Meluruskan Makna Life Skills
Ketika pertama kali saya menggunakan istilah life
skill, di dalam naskah pidato pengukuhan guru besar pada 14 Desember 1998,
banyak kawan mempertanyakan apa maknanya.
Apakah itu sama dengan basic skill dalam konsep pendidikan
vokasional atau skill dalam taksonomi Bloom? Jawaban saya saat itu life skill
adalah kecakapan hidup, yaitu kecakapan yang diperlukan seseorang untuk dapat
sukses dalam kehidupannya, persis seperti yang kita temukan dalam bab Mencermati Orang-orang Sukses.
Sengaja digunakan istilah ”kecakapan” sebagai kata
Indonesia (terjemahan) dari ”skill”
dan bukan ”keterampilan”. Hal itu semata-mata untuk menghindari penyempitan
arti skill sebagai keterampilan manual. Mengapa demikian? Karena selama ini, istilah keterampilan
diasosiasikan dengan keterampilan psikomotorik dari taksonomi Bloom, sehingga
maknanya menyempit menjadi keterampilan yang bersifat manual saja. Akibatnya, ketika konsep life skill
diperkenalkan kepada sekolah, banyak SD dan SMP yang mengadakan program keterampilan
bagi siswa, misalnya siswa SD diajari memelihara itik, membuat keset (untuk membersihkan kaki, sebelum
masuk rumah) dan sebagainya. Bukan
berarti, siswa SD tidak boleh berlajar keterampilan manual, tetapi life
skill jauh lebih luas dari sekadar ketrampilan manual.
Penggunaan kata life skill dalam makna
lain, juga terjadi pada Undang-undang nomor 20 Tahun 2003, tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Pada pasal 26, ayat (3) disebutkan bahwa pendidikan
nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini,
pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan
keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan,
serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta
didik. Rumusan tersebut mengesankan
bahwa pendidikan kecakapan hidup merupakan bentuk ”program pendidikan”, seperti
program pendidikan kepemudaan dan sebagainya.
Jadi bukan suatu substansi pendidikan.
Seperti yang akan diuraian lebih lanjut, pada buku
ini pendidikan kecakapan hidup (life skill education) dimaknai sebagai
substansi pendidikan, yaitu pendidikan yang mengajarkan kecakapan untuk
menggapai kesuksesan hidup, sebagaimana digambarkan pada bab Mencermati Orang-orang Sukses. Substansi life skill dapat masuk ke
berbagai program pendidikan, karena pada dasarnya pendidikan memang menyiapkan
anak didik agar sukses di kehidupannya kelak.
Saya merasa heran ketika pada tahun 2001 istilah life
skill tiba-tiba muncul dan cepat populer di Indonesia dan bahkan dari
penelusuran di media internet, ternyata juga banyak negara yang sudah
menggunakan istilah itu dengan arti yang berbeda-beda. Dalam dunia maya (internet) kini ada beberapa
situs yang namanya terkait dengan life skill. Bahkan ada banyak situs yang secara khusus
memuat berbagai hal yang terkait dengan life skill, misalnya program life
skill untuk remaja dan bahkan ada program life skill khusus untuk
isteri pelaut. Unesco juga pernah
menyeponsori pertemuan yang membahas program-program life skill education,
salah satunya di Seoul Korea Selatan, pada Desember 2003.
Salah satu negara yang relatif sangat serius dalam
mengembangkan pendidikan kecakapan hidup (life skill education) adalah
Hongkong. Melalui Basic Education
Curriculum Guide: Building in Strength 2002, Hongkong tampak berusaha menyempurnakan
pendidikannya dengan memasukkan life skill ke dalamnya. Dalam naskah tersebut dimuat, apa yang mereka
sebut sebagai National Learning Goals, yang ternyata isinya juga mirip
dengan life skill yang kita hasilkan lewat proses induksi, seperti diuraikan di bab terdahulu.
Negara lain yang juga getol mengembangkan konsep
pendidikan yang mirip life skill adalah New Zealand. Dari berbagai
dokumen, diketahui bahwa mereka telah merumuskannya pada tahun 1993, dalam The
New Zealand Curriculum Framework. Mereka menyebutnya dengan istilah ”the
essential skills”, yang ingin dikembangkan melalui pendidikan di negara
tersebut. Dalam dokumen tersebut
tertulis, the essential skills merupakan kecakapan yang diperlukan
generasi muda, untuk dapat berpatisipasi secara efektif dalam kehidupan di
masyarakat.
Walaupun makna life skill yang dipakai oleh
para pengguna dari berbagai negara berbeda-beda, tetapi jika dicermati mengandung
satu makna universal, yaitu kecakapan yang diperlukan untuk menghadapi problema
kehidupan dan kemudian secara aktif dan kreatif memecahkannya. Bukankah pengertian itu identik dengan
pengertian yang kita gunakan pada bab Mencermati
Orang-orang Sukses? Bukankah untuk sukses, memang diperlukan
kecakapan untuk menghadapi dan memecahkan masalah kehidupan secara
kreatif? Bahkan beberapa ahli
menyatakan, diperlukan kecakapan untuk mengantisipasi akan adanya masalah dan
kemudian mengubah masalah tersebut menjadi manfaat. Oleh karena itu, dalam buku ini, life
skill tetap diartikan sebagai kecakapan yang diperlukan untuk menggapai
kesuksesan hidup.
Kata ”sukses” mengandung makna yang luas dan tidak
tepat sama rinciannya bagi setiap orang.
Seperti disinggung pada bab sebelumnya, tentu orang tua tidak ingin
anaknya hanya sukses dalam aspek karier dan materi, tetapi gagal dalam membina
rumah tangga. Orang tua juga tidak ingin
anaknya sukses dalam membina rumah tangga dan materi, tetapi tidak disenangi
oleh masyarakat sekitarnya. Mereka tidak
ingin anaknya sukses dalam karier dan kaya, tetapi tidak taat beragama. Sebaliknya orangtua tidak puas jika anaknya anaknya
taat menjalankan ibadah ritual, seperti shalat, puasa dan membayar zakat serta
telah melaksanakan ibadah haji, tetapi gagal dalam karier dan berumah tangga.
Jika peran manusia dalam kehidupan dapat
diidentifikasi, kita dapat melakukan analisis untuk menemukan kecakapan hidup
yang diperlukan untuk melaksanakan peran tersebut. Jika kecakapan hidup dapat ditemukan, maka
kita dapat menyiapkan pola pendidikan yang mampu mengembangkan kecakapan
tersebut, baik itu untuk dilaksanakan di keluarga maupun di sekolah. Dengan cara itu, pendidikan yang kita lakukan
akan benar-benar mengembangkan kecakapan yang diperlukan untuk memerankan diri
dalam kehidupan di masa datang.
Empat Peran dalam Kehidupan
Dari berbagai referensi dan pengamatan terhadap
kehidupan sehari-hari, saya mencoba mengkonstruksi peran manusia dalam
kehidupan, seperti tampak pada Gambar 2. Setiap
orang memiliki empat peran dalam kehidupan, yang dilaksanakan secara
bersama-sama dan simultan, yaitu sebagai pribadi yang mandiri, sebagai anggota
keluarga, sebagai anggota masyarakat, sebagai bagian dari lingkungan alam, dan
terakhir tetapi sangat penting adalah sebagai hamba Tuhan Yang Maha Esa.
Sebagai pribadi yang mandiri, seseorang dituntut
untuk mampu menghadapi dan memecahkan problema yang dihadapi. Di dalam pekerjaan, tentu selalu ada problema
yang harus dipecahkan dan bahkan orang yang tidak bekerja, dalam arti mencari
uang seperti ibu rumah tangga, juga selalu menghadapi problema. Anak kecil yang rewel dan minyak goreng
habis, di saat akan masak adalah contoh problema bagi ibu rumah tangga. Anak sekolah juga selalu menghadapi problema,
misalnya harus mengerjakan PR (pekerjaan rumah) di saat ingin ikut ibunya ke
toko atau besuk akan ulangan tetapi sore
ini ada siaran final AFI (Akademi Fantasi) di Indosiar. Pramuka yang sedang sendirian di hutan, juga
menghadapi problema seperti itu, misalnya ketika berjalan ada sungai di
depannya, sehingga harus memilih menyeberang dengan risiko basah dan bahkan
tenggelam atau berjalan melingkar tetapi jauh atau ada cara lain yang harus
ditemukan.
Gambar 2 Peran manusia dalam kehidupan
Kecakapan seperti itu seringkali disebut kecakapan
personal (personal skill), yaitu kecakapan yang diperlukan untuk
mampu menjadi pribadi yang mandiri dan tidak selalu bergantung pada
orang lain. Kecakapan personal diperlukan, walaupun yang bersangkutan hidup
seorang diri di tengah hutan. Untuk itu
diperlukan kecakapan untuk memahami problema yang dihadapi, menggali
informasi yang relevan guna menyempurnakan pemahaman tersebut, menganalisis
dan menemukan alternatif-alternatif untuk mengatasi problema tadi, serta
mengambil keputusan alternatif mana yang akan diambil.
Setiap orang akan selalu menghadapi problema dalam
kehidupannya, yang jenis dan tingkatannya berbeda sesuai dengan usia dan
profesinya. Problema yang dihadapi siswa
SD tentu berbeda dengan yang dihadapi mahasiswa, berbeda dengan ibu rumah
tangga, berbeda dengan pedagang, berbeda dengan pegawai di kantor
pemerintahan. Tetapi yang pasti, setiap
orang akan selalu menghadapi problema yang menuntut untuk dipecahkan secara kreatif
dan arif.
Untuk mampu memahami suatu masalah secara utuh,
diperlukan berbagai informasi yang relevan.
Berbagai informasi tersebut selanjutnya dianalisis untuk menghasilkan
pemahaman yang lebih utuh dan akurat.
Tanpa adanya informasi yang lengkap dan analisis yang baik, pemahaman
tidak akan dapat sempurna. Oleh karena
itu, kecakapan menggali dan menganalisis informasi merupakan bagian dari
pemahaman suatu problema.
Pemecahan yang kreatif adalah yang mampu menghasilkan solusi
yang efektif dengan waktu cepat, tenaga sedikit dan biaya yang minimal,
sedangkan pemecahan yang arif artinya pemecahan yang memperhitungkan
dampak negatif yang terjadi, baik bagi diri sendiri, orang-orang lain yang
terkait maupun lingkungan alam sekitarnya.
Orang
yang mampu memecahkan problema yang dihadapinya secara kreatif dan arif,
seringkali menyebabkan yang bersangkutan sukses dalam profesinya. Orang seperti itu seakan justru memperoleh
manfaat dari problema yang dihadapi, karena lebih dahulu menemukan solusi dibanding
orang lain yang menghadapi problema serupa.
Seorang guru yang menghadapi siswa yang nakal, kemudian menemukan metoda
mengajar yang mampu mengarahkan kenakalan siswa tadi, menjadi semangat
berkompetisi, akan menjadikan yang bersangkutan sebagai rujukan atau guru
tempat bertanya bagi guru yang lain.
Seorang pedagang yang menghadapi problema harga barang naik-turun,
kemudian menemukan metoda untuk mengantisipasinya, akan menjadi pedagang yang
terus memperoleh keuntungan.
Untuk mampu memahami masalah
yang dihadapi, menggali informasi yang terkait, melakukan analisis secara
cermat, menemukan alternatif-alternatif yang ada dan mampu memilih alternatif
yang paling baik, tentu diperlukan keahlian yang terkait dengan bidang
tersebut. Pada contoh kasus Pak Didik, si
tukang bengkel mobil pada Bab sebelumnya, disebut sebagai ciri menguasai
bidang pekerjaannya.
Kemampuan
yang diperlukan untuk menjadi tukang bengkel tentu berbeda dengan kemapuan
menjadi guru dan berbeda dengan politisi.
Oleh karena itu kecakapan hidup seperti itu disebut kecakapan hidup
spesifik (specific skill). Apakah
kecakapan hidup spesifik cukup sebagai bekal sukses dalam menekuni keahliannya? Ternyata tidak cukup. Diperlukan kemampuan menggali informasi lain
yang terkait, melakukan analisis yang holistik dan cermat, menemukan beberapa
alternatif pemecahan dan mampu memilih alternatif yang terbaik.
Mungkin ada yang bertanya,
apakah ada orang ahli dalam bidangnya, tetapi tidak mampu melakukan analisis
terhadap problem yang dihadapi dan mencari alternatif pemecahannya. Di sini perlu diklarifikasi. Ada orang yang penguasaan bidangnya hanya
sempit dan itu-itu saja, tetapi ada juga orang yang penguasaan bidang
keahliannya terus berkembang, sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagai contoh, tukang bengkel yang
keahliannya menyetel mobil terbatas pada karborator dan platina, akan
kebingunan saat menghadapi mobil generasi baru, yang menggunakan CDI dan sistem
injeksi pada aliran bahan bakar. Guru
yang keahliannya hanya menjelaskan isi buku tertentu kepada siswa, akan
kelabakan ketika tahu siswanya sudah lebih dahulu membaca kasus mutakhir di
majalah atau internet dan kemudian menanyakannya di kelas.
Nah
di situ tampak, perbedaan antara ahli dalam pengertian pertama, yaitu dari itu
– ke itu saja dan ahli dalam pengertian terus mengikuti perkembangan. Bukankah, untuk dapat mengikuti perkembangan,
seorang yang sudah ahli harus terus belajar, yaitu menggali informasi, kemudian
menganalisis bagaimana keterkaitan dengan keahlian yang selama ini telah
dikuasai dan selanjutnya mengintegrasikan menjadi ”keahlian baru” yang lebih
mutakhir?
Pada kondisi lain, ada
orang yang keahliannya hanya terbatas dan tidak memahami jika hal itu terkait
dengan bidang lain. Sebagai contoh, pada
umumnya petani kita hanya paham bagaimana cara yang baik dalam menanam padi,
jagung, atau kedele. Mereka tidak paham,
berapa kebutuhan padi, jagung dan kedele di daerahnya dan kapan ketiga hasil
panen itu diperlukan masyarakat, serta berapa harga per kilo dari padi, jagung
dan kedele yang wajar. Akibatnya, mereka
seringkali dihadapkan pada kenyataan hasil panennya bagus, tetapi harganya
jatuh. Dalam kondisi seperti itu, mereka
tidak tahu apa yang harus dilakukan, kecuali menjual hasil panennya dengan
merugi.
Pada
kasus seperti itu, gagasan Pak Badrun, si pedagang sukses yang diceritakan pada
bab terdahulu dapat menjadi pelajaran.
Pak Badrun, mampu mengaitkan bidang pertanian dengan kebutuhan
masyarakat, sehingga memunculkan gagasan menanam padi secara tradional, tanpa
pupuk kimia dan bahan pestisida.
Walaupun hasil panennya lebih sedikit, tetapi harga jualnya justru lebih
besar.
Pola
pikir petani yang dicontohkan di atas, disebut pola pikir yang parsial dengan skemata
lepas. Artinya menganggap pekerjaan bertani
adalah menanam padi, jagung, kedele, sayuran serta buah-buahan dengan
sebaik-baiknya dan itu tidak ada hubungannya dengan perdagangan. Padahal, kenyataannya hasil pertanian akan
masuk dalam dunia perdagangan, sehingga keduanya tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, pola pikir Pak Badrun
dengan cara holistik-integratif, lebih cocok untuk digunakan dan dalam praktiknya
memang lebih memberikan keuntungan.
Sayangnya, dalam
pendidikan kita, pola pikir parsial itulah yang banyak digunakan. Siswa diminta belajar Matematika, Fisika,
Biologi, Bahasa Indonesia, PPKn, Ekonomi dan sebagainya, dan hanya sedikit
sekali (kalau tidak dapat dikatakan tidak pernah) diajak belajar mengintegrasikannya dalam dalam pola
pikir yang utuh guna memahami suatu masalah kehidupan. Ungkapan Pak Wahyu, arsitek profesional yang
sukses pada bab sebelumnya, yang mengatakan bahwa dia lebih banyak belajar dari
arsitek seniornya di tempat kerja, dibanding di bangku kuliah, ada
benarnya. Dari seniornya itulah, Pak Wahyu
banyak belajar kearifan hidup dan bagaimana menjadi arsitek profesional, bukan
sekadar belajar mata kuliah-mata kuliah, secara parsial (terpisah-pisah).
Secara
psikologis, kecakapan-kecakapan yang disebutkan di atas, terkait erat dengan
kecakapan berpikir, baik berpikir rasional/secara keilmuan, maupun berpikir
lateral/secara kreatif. Berpikir
rasional sangat diperlukan pada saat melakukan analisis, sedangkan berpikir
lateral sangat diperlukan pada saat mencari alternatif pemecahan masalah.Oleh
sebab itu, kecakapan-kecakapan tersebut dapat digolongkan sebagai kecakapan
berpikir (thinking skill).
Di samping harus memiliki thinking
skill yang baik, untuk dapat menjadi pribadi mandiri yang sukses, seseorang
juga harus disiplin, jujur, kerja keras, ulet, sabar, pantang
menyerah dan berani mengambil risiko.
Meskipun hidup seorang diri, jika ingin sukses orang tetap harus
disiplin, misalnya disiplin dalam mengatur waktu dan dalam mengerjakan
tugasnya, jujur dalam menerapkan prosedur kerja, kerja keras serta ulet dan pantang
menyerah di saat mengahadapi kesulitan.
Pada saat tertentu, seseorang juga harus berani mengambil risiko.
Kecakapan-kecakapan
yang disebutkan terakhir lebih dekat dengan sikap (attitude), dibanding
dengan kecakapan berpikir. Oleh karena itu, kecakapan-kecakapan tersebut dapat
digolongkan sebagai sikap hidup (life attitude). Walau
demikian, dari pengalaman, aspek ini tidak kalah penting dibanding kecakapan
berpikir. Bahkan para ahli mengatakan
bahwa EQ (emotional quotient) lebih menentukan keberhasilan seseorang
dibanding dengan IQ (intelectual quotient), dan kecakapan-kecapan yang
berwujud sikap itulah isi dari EQ. Dan
kini, IQ dan EQ tidak cukup, karena keduanya harus dipandu oleh SQ (spiritual
quotient).
Sayangnya
sikap hidup tesebut kurang mendapat perhatian dalam praktik pendidikan di
sekolah selama ini. Guru/dosen
sepertinya terlalu sibuk ”memompakan” materi ajar dan lupa akan pentingnya
sikap hidup, yang ternyata beperan besar dalam kesuksesan hidup seseorang. Atau mungkin, mereka berpikir bahwa
pengembangkan sikap hidup itu hanya tugas guru Agama dan guru PPKn. Sedihnya, guru Agama dan guru PPKn juga
disibukkan untuk ”memompakan” materi ajar pada tataran kognitif dan tidak
sampai pada penghayatan serta pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi hasilnya juga diukur melaalui hasil
ulangan/ujian tertulis, yang tentu belum menyentuh aspek pengamalan.
Oleh
karena itu, dapat dimengerti jika menyontek kini telah menjadi fenomena
keseharian di sekolah, mulai dari siswa SD sampai mahasiswa pasca sarjana. Sedihnya, guru dan orangtua (termasuk kita
semua) tidak risau dengan gejala tersebut.
Padahal, menyontek adalah awal dari perbuatan korupsi, karena ingin
mendapatkan nilai baik tanpa mau belajar keras. Hal itu analog dengan ingin
berpenghasilan besar tanpa mau bekerja keras.
Bukankah itu pola pikir orang korupsi?
Saya
punya pengalaman menyedihkan. Ketika
memberi ujian kepada mahasiswa S2 dengan model take home (dikerjakan di
rumah), ada dua mahasiswa yang menyerahkan pekerjaan dengan isi sangat
mirip. Padahal, soal ujian tersebut berbentuk
kasus dan peserta ujian diminta untuk mengajukan pemecahan masalah. Logikanya,
setiap orang memiliki gagasan masing-masing, tentang bagaimana cara memecahkan
kasus tersebut. Akhirnya kedua mahasiswa
yang pekerjaannya mirip tersebut saya tunda pengumuman hasil ujiannya, sampai
ada yang mengaku, siapa yang menyontek. Akhirnya,
salah seorang di antaranya menemui saya dan mengakui dialah yang menyotek, kemudian
meminta maaf dengan berbagai alasan.
Ketika pengalaman tersebut saya
ceritakan kepada dosen lain, bahkan kepada rekan dosen di perguruan tinggi
lain, mereka mengatakan bahwa hal itu juga terjadi di kelasnya. Ada seorang rekan dosen yang sedang kuliah di
S3 bercerita, kalau ujian semester seringkali direpotkan oleh temannya yang
terus bertanya-tanya, padahal dia sendiri belum selesai mengerjakan. Dan kejadian seperti itu tidak hanya pada
seseorang, tetapi banyak mahasiswa S3. Sungguh
menyedihkan.
Social Skill dalam Keluarga dan Masyarakat
Peran
kedua manusia dalam kehidupan adalah sebagai bagian dari keluarga, misalnya
sebagai anak ketika masih kecil, sebagai suami atau istri ketika sudah
berkeluarga, dan sebagai adik-kakak-keponakan-kakek-nenek, ketika kita
menerapkan kehidupan keluarga besar dalam budaya Indonesia. Agar dapat menjadi anggota keluarga yang
baik, seseorang memerlukan kecakapan hidup yang berbeda dengan personal
skill. Dalam kehidupan di keluarga,
seseorang memerlukan kecakapan antara lain, toleransi atas perbedaan, menghargai
orang lain, berkomunikasi dengan sopan, bekerja sama dengan penuh
tanggung jawab, berempati pada penderitaan orang lain, membantu orang yang sedang kesulitan dan sebagainya. Seringkali kecakapan tersebut
disebut sebagai kecakapan sosial (social skill), yaitu kecakapan yang
diperlukan untuk berinteraksi dengan orang lain.
Walaupun dalam satu keluarga, tentu ada perbedaan
pendapat. Oleh karena itu diperlukan
toleransi dan saling menghargai terhadap perbedaan pendapat tersebut. Keributan
dalam rumah tangga dan bahkan perceraian, seringkali diawali oleh adanya kurang
toleransi dan kurangnya saling menghargai terhadap perbedaan pendapat antara
suami dan isteri. Hubungan antara
orangtua dan anak yang tidak harmonis, seringkali juga diawali oleh adanya
kurang toleransi dan kurang menghargai perbedaan pendapat.
Kemampuan berkomunikasi juga sangat penting dalam keluarga. Seringkali penyampaian pendapat memperoleh
tanggapan negatif, bukan karena materi/gagasan yang disampaikan, tetapi karena cara
menyampaikan kurang tepat. Sebaliknya
kritik seringkali dapat diterima oleh yang dikritik, karena cara
menyampaikannya sopan dan tidak menyinggung perasaan.
Walapun dalam satu keluarga, tentu setiap anggota
keluarga memiliki cara perikir masing-masing, apalagi usia berpengaruh terhadap
cara berpikir seseorang. Oleh karena
itu, biasanya antara anak dan orangtua memiliki cara pandang yang berbeda
terhadap sesuatu kejadian. Jika perbedaan
pendapat seperti itu, disampaikan dengan cara yang keliru, misalnya kurang
sopan dan menyinggung perasaan lawan bicara, akan dapat menimbulkan salah
pengertian. Apalagi, jika lawan
bicaranya kurang memiliki rasa toleransi atas perbedaan pendapat.
Dalam setiap keluarga tentu selalu ada aktivitas
yang memerlukan bentuk kerja sama. Mendidik anak merupakan tugas bersama antara
suami dan isteri. Mengatur dan membersihkan rumah merupakan kerja sama antara
seluruh penghuni rumah, baik suami, isteri, anak, pembantu rumah tangga dan
keluarga lain yang tinggal serumah. Nah,
untuk itu diperlukan pembagian tugas yang jelas, rasa tanggung jawab terhadap
tugas yang diembannya dan menghargai
hasil kerja orang lain.
Di dalam kehidupan keluarga, juga diperlukan
kecakapan berempati terhadap penderitaan orang lain. Jika ada anggota keluarga yang sakit,
diharapkan anggota keluarga yang lain menunjukkan
empati kepada yang sedang sakit dan tidak membuat kegaduhan. Jika anak sedang belajar, seharusnya orang tua
menunjukkan empati dengan tidak menyetel televisi dengan seenaknya. Jika bapak atau ibu sedang sibuk mengerjakan
sesuatu yang penting, anak seharusnya menunjukkan empati dengan tidak bergurau
atau tampak bermalas-malasan. Akan lebih
baik, jika membantu atau paling tidak menawarkan diri untuk membantu.
Dari uraian di atas, tampak adanya saling terkait
antara personal skill dan social skill. Misalnya, untuk mampu memahami adanya
perbedaan dalam kehidupan keluarga, seseorang memerlukan pengetahuan tertentu
dan sikap hidup tertentu, yang keduanya termasuk di dalam personal skill. Sebaliknya, pengalaman dalam kehidupan rumah
tangga yang menerapkan social skill, akan mengasah kecakapan berpikir
dan sikap hidup yang lebih arif.
Apakah kecakapan-kecakapan tersebut mudah
dikuasai? Ternyata tidak. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa kekurangharmonisan
rumah tangga juga terjadi pada keluarga yang terdidik. Kenakalan anak-anak juga terjadi pada
orangtua yang terdidik. Artinya, orang
yang memiliki kecakapan berpikir baik, belum tentu berhasil dalam membina
keharmonisan rumah tangga dan memerankan diri sebagai orangtua yang berhasil
mendidik anaknya. Demikian pula, anak
yang berprestasi di sekolah, juga ada yang kurang baik
hubungannya dengan orangtua dan anggota keluarga yang lain di rumah.
Demikian pula, orang yang memiliki sikap hidup yang
baik, misalnya jujur, disiplin dan bertanggung jawab, belum tentu mampu
melakukan komunikasi dengan baik.
Misalnya orang yang jujur belum tentu dapat menyampaikan gagasan secara
lisan atau tertulis secara baik.
Demikian pula, dia belum tentu pandai menyimak pembicaraan orang atau
membaca gagasan orang lain.
Jika diyakini bahwa keluarga merupakan tempat awal
terjadinya proses pendidikan, maka peran seseorang dalam keluarga tidak boleh
diabaikan. Sikap hidup dan social
skill, yang diuraikan di atas seharusnya menjadi budaya dalam keluarga,
sehingga setahap demi setahap akan mewarnai sikap hidup dan kecakapan sosial anak-anak. Sayangnya banyak orangtua yang kurang berhasil dalam memerankan diri
sebagai anggota keluarga yang paling sentral.
Jika dilacak ke sekolah, di mana orangtua dulu
mengikuti pendidikan, ternyata social skill yang sangat diperlukan
seseorang dalam memerankan diri dalam komunitas keluarga, juga kurang mendapat
perhatian. Kecakapan menghargai orang
lain, toleransi atas perbedaan, bekerja sama dengan penuh tanggung jawab, berkomunikasi
dengan sopan, berempati pada penderitaan orang lain dan membantu orang yang
kesulitan, belum menjadi perhatian guru.
Pengembangan kecakapan berkomunikasi sepertinya masih
dianggap merupakan tugas guru Bahasa
Indonesia dan Bahasa Inggris saja, karena di dalam kurikulumnya memang terdapat
kompetensi menyimak (listening), membaca (reading), menulis
(writing), dan berbicara (speaking).
Pengembangan kecakapan bertoleransi,
kecakapan dalam bekerja sama, berempati pada penderitaan orang lain dan suka
menolong orang yang kesulitan, sepertinya dipahami hanya merupakan tugas guru
PPKn dan Agama, karena di dalam kurikulumnya ada kompetensi tersebut.
Guru mata pelajaran lainnya, sepertinya tidak
merasa bahwa kemampuan tersebut juga menjadi tanggung jawabnya dan bahkan
tanggung jawab semua guru. Kalau toh
ada dalam proses pembelajarannya menggunakan
aktivitas-aktivitas tersebut, sang guru tidak secara sengaja merancang dan
memperhatikan proses dan hasilnya, sebagai hasil belajar yang harus diukur.
Dalam kehidupan keseharian, setiap orang juga
harus berinteraksi dengan anggota masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya,
maupun lingkungan kerja. Oleh karena
itu, peran kedua manusia dalam kehidupan, di samping di keluarga adalah sebagai
bagian dari masyarakat. Bukankah manusia
merupakan makhluk sosial, yang secara fitrah memang merupakan bagian dari
masyarakat. Beberapa ahli menyebutkan
bahwa peran sebagai anggota masyarakat merupakan perluasan dari peran sebagai
anggota keluarga, karena memerlukan kecakapan yang sama, yaitu berkomunikasi,
bekerja sama dan berempati.
Namun juga banyak ahli lain, yang menyebutkan
peran keduanya berbeda, karena sifat interaksinya yang berbeda, sehingga
keduanya harus dipisahkan. Mengapa? Karena sifat interaksinya berbeda. Dalam keluarga hubungan emosional lebih
tinggi, sehingga mudah menumbuhkan rasa empati dan dorongan untuk saling
membantu. Sebaliknya, karena merasa satu
keluarga, maka rasa toleransi atas adanya perbedaan tidak setinggi jika menghadapi
orang di luar keluarga. Jadi dibanding
hubungan dalam keluarga, hubungan seseorang di dalam masyarakat menjadi lebih
longgar, yaitu adanya rasa toleransi yang lebih tinggi, sebaliknya rasa empati
dan dorongan untuk membantu lebih rendah.
Untuk dapat memerankan diri sebagai anggota
masyarakat yang sukses, seperti cerita ”tetangga ideal” pada sebelumnya, social
skill yang disebutkan di atas sangat diperlukan. Tentu dengan intensitas yang lebih
tinggi. Misalnya, untuk dapat berkomunikasi
dengan anggota masyarakat, diperlukan kecakapan berkomunikasi yang lebih
tinggi, karena perbedaan pola pikir di masyarakat tentu lebih lebar dibanding
dalam keluarga.
Untuk dapat berempati terhadap penderitaan
tetangga dan mau menolongnya, diperlukan kecakapan sosial yang lebih tinggi
dibanding dalam keluarga. Mengapa? Karena, tidak adanya hubungan emosional
antara seseorang dengan tetangganya, menyebabkan diperlukannya kepekaan sosial yang
lebih besar untuk dapat berempati dan membantu orang lain yang sedang
menderita.
Di dalam kehidupan bermasyarakat, kesediaan
berempati kepada orang lain dan membantu mereka yang menderita, ternyata juga
tidak berhubungan linier terhadap kecakapan berpikir dan kekayaan yang dimiliki. Ada stasiun televisi punya program berjudul ”Tolooooong!” yang memancing kedua aspek
life skill tersebut, dengan cara menghadapkan seseorang dengan
penderitaan orang lain. Pada suatu
episode, ditayangkan ada seorang ibu tua dan tampak sederhana, membawa kompor
minyak tanah dan berjalan meminta minyak tanah gratis kepada beberapa penjual
minyak yang dijumpai. Banyak penjual minyak tanah yang menolak untuk memberi,
walaupun si ibu itu mengatakan meminta gratis, karena tidak punya uang. Salah seorang yang mau memberi justru di luar
dugaan, bukan orang yang kaya tetapi seorang penjaja minyak tanah keliling yang
cacat tubuhnya (lumpuh). Ia berjualan berkeliling dengan sepeda khusus yang dapat
dikayuh dengan tangan. Tetapi dengan
kondisi seperti itu, justru dia yang memiliki empati dan bersedia menolong
orang lain, yang sedang kesusahan. Pada episode yang lain, ditayangkan ada
seorang pemuda menuntun sepeda motor dan meminta bensin gratis, dengan alasan
kehabisan bensin dan tidak punya uang.
Banyak penjual bensin tidak mau memberi dan salah satu orang yang mau
memberi adalah seorang ibu tua sangat sederhana dan berjualan bensin eceran
dengan dagangan hanya beberapa botol.
Sekali lagi, kita ditunjuki fakta bahwa empati tidak selalu terkait
dengan tingkat pendidikan dan kepemilikan harta.
Tayangan tersebut merupakan contoh nyata, bahwa
berempati terhadap penderitaan orang lain, ternyata tidak mudah. Kelebihan harta bukan jaminan untuk dapat
berempati. Orang yang relatif ”kekurangan” , baik secara fisik (penjaja
minyak yang cacat tubuh) dan kekurangan harta (penjual bensin dengan kios
sangat sederhana) ternyata justru mampu berempati untuk menolong orang lain,
dibanding orang-orang yang lebih baik keadaannya.
Social skill seperti itu secara kognitif tentu sudah dipelajari
pada mata pelajaran Agama dan PPKn di sekolah. Sayangnya, pembelajaran yang
terjadi lebih banyak berhenti di pengetahuan dan tidak sampai pada penghayatan
dan penerapan dalam kehidupan sehari-hari.
Padahal, kita semua paham kalau hal-hal yang lebih dengan dengan sikap,
hanya akan berhasil dikembangkan jika diwujudkan dalam kebiasaan perilaku
keseharian yang disertai dengan teladan dari mereka yang lebih senior. Jika guru, tata usaha dan warga sekolah
senior lainnya, mewujudkan sikap hidup dan kecakapan sosial tersebut dalam
kehidupan keseharian di sekolah, maka setahap demi setahap akan menjadi bentuk
budaya sekolah dan secara otomatis akan ditiru oleh siswa.
Peduli Lingkungan
Peran ketiga manusia dalam kehidupan adalah
sebagai bagian dari lingkungan. Bukankah manusia itu sebagai khalifah di muka
bumi dan diamanahi oleh Sang Pencipta untuk memelihara dan memanfaatkan alam
lingkungan, demi kemaslahatan umat manusia. Untuk dapat memainkan peran tersebut dengan
baik, diperlukan kecakapan yang terkait dengan pemeliharaan lingkungan dan
sikap hidup yang merasa bertanggung jawab untuk ikut memeliharanya.
Pada suatu ketika, saya menemani seorang kawan
untuk mengunjungi beberapa sekolah. Ketika selesai berkunjung ke sebuah SD,
kawan tersebut bertanya apakah di SD diajarkan IPA dan saya jawab ”ya, mulai di
kelas 4”. Dia bertanya lagi, ”tetapi
mengapa anak-anak membiarkan bunga dalam pot di depan kelasnya, layu dan hampir
mati?” Saya jadi salah tingkah, karena
ternyata tamu asing tersebut mempertanyakan, mengapa anak-anak sudah belajar
IPA, tetapi tidak mengerti atau tidak terdorong untuk menyiram bunga yang layu
di depan kelasnya. Rasanya kita yakin,
kalau anak-anak SD sudah mengerti kalau bunga di dalam pot itu layu karena
terlambat disiram, hanya mereka tidak terdorong untuk melakukannya.
Sesudah dari SD tadi, kunjungan dilanjutkan ke
sebuah SMP di Kalimantan Selatan, yang lokasinya di atas tanah rawa-rawa dengan
air payau. Sebagaimana umumnya sekolah
di sana, bangunan sekolah dibangun dengan model ”panggung”, ditopang dengan tiang-tiang
penyagga dari kayu tertentu, dan lantainya terbuat dari kayu, dengan ketinggian
sekitar satu meter di atas permukaan air rawa.
Sungguh mengagetkan, di sepanjang teras di depan kelas terdapat tanaman
sayuran dan buah-buahan, seperti tomat dan terong serta beberapa jenis bunga,
yang ditanam dalam ember bekas.
Bagaimana tanaman tersebut dapat tumbuh subur, pada hal air payau di
daerah itu tidak dapat untuk menyiram tanaman.
Ketika kawan asing tersebut bertanya, kepala
sekolah menunjuk seorang ibu guru IPA untuk menjelaskan. Ternyata guru IPA yang masih sangat muda
tersebut, merasa terusik dengan kondisi lingkungan sekolah yang gersang. Oleh karena itu, dengan berbagai upaya, dia
berusaha menemukan cara untuk mengolah air payau di lokasi sekolah agar dapat
untuk menyiram tanaman. Akhirnya dia
menemukan, dengan cara memberi gamping.
Nah, semenjak itu, dia mulai menggerakkan siswa-siswa untuk menanam
bunga dan buah-buahan di depan kelasnya masing-masing, dengan memanfaatkan air
tawar hasil netralisasi dengan gamping tersebut.
Dari contoh kasus tersebut, mungkin kita berkata
bahwa ibu guru tersebut sangat pandai.
Mungkin saja. Tetapi yang lebih
menonjol adalah adanya rasa tanggung jawab untuk menjadikan lingkungan sekolah
tidak gersang dan keuletan untuk mewujudkannya.
Rasanya banyak guru IPA yang mengetahui bahwa air payau, dengan tingkat
keasaman tinggi, dapat dinetralisasi dengan memberi gamping. Tetapi tidak banyak yang terdorong untuk
melakukan guna menghijaukan lingkungan sekolah.
Kasus serupa dengan skala yang berbeda, juga
terjadi pada kerusakan lingkungan alam di Indonesia ini. Memang ada peladang berpindah yang merusak
hutan dan petani di pegunungan yang menanami lereng gunung bagian atas, karena
mereka tidak mengerti bahwa cara berladang berpindah dan bertani seperti itu
dapat merusak lingkungan. Tetapi, mereka
yang membuat rumah dan bahkan membangun kompleks perumahan di daerah Puncak,
Jawa Barat dan mereka yang membabat hutan dengan seenaknya, sebenarnya mengerti kalau perbuatannya merusak
lingkungan. Namun tetap saja dilakukan,
karena tingginya keinginan untuk memperoleh keuntungan yang besar.
Gambaran di atas menunjukkan bahwa untuk dapat
memelihara dan memanfaatkan lingkungan alam dengan arif dan kreatif, diperlukan
kecakapan berpikir yang terkait dengan bidang itu, contohnya mengolah air payau
menjadi air tawar dan juga kesadaran bahwa memelihara lingkungan adalah
tanggung jawab semua manusia.
Seringkali, justru kesadaran itulah yang lebih dominan, dalam menentukan
apa yang akan dilakukan oleh seseorang.
Apakah kesadaran untuk memelihara lingkungan
sekitar dan kemampuan untuk melaksanakannya sudah dikembangkan dalam pendidikan
di sekolah? Rasanya masih perlu
dipertanyakan. Kalau kita hitung, jumlah
sekolah yang lingkungannya hijau, segar dan terawat dengan baik, masih jauh
lebih sedikit dibanding sekolah yang lingkungan dibiarkan gersang dan kurang
terawat. Apakah guru tidak mengetahui
bagaimana cara merawatnya, saya yakin mereka mengetahui. Apakah sekolah begitu miskin, sehingga tidak
punya dana untuk merawat, saya yakin juga tidak. Merawat lingkungan sekolah, tidak memerlukan
biaya besar, asalkan sederhana tetapi rapi, bersih, hijau dan segar.
Saya khawatir, pentingnya memelihara lingkungan,
pentingnya menjaga kebersihan dan bahkan ajaran bahwa kebersihan adalah
sebagian dari iman, sudah dibahas dalam
berbagai mata pelajaran. Tetapi semuanya berhenti pada tataran pengetahuan
dan belum dihayati dan diamalkan dalam kehidupan keseharian. Banyaknya sekolah dengan lingkungan kurang
bersih dan gersang merupakan bukti nyata.
Dalam kasus sekolah seperti itu, yang belum melakukan tidak hanya siswa,
tetapi juga guru dan semua warga sekolah.
Menjadi Hamba Tuhan
Peran ke-empat manusia dalam kehidupan, peran terakhir
tetapi paling penting, adalah sebagai hamba Tuhan Sang Maha Pencipta. Manusia diciptakan oleh Tuhan ke alam dunia
adalah untuk beribadah kepada-Nya.
Ibadah dalam pengertian yang luas, yaitu ibadah ritual yang terkait
hubungan manusia dengan Sang Pencipta dan ibadah mu’amalah yang terkait dengan
hubungan antar manusia dan hubungan manusia dengan alam.
Sepanjang yang saya ketahui, ke empat peran
manusia yang sudah diuraikan di atas adalah termasuk dalam ibadah mu’amalah. Artinya, sebagai hamba-Nya, manusia
diwajibkan untuk menjadi pribadi mandiri yang kreatif, sebagai anggota keluarga
yang bijak, sebagai anggota masyarakat yang baik dan sebagai bagian dari
lingkungan yang arif. Dengan demikian,
peran manusia sebagai hamba Tuhan lebih menegaskan bahwa dalam memainkan ke empat
peran tersebut di atas, manusia harus selalu berpegang pada ajaran agama. Saya yakin, semua agama akan meminta umatnya
untuk menjalankan kecakapan hidup (life skill) yang sudah diuraikan di
atas, misalnya berlaku jujur, disiplin, tanggung jawab, kerja keras, toleran,
belajar sepanjang hayat, berkomunikasi dengan sopan, membantu orang yang sedang
kesulitan, memelihara lingkungan dan sebagainya.
Terkait dengan itu, fungsi peran ke lima, yaitu
manusia sebagai hamba Sang Chalik adalah memulai setiap aktivitas kehidupan
dengan niat ibadah, sehingga mampu mengendalikan perbuatan itu tetap pada
aturan agama. Jadi SQ yang seharusnya
memandu bagaimana IQ dan EQ dikembangkan dan dimplementasikan dalam kehidupan.
Mungkin itu yang dimaksud Ian Percy, dalam bukunya Going Deep,
sebagai spiritual commitment, yaitu bahwa komitmen kerja seseorang
seharusnya didasarkan pada nilai-nilai ajaran agama yang dianutnya. Prinsip itu tampak pada Gambar 2 ,
yaitu adanya anak panah dari peran ke lima (sebagai hamba Tuhan) ke arah peran
manusia lainnya. Artinya, peran manusia sebagai
hamba Tuhan itu seharusnya mewarnai implementasi peran manusia sebagai pribadi
mandiri, sebagai anggota keluarga, sebagai anggota masyarakat dan sebagai
bagian dari lingkungan.
Peran manusia sebagai hamba Tuhan, lebih banyak
berupa kesadaran diri. Oleh karena itu,
bersama dengan sikap hidup yang dijelaskan pada personal skill,
diwadahi dalam satu bentuk kecakapan hidup, yaitu kesadaran diri (self
awareness). Tentu penyebutan ini
bukan dimaksudkan sebagai bentuk hanya sadar (pasif) tanpa adanya pelaksanaan. Yang dimaksudkan adalah bagaimana kesadaran
diri sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, sebagai makhluk sosial dan sebagai
bagian dari lingkungan, dapat mendorong seseorang untuk berbuat sebaik-baiknya.
Jika semua kecakapan hidup yang disebutkan di atas
disistematisasikan, terdapat kecakapan hidup yang bersifat generik (generic
skill), yaitu yang diperlukan oleh siapa saja, apapun profesinya dan
berapapun usianya, dan kecakapan hidup yang spesifik (specific skill), yaitu
kecakapan hidup yang hanya diperlukan oleh orang yang menekuni profesi
tertentu. Dengan demikian kategorisasi
kecakapan hidup dapat ditunjukkan pada gambar 3.
Gambar 3 Aspek-aspek dalam Kecakapan Hidup (Life Skill)
Pada gambar tersebut ditunjukkan bahwa life
skill terbagi menjadi dua, yaitu generic skill dan specific skill. Generic skill diperlukan oleh siapa
saja, apapun profesi atau pekerjaannya dan dimanapun dia berada. Specific skill adalah kecakapan khusus
yang terkait dengan bidang pekerjaan tertentu, sehingga hanya diperlukan oleh
orang yang menekuni profesi atau pekerjaan tersebut.
Generic skill terbagi menjadi dua bagian, yaitu personal
skill dan social skill. Personal
skill diperlukan oleh setiap orang, walaupun yang bersangkutan hidup
seorang diri ditengah hutan, sedangkan social skill baru diperlukan
ketika seseorang hidup dalam kelompok.
Personal skill mencakup self awareness dan thinking
skill. Self awareness mencakup kesadaran diri sebagai makhluk Tuhan dan
sikap hidup positif (life attitude), seperti disiplin, kerja keras dan
tanggung jawab. Thinking skill meliputi
kecakapan dalam memahami suatu problema yang dihadapi, menganalisis dan
menemukan alternatif pemecahan dan mengambil keputusan secara arif dan kreatif.
Social skill mencakup communication skill, yaitu
kecakapan berkomunikasi secara efektif, baik secara lisan maupun tulisan dan collaboration
skill, yaitu kecakapan bekerjasama dengan orang lain, baik dengan rekan
setingkat, dengan atasan maupun dengan anak buah.
Life Skill vs Mata Pelajaran
Setelah mendiskusikan lima peran manusia, beserta
kecakapan yang diperlukan untuk melaksanakannya, kini mari kita coba bandingkan
dengan ke-16 kecakapan hidup (life skill) yang disampaikan oleh peserta
penataran dan ke-17 kecakapan yang ditemukan dari pengamatan terhadap ”orang-orang
sukses”, yang diuraikan pada bab sebelum ini. Bukankah sangat mirip bahkan identik? Hal itu dapat dipahami, karena ciri orang sukses
yang diidentifikasi pada bab terdahulu juga mengacu pada lima peran manusia
tersebut. Seseorang yang sukses dalam
pekerjaannya (bengkel mobil, penjahit, hingga dokter), di kampung disenangi
tetangga, dipercaya pimpinan, dihormati anak buah, diincar banyak orang untuk
calon menantu, tentu sudah menjalankan perannya sebagai pribadi yang mandiri,
sebagai anggota keluarga yang baik, sebagai anggota masyarakat yang bijak,
memelihara lingkungan secara arif dan sebagai hamba Sang Pencipta menjalankan
ibadah dengan baik. Demikian pula Pak
Badrun - si pedagang sukses, Pak Wahyu – sang arsitek profesional, Pak Tris –
birokrat yang berhasil – dan Bu Candra – ibu guru yang hebat. Mereka tentu juga telah menjalankan kelima
peran kehidupannya dengan baik, sehingga menjadi orang yang berhasil.
Seperti yang banyak disinggung pada uraian di
atas, ternyata life skill yang terbukti merupakan bekal kesuksesan
orang, belum mendapat perhatian dalam praktik pendidikan di sekolah. Saya tidak mengatakan life skill tidak
diperhatikan, tetapi belum mendapat perhatian yang baik. Mengapa demikian? Karena guru lebih menekankan pada penguasaan
materi ajar yang tercantum di dalam kurikulum.
Apakah materi ajar tersebut tidak penting? Penting, tetapi itu saja tidak cukup sebagai
bekal kesuksesan hidup. Materi ajar yang
proses pembelajarannya ditekankan pada tataran kognitif, baru mencakup satu
bagian, yaitu specific skill. Praktik
pendidikan di sekolah menunjukkan, pada umumnya guru mengajarkan isi mata
pelajaran sebagai wujud kecakapan spesifik.
Guru Matematika mengajarkan matematika seakan semua siswa akan menjadi
ahli matematika, guru Bahasa Indonseia mengajarkan Bahasa Indonesia seakan
semua siswa dipersiapkan menjadi ahli Bahasa Indonesia, dan seterusnya. Guru lupa, bahwa dari satu kelas yang diajar
tersebut sangat sedikit atau bahkan tidak ada siswa yang akan menjadi
matematikawan dan ahli bahasa Indonesia, sehingga yang diperlukan adalah
belajar menggunakan matematika sebagai alat untuk bernalar, alat untuk
menganalisis fenomena, menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat untuk
berkomunikasi, baik sebagai pengirim atau penerima pesan komunikasi.
Jadi bagi siswa yang tidak akan menjadi ahli
matematika, seharusnya pelajaran Matematika diarahkan untuk mengembangkan generic
skill. Demikian pula mata pelajaran
lainnya seperti Fisika, Biologi, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, Ekonomi dan
sebagainya. Baru, jika siswa memang berbakat atau akan
menekuni bidang tersebut sebagai profesi, maka pembelajaran diarahkan sebagai specific
skill.
Akibat dari praktik pendidikan yang seperti itu, generic
skill tidak mendapat pengembangan yang memadai di sekolah. Akibatnya, siswa justru mendapat pengembangan
generic skill melalui kegiatan organisasi, baik di dalam maupun luar
sekolah dan dari pengalaman bekerja-sambil-sekolah. Karena generic skill berperan penting
dalam kesuksesan hidup, maka dapat dipahami kalau orang yang sukses, justru
merupakan siswa yang aktif di organisasi dan siswa yang sudah sambil bekerja
saat masih bersekolah.
Fenomena seperti itu yang tampaknya menjadi alasan
Charles Handy, seorang bussiness philosopher, yang menganjurkan untuk
merombak total pendidikan kita. Dalam
artikel berjudul Finding Sense in Uncertainty, dia menjelaskan pendidikan
selama ini berangkat dari asumsi yang keliru, yaitu bahwa semua problema di dunia
ini telah diketahui dan guru mengetahui cara pemecahannya. Jadi tugas guru adalah menyampaikan problema
serta cara pemecahannya, dan setelah itu pendidikan dianggap selesai. Padahal senyatanya,
problema itu terus berubah dan tentu guru belum mengetahui, apalagi cara pemecahannya.
Charles Handy menegaskan belajar tentang ilmu pengetahuan tetap penting,
tetapi hal itu kini lebih mudah dilakukan, karena banyak sumber informasi yang
dapat dipelajari. Oleh karena itu,
pendidikan seharusnya diarahkan untuk membantu siswa belajar bagaimana
memperoleh ilmu pengetahuan itu dan yang tidak kalah penting adalah apa yang
harus dilakukan dengan ilmu pengetahuan itu.
Saya ingin membulatkan pendapat Charles Handy tersebut, bahwa pendidikan
seharusnya diarahkan untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam memperoleh
pengetahuan dan bagaimana menggunakannya guna memecahkan problema kehidupan dengan
arif dan kreatif.
Jadi bagaimana hubungan antara life skill
dengan mata pelajaran? Keduanya tetap diperlukan dan harus saling
melengkapi. Dalam pengembangan generic
skill, seharusnya mata pelajaran dipahami sebagai alat, yaitu untuk wahana
pengembangan. Misalnya Guru Fisika harus
sadar bahwa pembahasan materi Fisika diarahkan untuk mengembangkan kemampuan
siswa dalam memahami fenomena alam dari sudut pandang teori Fisika, menggali
berbagai sumber informasi dan menganalisisnya untuk menyempurnakan pemahaman
tersebut, mengkomunikasikan pemahaman tersebut kepada orang lain dan memahami
bahwa fenomena seperti itu tidak lepas dari ”peran” Sang Pencipta. Pengembangan generic skill seperti
itu, dapat dilakukan melalui metoda pembelajaran yang dipilih guru. Misalnya, untuk mengembangkan kecakapan
berkomunikasi, guru dapat memilih metoda diskusi atau siswa diminta
presentasi. Untuk mengembangkan
kecakapan bekerja sama, kerja kelompok dalam praktikum dapat diterapkan. Yang penting adalah bahwa aspek-aspek
tersebut sengaja dirancang dan diukur hasilnya sebagai bentuk hasil belajar generic
skill.
Mungkin orang bertanya, apakah hal itu belum
dilakukan selama ini. Bukankah, selama
ini juga sudah ada metoda belajar diskusi dan kerja kelompok? Memang.
Hanya saja, metoda tersebut tidak dilakukan secara sengaja untuk
mengembangkan generic skill, sehingga tidak secara sistematik kecakapan
tersebut dirancang dan diukur hasilnya sebagai hasil belajar.
Saya pernah berdiskusi dengan seorang pengawas
Matematika yang sedang ditugasi oleh Depdiknas untuk menyiapkan soal-soal
evaluasi belajar. Ketika, diajukan
gagasan apakah dalam Matematika, guru tidak perlu mengukur kejujuran,
kedisplinan, tanggung jawab dan kemampuan komunikasi? Dia menjawab tidak perlu, karena itu tidak ada dalam
kurikulum, sehingga bukan menjadi tugas guru Matematika. Sangat
menyedihkan. Pengawas senior, bekas guru
dan instruktur Matematika ternyata juga tidak merasa perlu memasukkan generic
skill dalam pendidikan Matematika. Life skill sepertinya dianggap sebatas nurturant
effect (efek penyerta) yang otomatis akan muncul, jika materi ajar
dikuasai.
Mungkin pengawas tersebut hanyalah satu di antara
sekian banyak pendidik yang masih berpegang teguh bahwa tugas pendidikan adalah
mengantar siswa untuk memahami konsep/teori, sedangkan bagaimana menggunakan
dalam perilaku kehidupan bukan tugasnya.
Jadi pantas konsep Pendidikan Keterampilan Proses (PKP) yang pernah
dikenalkan dan bahkan masuk dalam kurikulum 1984, khususnya untuk bidang IPA,
tetap tidak jalan, padahal hal-hal itu terkait dengan proses pendidikan yang
dekat-dekat dengan thinking skill.
Terus apakah pemahaman materi ajar, misalnya
konsep/teori dan sebagainya itu tidak penting? Tetap penting. Karena materi seperti itu akan sangat
diperlukan untuk bahan menganalisis dan memecahkan masalah. Apalagi jika siswa sudah menjurus untuk menekuni
pekerjaan yang terkait erat dengan mata pelajaran tersebut, sehingga materi
ajar merupakan bagian dari specific skill. Misalnya, materi Biologi sangat penting bagi
siswa yang akan menekuni bidang kedokteran, pertanian dan sejenisnya. Fisika sangat penting bagi siswa yang meminati
bidang teknologi dan sebagainya. Dalam
hal seperti itu, materi ajar sebagai tujuan, sedangkan generic skill berperan
sebagai penyerta.[]