Jumat, 23 Agustus 2019

INSPIRASI KEJADIAN DI ASRAMA MAHASISWA PAPUA DISURABAYA


Walaupun tinggal di Surabaya dan ketika muda sering sekali bermain di daerah Pacarkeling, lokasi jalan kalasan di mana asrama mahasiwa Papua itu berada, saya belum pernah melihat asrama tersebut.  Lokasi dimana jl Kalasan berada masih dapat saya ingat, karena dahulu sering bermain di daerah itu. Namun sudah sekian tahun tidak lewat, sehingga tidak tahu kalau ada asrama mahasiwa Papua disitu.  Jadi ketika terjadi peristiwa yang memicu demonstrasi di berbagai daerah, saya hanya bisa membayangkan saja.

Saya bukan sosiolog, juga bukan psikolog, sehingga saya hanya dapat memahami peristiwa itu berdasar pengalaman sebagai orangtua dan guru.  Namun saya berprinsip semua kejadian itu ada hikmahnya.  Semua kejadian itu merupakan pelajaran yang diberikan oleh Tuhan agar kita belajar, mengapa itu terjadi dan bagaimana agar peristiwa yang kurang baik tidak terjadi lagi, sedangkan kejadian yang baik dapat direplikasi.  Itu mungkin yang oleh guru ngaji saya dikatakan mengapa manusia diberi akal untuk berpikir.

Nah, mencermati berita tetang kejadian di jl Kalasan itu dan juga demosntrasi di beberapa daerah serta bagaimana Gubernur Jawa Timur dan Walikota Surabaya, yang kebetulan keduanya wanita, meminta maaf kepada saudara kita di Papua, saya jadi teringat beberapa prinsip pendidikan karakter dan juga kompetensi pokok di era digital.  Mungkinkah kejadian itu memang dijadikan oleh Tuhan untuk membuat kita teringat, menginternalisasi dan kemudian melaksanakan kedua prinsip itu?  Jujur saya tidak tahu dan merasa tidak memiliki otoritas menjawabnya.  Namun, ijinkan di tulisan pendek ini saya berbagi pendapat.

Salah satu kompetensi pokok yang diperlukan di era global adalah living together in a harmony (hidup bekerja dan bermasyarakat secara harmonis). Untuk itu diperlukan tidak syarat dasar, yaitu (1) memiliki kemampuan berkomunikasi, baik sebagai pendengar/pembaca maupun pembicara/ penulis, dan (2) memiliki kemampuan bekerjasama dengan saling menghargai.  Nah untuk kedua kedua kemampuan itu diperlukan kesadaran bahwa perbedaan itu merupakan fitrah, sehingga kita harus dapat menerimanya.  Kita harus memahami dan menghargai saudara atau teman yang berbeda secara fisik, kemampuan maupun budaya.

Dalam konsep pendidikan karakter, kita diajarkan empat prinsip dasar peran manusia dalam kehidupan, yaitu (1) manusia sebagai makhluk Tuhan, (2) manusia pribadi yang mandiri, (3) manusia sebagai bagian dari keluarga/masyarakat/warga negara, dan (4) manusia sebagai bagian dari lingkungan.   Keempat peran tersebut saling terkait, dan peran pertama menjadi roh dari ketiga peran lainnya. 

Sebagai makhluk Tuhan, manusia wajib mengikuti prinsip-prinsip ajaran agama yang dianutnya, dengan keyakinan bahwa itulah yang terbaik bagi dirinya.  Sebagai pribadi mandiri, manusia harus menyadari kelebihan dan kekurangannya, dan memanfaatkan kelebihan yang diberikan oleh Tuhan untuk kebaikan dan berusaha mengurangi kekurangannya.  Sebagai bagian dari masyarakat, manusia harus menjadikan dirinya bermanfaat bagi masyarakat di lingkungannya.  Sebagai bagian dari lingkungan, manusia diamanahi Tuhan untuk menjaga kelestariannya.

Jika kita memahami peran manusia yang kedua dan prinsip living together in a harmony, rasanya peristiwa di asrama mahasiswa Papua di Jalan Kalasan Surabaya itu tidak perlu terjadi.   Karena sudah terjadi, maka itu harus kita jadikan pelajaran buat kita semua, bagaimana agar kejadian seperti itu tidak terulang kembali.  JIka benar bahwa kejadian itu dipicu oleh oknum mahasiswa yang memperlakukan bendera merah putih tidak selayaknya, maka kita semua harus memahami bahwa bendera adalah lambing negara yang harus kita hormati.  Seingat saya ada lagu kebangsaan yang berjudul “Berkibarlah Benderaku”.   Dalam lagu tersebut ada bait yang berbunyi “siapa berani menurunkan kau, serentak rakyatmu membela”.


Jika benar kemudian ada oknum yang mengata-ngatai mahasiswa dengan ungkapan tidak pantas, maka kita harus memahami bahwa semua warga negara sama kedudukannya.  Tidak boleh ada seseorang yang merasa lebih tinggi dibanding yang lain.  Tidak boleh mengatakan orang lain lebih rendah kedudukannya dibanding dirinya.  Apalagi jika ungkapan itu mengaitkan dengan ras, suku dan agama, yang sangat mungkin menimbulkan ketersinggungan masif.  Yang tersinggung bukan seorang, tetapi banyak orang yang teridentikkan dengan suku/ras/agama yang diolokkan.  Mungkin itulah yang menyebabkan terjadinya demonstrasi di beberapa daerah Papua.

Berlajar dari kejadian itu, siapapun yang merasa menjadi orangtua, sebagai guru, sebagai pemimpin, sebagai tokoh masyarakat, mengingatkan kepada anak-anak kita, saudara-saudara kita agar tidak mengulangi kejadian tersebut.  Dan itu harus kita mulai dari sendiri dan sekarang juga.  Semoga.    


Tidak ada komentar: