Walaupun tinggal di
Surabaya dan ketika muda sering sekali bermain di daerah Pacarkeling, lokasi
jalan kalasan di mana asrama mahasiwa Papua itu berada, saya belum pernah
melihat asrama tersebut. Lokasi dimana
jl Kalasan berada masih dapat saya ingat, karena dahulu sering bermain di
daerah itu. Namun sudah sekian tahun tidak lewat, sehingga tidak tahu kalau ada
asrama mahasiwa Papua disitu. Jadi
ketika terjadi peristiwa yang memicu demonstrasi di berbagai daerah, saya hanya
bisa membayangkan saja.
Saya
bukan sosiolog, juga bukan psikolog, sehingga saya hanya dapat memahami
peristiwa itu berdasar pengalaman sebagai orangtua dan guru. Namun saya berprinsip semua kejadian itu ada
hikmahnya. Semua kejadian itu merupakan
pelajaran yang diberikan oleh Tuhan agar kita belajar, mengapa itu terjadi dan
bagaimana agar peristiwa yang kurang baik tidak terjadi lagi, sedangkan kejadian
yang baik dapat direplikasi. Itu mungkin
yang oleh guru ngaji saya dikatakan mengapa manusia diberi akal untuk berpikir.
Nah, mencermati berita
tetang kejadian di jl Kalasan itu dan juga demosntrasi di beberapa daerah serta
bagaimana Gubernur Jawa Timur dan Walikota Surabaya, yang kebetulan keduanya
wanita, meminta maaf kepada saudara kita di Papua, saya jadi teringat beberapa
prinsip pendidikan karakter dan juga kompetensi pokok di era digital. Mungkinkah kejadian itu memang dijadikan oleh
Tuhan untuk membuat kita teringat, menginternalisasi dan kemudian melaksanakan
kedua prinsip itu? Jujur saya tidak tahu
dan merasa tidak memiliki otoritas menjawabnya.
Namun, ijinkan di tulisan pendek ini saya berbagi pendapat.
Salah satu kompetensi
pokok yang diperlukan di era global adalah living
together in a harmony (hidup bekerja dan bermasyarakat secara harmonis).
Untuk itu diperlukan tidak syarat dasar, yaitu (1) memiliki kemampuan
berkomunikasi, baik sebagai pendengar/pembaca maupun pembicara/ penulis, dan
(2) memiliki kemampuan bekerjasama dengan saling menghargai. Nah untuk kedua kedua kemampuan itu
diperlukan kesadaran bahwa perbedaan itu merupakan fitrah, sehingga kita harus
dapat menerimanya. Kita harus memahami
dan menghargai saudara atau teman yang berbeda secara fisik, kemampuan maupun
budaya.
Dalam
konsep pendidikan karakter, kita diajarkan empat prinsip dasar peran manusia
dalam kehidupan, yaitu (1) manusia sebagai makhluk Tuhan, (2) manusia pribadi
yang mandiri, (3) manusia sebagai bagian dari keluarga/masyarakat/warga negara,
dan (4) manusia sebagai bagian dari lingkungan.
Keempat peran tersebut saling
terkait, dan peran pertama menjadi roh dari ketiga peran lainnya.
Sebagai
makhluk Tuhan, manusia wajib mengikuti prinsip-prinsip ajaran agama yang
dianutnya, dengan keyakinan bahwa itulah yang terbaik bagi dirinya. Sebagai pribadi mandiri, manusia harus
menyadari kelebihan dan kekurangannya, dan memanfaatkan kelebihan yang
diberikan oleh Tuhan untuk kebaikan dan berusaha mengurangi kekurangannya. Sebagai bagian dari masyarakat, manusia harus
menjadikan dirinya bermanfaat bagi masyarakat di lingkungannya. Sebagai bagian dari lingkungan, manusia
diamanahi Tuhan untuk menjaga kelestariannya.
Jika kita memahami
peran manusia yang kedua dan prinsip living together in a harmony, rasanya
peristiwa di asrama mahasiswa Papua di Jalan Kalasan Surabaya itu tidak perlu
terjadi. Karena sudah terjadi, maka itu
harus kita jadikan pelajaran buat kita semua, bagaimana agar kejadian seperti
itu tidak terulang kembali. JIka benar
bahwa kejadian itu dipicu oleh oknum mahasiswa yang memperlakukan bendera merah
putih tidak selayaknya, maka kita semua harus memahami bahwa bendera adalah
lambing negara yang harus kita hormati.
Seingat saya ada lagu kebangsaan yang berjudul “Berkibarlah Benderaku”. Dalam lagu tersebut ada bait yang berbunyi
“siapa berani menurunkan kau, serentak rakyatmu membela”.
Jika benar kemudian
ada oknum yang mengata-ngatai mahasiswa dengan ungkapan tidak pantas, maka kita
harus memahami bahwa semua warga negara sama kedudukannya. Tidak boleh ada seseorang yang merasa lebih
tinggi dibanding yang lain. Tidak boleh
mengatakan orang lain lebih rendah kedudukannya dibanding dirinya. Apalagi jika ungkapan itu mengaitkan dengan
ras, suku dan agama, yang sangat mungkin menimbulkan ketersinggungan
masif. Yang tersinggung bukan seorang,
tetapi banyak orang yang teridentikkan dengan suku/ras/agama yang
diolokkan. Mungkin itulah yang
menyebabkan terjadinya demonstrasi di beberapa daerah Papua.
Berlajar dari kejadian itu, siapapun yang merasa
menjadi orangtua, sebagai guru, sebagai pemimpin, sebagai tokoh masyarakat,
mengingatkan kepada anak-anak kita, saudara-saudara kita agar tidak mengulangi
kejadian tersebut. Dan itu harus kita
mulai dari sendiri dan sekarang juga. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar