagai program studi. Saat itu saya menanyakan: “Jika rektor Unmul memutuskan untuk memberi beras
untuk makan sebulan dan gula untuk membuat kopi atau the dua kali sehari juga selama
sebulan, berapa uang yang diperlukan?” Jawaban yang muncul ternyata lucu.
Ada mahasiswa yang menjawab: “Diberi saja uang 50 ribu per hari, dan
disuruh mahasiswa mengaturnya”. Ada juga
yang menjawab: “Beras satu kilo 15 ribu dan gula satu kilo sekian ribu”. Ketika saya tanya berapa jumlah mahasiswa
Unmul, ada peserta menjawab 35 ribu.
Saya tanya dari mana didapat, dijawab “kata Pak Dekan”. Akhirnya saya pandu, ambil hp dan bukan
google dan browsing berapa jumlah mahasiswa Unmul. Saya minta browsing berapa konsumsi beras
seorang per hari, berapa gula untuk buat satu cangkir kopi, dan
sebagainya. Setelah itu, saya tanya
apakah bisa menghitung berapa uang yang diperlukan Pak Rektor? Hampir semua menjawab “bisa”.
Tanggal 24, besuknya
saya mengisi seminar yg dikuti oleh para guru, mahasiswa dan juga beberapa
dosen. Pada sesi tanya jawab, ada seorang guru SMP Negeri 1 Samarinda yang
bertanya bagaimana mengubah diri dari guru era lama menjadi guru millennial.
Terpicu pertanyaan itu, saya bertanya peserta kepada semua peserta: “Jika
walikota Samarinda memutuskan memberi subsidi beras kepada seluruh warganya
selama 1 minggu, berapa uang yang diperlukan?”.
Ternyata, mirip dengan sehari sebelumnya. Tidak ada peserta yang dapat dengan cepat menemukan
jawaban. Ketika saya pandu, dengan
mencari data di internet baru mereka mengatakan: “Ooooooo”.
Apa yang dapat
disimpulkan data fenomena seperti itu?
Apalagi fenomena seperti itu juga terjadi di beberapa tempat. Tampaknya di era informasi ini, yang kata
beberapa ahli ini zaman “information overloaded” ternyata kita belum pandai
memanfaatkannya. Kita miskin informasi di era informasi. Walaupun masyarakat
Indonesia dikenal paling banyak punya hp, tetapi belum memanfaatkan sebagai
alat mencari informasi. Semoga kita
dapat belajar lebih cepat dan lebih baik ke depan.