Upaya peningkatan mutu pendidikan di
Indonesia telah lama dilakukan. Berbagai program, proyek dan terobosan telah
dicoba, baik itu yang merupakan inisiatif daerah, inisiatif nasional, bantuan
para ahli negara lain, juga para pengelola lembaga pendidikan. namun hasilnya
belum menggembirakan. Data UN (yang akan
segera digantikan oleh AKM), hasil PISA dan beberapa data lain menunjukkan
kualitas pendidikan kita masih belum menggembirakan.
Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah baru saja melakukan uji coba instrumen baru akreditasinya. Instrumen tersebut memang baru, tetapi jika dilihat hasil analisisnya menunjukkan validitas dan reliabilitas sangat baik. Pada Gambar 1 tampak bahwa interkorelasi butir-butir (X1-X11) terhadap variabel induknya (ML=mutu lulusan), butir-butir (X12-X18) terhadap variabel induknya (PB=proses pembelajaran), butir-butir (X19-X22) terhadap induknya (MG=kinerja guru), dan butir-butir (X23-X35) terhadap variabel induknya (MSM=manajemen sekolah) cukup baik. Dengan demikian hasilnya cukup kuat untuk digunakan sebagai simpulan.
Gambar 1 juga menunjukkan hasil analisis SEM yang diolah dari lebih seratus sekolah. Dari gambar tersebut tempak kalau 64% mutu lulusan dapat dijelaskan oleh proses pembelajaran yang terjadi. Sementara 66% pembelajaran dapat dijelaskan oleh kinerja guru. Dan 92% kinerja guru dapat dijelaskan oleh manajemen sekolah. Kalau angka-angka tersebut dicermati, semua di atas 60%, yang secara sederhana dapat dimaknai faktor lain tentu lebih kecil.
Jika mutu lulusan dimaknai sebagai indicator utama mutu
pendidikan, maka hasil SEM tersebut dapat dirangkai sebagai berikut. Mutu pendidikan dipengaruhi sangat kuat oleh
kualitas pembelajaran yang terjadi di sekolah, sedangkan mutu proses
pembelajaran dipengaruhi oleh kinerja guru, dan kinerja guru dipengaruhi oleh
manajemen sekolah. Jika menggunakan
teori Pareto, maka bagaimana memperbaiki manajemen sekolah dan kinerja guru
menjadi kunci utama dalam meningkatkan mutu pendidikan.
Temuan tersebut sejalan dengan temuan Abu Dohuo (199) bahwa
hasil belajar siswa merupakan inovasi pembelajaran yang dilakukan guru. Untuk
dapat melakukan inovasi diperlukan tiga syarat, yaitu guru memiliki kompetensi
dan juga memiliki komitmen untuk melakukan inovasi untuk meningkatkan hasil
belajar siswa. Nah, komitmen kerja guru
ternyata sangat diperngaruhi oleh iklim kerja dan iklim kerja itu merupakan
hasil manajemen sekolah.
Apakah temuan tersebut juga berlaku di perguruan tinggi? Sampai saat ini saya belum pernah membaca
penelitian seperti itu dalam konteks perguruan tinggi. Namun jika kita baca artikel tentang outcome
based education, misalnya artikel Eldeeb dan Shatakumari. (2013) dengan
judul Outcome Based Education: Trend Review, juga tentang outcome
based accreditation, misalnya Harmanani (2017) dengan judul An Outcome
Based Assessment Process for Accrediting Computer Programmes, tampaknya
juga berlaku di perguruan tinggi. Tentu sangat baik jika ada penelitian yang
mereplikasi penelitian di atas dalam konteks perguruan tinggi di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar