Begitu kira-kira judul berita di news.detik.com yang mengutip pernyataan Menkopulhukam Mahfud MD. Bahwa korupsi semakin meluas sudah banyak dibahas di berbagai media. Konon di era Orde Baru korupsi hanya terpusat di kalangan pada elit, tetapi sekarang sudah meluas ke seluruh lapisan. Banyak pihak yang menganalisis fenomena tersebut. Ada yang mengatakan karena sistem politik kita berbeaya tinggi, akhirnya menimbulkan korupsi. Pihak ini menyebutkan untuk menjadi anggota DPR/DPRD/Gubernur/Bupati/Walikota perlu beaya besar. Katanya untuk mencalonkan menjadi anggota DPR perlu dana minimal 2 milyar, untuk mecalonkan Bupati/Walikota diperlukan biara 10 milyar dan sebagainya.
Saya pernah bertanya kepada teman mantan Bupati, apakah itu betul. Jawabnya sungguh mengagetkan. Katanya uang 10 milyar tidak cukup. Lantas saya bertanya, apakah para calon punya uang sebanyak itu? Jika punya untuk apa repot-repot mencalonkan menjadi Bupati. Bukankah uang 10 milyar jika dimasukkan deposito, jasanya sudah sangat besar dan cukup untuk hidup mewah? Apa jawabnya kawan tadi? Lebih mengagetkan. Lho beaya itu tidak dari calon sendiri, tetapi banyak pihak yang bersedia menjadi sponsor. Saya tambah bingung. Menjadi sponsor dengan mengeluarkan uang sebanyak itu? Lantas apa kepentingannya? Ternyata itulah yang disebut “ijon”. Artinya ketika yang disponsori terpilih, pemberi sponsor akan mendapatkan prioritas proyek-proyek yang menguntungkan. Moga-moga tidak semua Bupati/Walikota/Gubernur seperti itu.
Teman
yang “sealiran” dengan pihak di atas menambahkan bahwa korupsi itu mudah menular
seperti penyakit flu atau mungkin penyakin covid di saat sekarang. Dia memberi contoh, jika Bupatinya korupsi,
maka anak buahnya akan ikut-ikut.
Tentu sesuai kesempatan yang dia miliki.
Apalagi jika Bupati menerapkan “pungutan” bagi karyawan yang ingin
menjabat atau sudah menjabat. Mungkin berpikiran, “dia korupsi masak saya tidak
boleh”. Oleh karena itu teman tadi
berpesan, kalau suatu saat menjabat jangan “clutak”, yaitu mengambil uang yang
bukan haknya. Mengapa? Begitu seorang
pejabat clutak, anak buahnya anak ikut clutak dan itu akan berantai sampai ke
bawah. Apakah itu yang saat ini
terjadi? Mudah-mudahan tidak.
Ada teman yang punya analisis berbeda. Katanya korupsi itu bukan hanya yang terkait dengan “mengambil” uang negara, tetapi mengambil apa saja yang bukan haknya. Orang yang pulang kerja sebelumnya waktunya tanpa alasan yang jelas, dapat digolongkan sebagai korupsi. Korupsi waktu. Orang bermental korup akan melakukan korupsi sesuai dengan kesempatan yang dimiliki. Orang baru dapat dikatakan tidak bermental korup jika punya jabatan dan atau punya peluang tetapi tidak melakukan korupsi. Jika orang tidak korupsi karena tidak memiliki jabatan dan atau kesempatan belum tentu tidak melakukan saat memiliki kesempatan.
Mana yang benar dari dua pendapat tersebut? Mungkin dua-duanya benar. Kata teman polisi kejahatan itu terjadi karena ada niat dan ada kesempatan. Ada niat kalau tidak ada kesempatan juga tidak terjadi. Ada kesempatan kalau tidak ada niat juga tidak terjadi. Oleh karena itu yang dilakukan polisi dalam keseharian adalah meminimalkan kesemapatan dengan asumsi walaupun ada niat mencuri tetapi juga yang akan dicuri dijaga dengan baik, pencurian tidak akan terjadi.
Lantas apa hubungannya dengan pernyataan Pak Mahfud? Jika universitas diminta tanggungjawab karena terkait mendidik karakter biar mahasiswa tidak punya niat atau dorongan korupsi, mungkin itu benar tetapi menurut saya terlambat. Mahasiswa dengan usia 19-22 tahun karakternya sudah terbentuk dan sulit untuk diperbaiki. Pembentukan karakter memerlukan waktu lama dan harus dilakukan secara konsisten. Oleh karena itu dalam konsep pendidikan, karakter ditumbuhkembangkan sejak dini. Justru di PAUD dan SD itulah pendidikan ditekankan pada aspek karakter, sehingga menjadi pondasi berperilaku. Kata orang bijak menyontek itu awal korupsi, karena ingin mendapatkan nilai bagus dengan mencuri jawaban dari buku atau teman.
Perlu dicatat menyontek dan korupsi itu seperti gulma tanaman sehingga harus disiangi terus agar tidak tumbuh. Mengapa? Karena pada dasarnya orang ingin mendapatkan sesuatu dengan mudah. Nah karakter yang diharapkan mampu mengendalikan keinginan itu. Namun situasi dapat mendorong munculnya keinginan itu. Oleh karena itu penguatan karakter perlu dilakukan secara terus menerus dan teladan merupakan kunci utama. Jadi para pemimpin, apapun levelnya dan dimanapun tempatnya harus menjadi teladan untuk tidak korupsi dan menjadi orang yang bertugas menyiangi niat korupsi. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar