Sabtu, 10 Agustus 2019

IMPOR REKTOR


Sebenarnya saya enggan menanggapi isu ini.  Bahkan ketika seorang kawan memberitahu ada wartawan ingin wawancara tentang isu ini saya mengatakan apa yang perlu ditanggapi.  Mengapa demikan?  Karena saya yakin itu baru wacana, walaupun ada katanya presiden sudah setuju.  Lha, gagasan impor dosen yang relatif lebih sederhana saja sampai saat ini belum tahu jluntrungannya.  Lha, keinginan untuk memotong tunjangan bagi profesor yang tidak dapat menerbitkan artikel di jurnal internasional saja juga tidak jelas kabarnya.  Pada hal yang terkahir ini sudah ada permennya dan konon sudah direvisi setelah mendapatkan banyak reaksi.

Saya mulai terdorong ketika wacana impor rektor melebar kemana-mana bahkan terakhir menyangkut polemik profesor tua tidak produktif yang kemudian memicu reaksi dari UIN Sunan Kalijogo Yogyakarta.  Saya akan mulai tulisan ini tentang profesor lebih dahulu baru nanti tentang rektor.


Bahwa profesor wajib membuat karya ilmiah adalah suatu kewajaran, karena sebagai ilmuwan salah satu kuwajibannya menyebarluaskan pemikirannya kepada masyarakat, khususnya yang memiliki bidang atau ketertarikan yang sama.  Apa tujuannya?  Agar pemikirannya itu diketahui dan mendapatkan tanggapan, baik yang setuju maupun tidak setuju atau bahkan menolak mentah-mentah.  Hanya dengan cara itulah ilmu akan berkembang.  Dalam istilah Einstein, kita ini berdiri di atas pundak-pundak raksasa terdahulu.  Artinya ilmu yang kita pelajari dan kita gunakan saat ini merupakan akumulasi pemikiran/temuan para ilmuwan/ahli di masa lalu.

Sayangnya, tujuan itu saat ini seakan dibalik.  Tujuannya bukan untuk menyebarluaskan pemikirian tetapi mendapatkan poin dan dimuatkan artikel di sebuah jurnal.  Saya jadi teringat, komentar teman muda dari Jojoran Surabaya yang saat ini menekuni material science dan bekerja di NUS (National University of Singapore), teman-teman di NUS lebih senang mempresentasikan temuannya di forum-forum conference yang dihadiri oleh karangan industri, karena tujuan risetnya menemukan sesuatu untuk pada saatnya digunakan di dunia industri.  Jadi jurnal bukankah satu-satunya medua penyebarluasnya pemikiran.  Apalagi banyak jurnal yang ternyata bermuatan bisnis penerbitan.

Jika berpegang pada tujuan publikasi itu menyebarluaskan pemikiran dan pemikiran itu salah satu kuwajiban profesor, sebenarnya penghentian tunjangan bagi profesor yang tidak melakukan publikasi kurang “galak”.  Mestinya, jabatan profesornya yang “dihentikan” karena tidak memenuhi kuwajibannya.  Hanya saja, tampaknya ini berisiko, karena akhir-akhir ini banyak profesor yang bukan dosen.  Artinya orang yang tidak berprofesi sebagai dosen bahkan mungkin juga tidak pernah mengajar tahu-tahu jadi profesor.  Pada hal profesor itu jabatan akademik dosen, yang untuk mencapai itu memerlukan persyaratan yang cukup berat.  Nah, jika jabatan akademik profesor dihentikan bagaimana profesor yang bukan dosen yang konon juga belum tentu memiliki artikel yang dimuat di jurnal ilmiah.  Repot bukan?

Bagaimana dengan impor rektor? Sebenarnya harus dijelaskan dulu apa tujuan mengimpor rektor.  Yang pernah dimuat dimedia, adalah untuk mengangkat peringkat universitas di Indonesia.  Kabarnya pemerintah ingin sekali universitas di Indonesia paling tidak masuk ke peringkat 1-100, sementara sekarang baru masuk di sekitar angka 500.  Pertanyaanya adalah jaminan rektor yang diimpor itu mampu meningkatkan peringkat universitas kita?  Atau apakah ada penelitian yang membuktikan bahwa rektor adalah satu-satunya faktor penentu dalam upaya meningkatkan peringkat universitas?  Jujur saya tidak tahu dan belum membaca penelitian seperti itu.  Oleh karena itu ada baiknya apa kriteria dalam perankingan universitas.

Paling tidak ada tiga lembaga peranking universitas yang dikenal selama ini, yaitu Times Higher Education, Shanghai dan QS.  Times Higher Education menggunakan lima indikator dalam meranking universitas, yaitu; (1) teaching, (2) research, (3) citation, (4) international outlook, dan (5) industry income.  Shanghai menggunakan lima indikator juga, yaitu: (1) PUB: jumlah publikasi di jurnal ternama, (2) CNCI: citasi dari publikasi, (3) IC: kolaborasi internasional, (4) TOP: jumlah publikasi di jurnal-jurnal top dunia, dan (5) AWARD: jumlah penghargaan yang diterima universitas dan dosen dari lembaga internasional ternama.  Sedangkan QS (Quacquarelli Symonds) meranking universitas dengan menggunakan enam kriteria yaitu: (1) academic peer review: keterkenalan universitas oleh para pakar dunia, (2) faculty/student ratio, (3) citation per faculty: sitasi per dosen, (4) employer reputation, (5) international students ratio, dan (6) international staff ration.

Dengan melihat kriteria tersebut diatas, tampaknya peran dosen sangat dominan. TIga atau bahkan empat indikator pada kriteria Times Higher Education tergantung pada dosen, yaitu teaching, research, citation dan international outlook. Kelima indikator pada Shanghai juga sangat ditentukan oleh dosen. Tiga dari enam indikator pada QS: academic peer review, citation, dan faculty/student ration.  Jadi produktivitas dosen, khususnya dalam publikasi dan internaksi akademik tingkat internasional menjadi tumpuan.  Dan keduanya akan dipengaruhi oleh riset dan iklim akademik di kampusnya.

Sekarang pertanyaannya apakah rektor impor mampu mendongkrak indikator tersebut?  Rasanya sangat berat, karena memerlukan gebrakan besar dan memerlukan kucuran dana cukup besar.  Yang lebih tepat kalau riset kolaborasi dengan perguruan tinggi di negara maju dikembangkan, sehingga menjadi modal untuk menulis artikel dan penumbuhan iklim akademik di kampus.  Belajar dari negara maju, universitas yang banyak menghasilkan publikasi biasanya ditopang oleh mahasiswa program S3, karena merekalah yang benar-benar melakukan penelitian day by by, sedangkan pada profesor lebih banyak sebagai pengarah dan pereview.  Nah jika kita ingin mendorong beberapa universitas meraih ranking tinggi, sebaiknya dipilih beberapa yang memiliki program S3 mapan dan kemudian didorong untuk memiliki riset unggulan yang dengan ditopang dengan anggaran yang memadai.

Jika kemudian ingin berkolaborasi dengan tim riset di universitas maju, dapat memanfaatkan dana LPDP.  Sebaiknya pengiriman mahasiswa ke S2/S3 di negara lain, dibawah paying riset kolaborasi.  Sebuah universitas di Indonesia membangun riket kolaborasi dengan partnernya di negara maju dan di dalam dana riset itu ada bagian beasiswa S2/S3.  Pola semacam itu akan sekali dayung dua pulau atau bahkan tiga pulau terlampaui.   Menghasilkan doktor baru, menghasilkan riset yang berkualitas dan juga menghasilkan artikel untuk jurnal ilmiah yang berbobot. 

Lantas bagaimana dengan rektor?  Bukankah manajemen berpengaruh dalam pencipataan iklim kerja yang akhirnya berdampak pada kinerja dosen?  Menurut saya, itu memang benar.  Namun lebih baik kalau pemilihan rektor dibuat open biding dengan equal opportunity baik calon dari dalam maupun luar negeri.  Jadi topiknya bukan impor rektor, tetapi mencari rektor yang kompeten.  Yang perlu dicatat, organisasi universitas tidak sama dengan perusahaan, tidak sama dengan pemerintah daerah, apalagi tentara.  Pola komando tidak akan efektif, karena para profesor itu tidak merasa sebagai “bawahan” rektor, karena merasa punya kepakaran yang mungkin tidak dimiliki rektor.  Juga sering para profesor itu lebih senior dibanding rektornya, atau bahkan rektor itu bekas mahasiswanya.  Belum lagi profesor itu punya masa jabatan pendek (4-5 tahun), sehingga setelah selesai ya menjadi dosen biasa lagi.  Semoga.

Tidak ada komentar: