Senin tanggal 13 April lalu bakda insya saya rapat online dengan Prof Jazidie
dan balatentaranya. Sekitar jam 20an Mbak
Atiek, dosen UWKS dan tetangga sebelah rumah, “tek-tek”pintu pagar, karena bel
rumah saya ngadat. Isteri saya yang keluar dan setelah itu tergopoh-gopoh
memberi tahu kalau Bu Agus (ibunya Mbak Atiek) tidak respons. Saya segera ijin kepada peserta rapat untuk
menengok karena Bu Agus sudah agak lama menderita CA payudara dan beberapa hari
tidak keluar rumah karena kondisinya drop.
Begitu masuk rumah Bu Agus, saya melihat beliau terbaring di tempat
tidur dikeliling putra-putranya. Saya
segera mendekat dan ikut memegang tangannya untuk melihat denyut nadinya. Mas Bujang, putra Bu Agus yang ada disebelah
saya berbisik “nadinya nggak ada Pak Muchlas”.
Saya juga tidak merasakan denyut nadi di tangan Bu Agus. Saya sarankan
menelpon dokter tetangga yang biasa kami berobat. Ternyata beliau tidak berkenan datang dan
menyarakan segera dibawa ke rumah sakit.
Saya menelpon adik sepupu yang juga dokter ternyata memberi saran yang
sama. Dokter tetangga dan adik sepupu saya menjelaskan jika dibawa ke rumah sakit
akan dapat ditangani dengan lebih baik.
Itu SOP bidang kedokteran.
Namun putra-putara Bu Agus mengatakan “ibu tidak mau dibawa ke rumah
sakit, inginnya ditunggui anak-anak saja”.
Mendengar penjelasan itu, saya menelpon dokter lain yang lebih senior
dan juga doktor bidang kedokteran dan menjelaskan kondisinya. Minta saran, sebaiknya bagaimana. Saya dipandu bagaimana mengetahui orang sudah
meninggal atau belum. Dari saran
tersebut saya menduga Bu Agus sudah meninggal.
Mendapat informasi saya, teman dokter senior itu menyarankan berunding
dengan putra-putra Bu Agus. Jika sudah menerima,
ya tidak usah dibawa ke rumah sakit.
Mbak Atiek kemudian menelpon Dr. Asdi
Wihandono, dokter onkologi yang merawat Bu Agus selama pengobatan di RSI
Jemursari. Alhamdulilah beliau bersedia
datang, tetapi mohon ditunggu karena rumahnya lumayan jauh. Sekitar 15 menit Dr. Asdi datang, memeriksa
Bu Agus dan mengatakan sudah meninggal.
Karena musim wabah covid 19, saya usul dibuatkan surat keterangan yang
menyatakan Bu Agus meninggal bukan karena covid. Toh Dr. Asdi yang merawat selama ini sehingga
tahu kondisinya. Akhirnya dibuatkan
surat keterangan tulisan tangan.
Dokter Asdi masih muda. Dugaan
saya berusia 30 tahunan. Sangat sopan dan yang sangat saya kagumi dia mau
datang untuk menjenguk pasiennya walaupun rumahnya lumayan jauh. Mungkin mendengar informasi Mbak Atiek via
telepon beliau sudah punya firasat kalau Bu Agus meninggal, karena beliau yang
merawatnya. Apalagi Mbak Atiek itu magister
Biologi dan dosen Fakultas Kedokteran UWKS, sehingga mungkin informasinya jelas
bagi dokter Asdi.
Setelah dokter Asdi pulang, saya bilang ke Mbak Atiek kalau dokter Asdi
baik sekali. Mbak Atiek mengatakan Bu Agus juga senang sekali dengan beliau. Katanya suatu saat pas Bu Agus kemoterapi dikunjungi
oleh dokter Asdi dan itu membuat Bu Agus bersemangat kalau kemoterapi. Mungkin dokter Asdi memenuhi sumpah dokter
untuk sangat memperhatikan pasien.
Sampai-sampai mau datang kerumahnya ketika mendengar pasiennya kritis. Seandainya semua dokter seperti beliau mungkin
pasien akan sangat bahagia. Terima kasih
dokter Asdi, semoga Allah swt membalas budi baik panjenengan.
1 komentar:
Anda benar sekali,dokter asdi ini memang dokter yg sangat baik dan ramah.saya juga pasien dr beliau.
Posting Komentar