Kamis, 29 Oktober 2020

Faktor Kunci Peningkatan Mutu Pendidikan

 

Upaya peningkatan mutu pendidikan di Indonesia telah lama dilakukan. Berbagai program, proyek dan terobosan telah dicoba, baik itu yang merupakan inisiatif daerah, inisiatif nasional, bantuan para ahli negara lain, juga para pengelola lembaga pendidikan. namun hasilnya belum menggembirakan.  Data UN (yang akan segera digantikan oleh AKM), hasil PISA dan beberapa data lain menunjukkan kualitas pendidikan kita masih belum menggembirakan.

 Muncul pertanyaan, apa yang salah dalam berbagai upaya tersebut?  Apakah upaya tersebut belum menyentuh problem utama dari pendidikan kita? Kalau menggunakan teori Pareto, apakah berbagai usaha tersebut tidak menyentuh critical factor pendidikan di Indonesia? Dalam Bahasa Surabaya, apakah berbagai upaya tersebut belum sampai pada “punjerannya”? Atau pendekatannya yang keliru?  Atau kita kurang serius dalam melakukan?  Atau, atau, atau lainnya.  Tulisan pendek ini tidak dimaksudkan untuk membahas kemengapaan tersebut di atas, tetapi ingin berbagi tentang hasil analisis terhadap situasi sekolah kita, dengan harapan dapat memberikan satu pandangan berdasar data penelitian.

Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah baru saja melakukan uji coba instrumen baru akreditasinya.  Instrumen tersebut memang baru, tetapi jika dilihat hasil analisisnya menunjukkan validitas dan reliabilitas sangat baik. Pada Gambar 1 tampak bahwa interkorelasi butir-butir (X1-X11) terhadap variabel induknya (ML=mutu lulusan), butir-butir (X12-X18) terhadap variabel induknya (PB=proses pembelajaran), butir-butir (X19-X22) terhadap induknya (MG=kinerja guru), dan butir-butir (X23-X35) terhadap variabel induknya (MSM=manajemen sekolah) cukup baik. Dengan demikian hasilnya cukup kuat untuk digunakan sebagai simpulan. 

Gambar 1 juga menunjukkan hasil analisis SEM yang diolah dari lebih seratus sekolah.  Dari gambar tersebut tempak kalau 64% mutu lulusan dapat dijelaskan oleh proses pembelajaran yang terjadi. Sementara 66% pembelajaran dapat dijelaskan oleh kinerja guru.  Dan 92% kinerja guru dapat dijelaskan oleh manajemen sekolah.  Kalau angka-angka tersebut dicermati, semua di atas 60%, yang secara sederhana dapat dimaknai faktor lain tentu lebih kecil.

Jika mutu lulusan dimaknai sebagai indicator utama mutu pendidikan, maka hasil SEM tersebut dapat dirangkai sebagai berikut.  Mutu pendidikan dipengaruhi sangat kuat oleh kualitas pembelajaran yang terjadi di sekolah, sedangkan mutu proses pembelajaran dipengaruhi oleh kinerja guru, dan kinerja guru dipengaruhi oleh manajemen sekolah.  Jika menggunakan teori Pareto, maka bagaimana memperbaiki manajemen sekolah dan kinerja guru menjadi kunci utama dalam meningkatkan mutu pendidikan.

Temuan tersebut sejalan dengan temuan Abu Dohuo (199) bahwa hasil belajar siswa merupakan inovasi pembelajaran yang dilakukan guru. Untuk dapat melakukan inovasi diperlukan tiga syarat, yaitu guru memiliki kompetensi dan juga memiliki komitmen untuk melakukan inovasi untuk meningkatkan hasil belajar siswa.  Nah, komitmen kerja guru ternyata sangat diperngaruhi oleh iklim kerja dan iklim kerja itu merupakan hasil manajemen sekolah.

Apakah temuan tersebut juga berlaku di perguruan tinggi?  Sampai saat ini saya belum pernah membaca penelitian seperti itu dalam konteks perguruan tinggi.  Namun jika kita baca artikel tentang outcome based education, misalnya artikel Eldeeb dan Shatakumari. (2013) dengan judul Outcome Based Education: Trend Review, juga tentang outcome based accreditation, misalnya Harmanani (2017) dengan judul An Outcome Based Assessment Process for Accrediting Computer Programmes, tampaknya juga berlaku di perguruan tinggi. Tentu sangat baik jika ada penelitian yang mereplikasi penelitian di atas dalam konteks perguruan tinggi di Indonesia.


Tidak ada komentar: