Sebenarnya saya enggan
menanggapi isu ini. Bahkan ketika
seorang kawan memberitahu ada wartawan ingin wawancara tentang isu ini saya
mengatakan apa yang perlu ditanggapi.
Mengapa demikan? Karena saya
yakin itu baru wacana, walaupun ada katanya presiden sudah setuju. Lha, gagasan impor dosen yang relatif lebih
sederhana saja sampai saat ini belum tahu jluntrungannya. Lha, keinginan untuk memotong tunjangan bagi
profesor yang tidak dapat menerbitkan artikel di jurnal internasional saja juga
tidak jelas kabarnya. Pada hal yang
terkahir ini sudah ada permennya dan konon sudah direvisi setelah mendapatkan
banyak reaksi.
Saya mulai terdorong
ketika wacana impor rektor melebar kemana-mana bahkan terakhir menyangkut
polemik profesor tua tidak produktif yang kemudian memicu reaksi dari UIN Sunan
Kalijogo Yogyakarta. Saya akan mulai
tulisan ini tentang profesor lebih dahulu baru nanti tentang rektor.
Bahwa profesor wajib
membuat karya ilmiah adalah suatu kewajaran, karena sebagai ilmuwan salah satu
kuwajibannya menyebarluaskan pemikirannya kepada masyarakat, khususnya yang
memiliki bidang atau ketertarikan yang sama.
Apa tujuannya? Agar pemikirannya
itu diketahui dan mendapatkan tanggapan, baik yang setuju maupun tidak setuju
atau bahkan menolak mentah-mentah. Hanya
dengan cara itulah ilmu akan berkembang.
Dalam istilah Einstein, kita ini berdiri di atas pundak-pundak raksasa
terdahulu. Artinya ilmu yang kita
pelajari dan kita gunakan saat ini merupakan akumulasi pemikiran/temuan para
ilmuwan/ahli di masa lalu.
Sayangnya, tujuan itu saat
ini seakan dibalik. Tujuannya bukan
untuk menyebarluaskan pemikirian tetapi mendapatkan poin dan dimuatkan artikel
di sebuah jurnal. Saya jadi teringat,
komentar teman muda dari Jojoran Surabaya yang saat ini menekuni material
science dan bekerja di NUS (National University of Singapore), teman-teman di
NUS lebih senang mempresentasikan temuannya di forum-forum conference yang
dihadiri oleh karangan industri, karena tujuan risetnya menemukan sesuatu untuk
pada saatnya digunakan di dunia industri.
Jadi jurnal bukankah satu-satunya medua penyebarluasnya pemikiran. Apalagi banyak jurnal yang ternyata bermuatan
bisnis penerbitan.
Jika berpegang pada
tujuan publikasi itu menyebarluaskan pemikiran dan pemikiran itu salah satu
kuwajiban profesor, sebenarnya penghentian tunjangan bagi profesor yang tidak
melakukan publikasi kurang “galak”.
Mestinya, jabatan profesornya yang “dihentikan” karena tidak memenuhi
kuwajibannya. Hanya saja, tampaknya ini
berisiko, karena akhir-akhir ini banyak profesor yang bukan dosen. Artinya orang yang tidak berprofesi sebagai
dosen bahkan mungkin juga tidak pernah mengajar tahu-tahu jadi profesor. Pada hal profesor itu jabatan akademik dosen,
yang untuk mencapai itu memerlukan persyaratan yang cukup berat. Nah, jika jabatan akademik profesor
dihentikan bagaimana profesor yang bukan dosen yang konon juga belum tentu
memiliki artikel yang dimuat di jurnal ilmiah.
Repot bukan?
Bagaimana dengan impor
rektor? Sebenarnya harus dijelaskan dulu apa tujuan mengimpor rektor. Yang pernah dimuat dimedia, adalah untuk
mengangkat peringkat universitas di Indonesia.
Kabarnya pemerintah ingin sekali universitas di Indonesia paling tidak
masuk ke peringkat 1-100, sementara sekarang baru masuk di sekitar angka
500. Pertanyaanya adalah jaminan rektor
yang diimpor itu mampu meningkatkan peringkat universitas kita? Atau apakah ada penelitian yang membuktikan
bahwa rektor adalah satu-satunya faktor penentu dalam upaya meningkatkan
peringkat universitas? Jujur saya tidak
tahu dan belum membaca penelitian seperti itu.
Oleh karena itu ada baiknya apa kriteria dalam perankingan universitas.
Paling tidak ada tiga lembaga
peranking universitas yang dikenal selama ini, yaitu Times Higher Education, Shanghai
dan QS. Times Higher Education
menggunakan lima indikator dalam meranking universitas, yaitu; (1) teaching,
(2) research, (3) citation, (4) international outlook, dan (5) industry income. Shanghai menggunakan lima indikator juga,
yaitu: (1) PUB: jumlah publikasi di jurnal ternama, (2) CNCI: citasi dari
publikasi, (3) IC: kolaborasi internasional, (4) TOP: jumlah publikasi di
jurnal-jurnal top dunia, dan (5) AWARD: jumlah penghargaan yang diterima
universitas dan dosen dari lembaga internasional ternama. Sedangkan QS (Quacquarelli
Symonds) meranking universitas dengan menggunakan enam kriteria yaitu: (1)
academic peer review: keterkenalan universitas oleh para pakar dunia, (2)
faculty/student ratio, (3) citation per faculty: sitasi per dosen, (4) employer
reputation, (5) international students ratio, dan (6) international staff
ration.
Dengan melihat
kriteria tersebut diatas, tampaknya peran dosen sangat dominan. TIga atau
bahkan empat indikator pada kriteria Times Higher Education tergantung pada dosen,
yaitu teaching, research, citation dan international outlook. Kelima indikator
pada Shanghai juga sangat ditentukan oleh dosen. Tiga dari enam indikator pada
QS: academic peer review, citation, dan faculty/student ration. Jadi produktivitas dosen, khususnya dalam
publikasi dan internaksi akademik tingkat internasional menjadi tumpuan. Dan keduanya akan dipengaruhi oleh riset dan
iklim akademik di kampusnya.
Sekarang
pertanyaannya apakah rektor impor mampu mendongkrak indikator tersebut? Rasanya sangat berat, karena memerlukan
gebrakan besar dan memerlukan kucuran dana cukup besar. Yang lebih tepat kalau riset kolaborasi
dengan perguruan tinggi di negara maju dikembangkan, sehingga menjadi modal
untuk menulis artikel dan penumbuhan iklim akademik di kampus. Belajar dari negara maju, universitas yang
banyak menghasilkan publikasi biasanya ditopang oleh mahasiswa program S3,
karena merekalah yang benar-benar melakukan penelitian day by by, sedangkan
pada profesor lebih banyak sebagai pengarah dan pereview. Nah jika kita ingin mendorong beberapa
universitas meraih ranking tinggi, sebaiknya dipilih beberapa yang memiliki
program S3 mapan dan kemudian didorong untuk memiliki riset unggulan yang
dengan ditopang dengan anggaran yang memadai.
Jika kemudian ingin
berkolaborasi dengan tim riset di universitas maju, dapat memanfaatkan dana
LPDP. Sebaiknya pengiriman mahasiswa ke
S2/S3 di negara lain, dibawah paying riset kolaborasi. Sebuah universitas di Indonesia membangun
riket kolaborasi dengan partnernya di negara maju dan di dalam dana riset itu
ada bagian beasiswa S2/S3. Pola semacam
itu akan sekali dayung dua pulau atau bahkan tiga pulau terlampaui. Menghasilkan doktor baru, menghasilkan riset
yang berkualitas dan juga menghasilkan artikel untuk jurnal ilmiah yang
berbobot.
Lantas bagaimana
dengan rektor? Bukankah manajemen
berpengaruh dalam pencipataan iklim kerja yang akhirnya berdampak pada kinerja
dosen? Menurut saya, itu memang benar. Namun lebih baik kalau pemilihan rektor
dibuat open biding dengan equal opportunity baik calon dari dalam maupun luar
negeri. Jadi topiknya bukan impor
rektor, tetapi mencari rektor yang kompeten.
Yang perlu dicatat, organisasi universitas tidak sama dengan perusahaan,
tidak sama dengan pemerintah daerah, apalagi tentara. Pola komando tidak akan efektif, karena para
profesor itu tidak merasa sebagai “bawahan” rektor, karena merasa punya
kepakaran yang mungkin tidak dimiliki rektor.
Juga sering para profesor itu lebih senior dibanding rektornya, atau
bahkan rektor itu bekas mahasiswanya.
Belum lagi profesor itu punya masa jabatan pendek (4-5 tahun), sehingga
setelah selesai ya menjadi dosen biasa lagi.
Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar