Kemarin, salah satu grup WA yang saya ikuti mendapat posting tulisan Gundula Bosh, seorang dosen di John Hopkins Bloomberg School of Public Health in Baltimore Maryland Amerika Serikat. Tulisan tersebut dimuat di Nature 15 Februari 2018 dengan judul “Train PhD Students to be Thinkers not just Specialists”. Tulisan lama tetapi menurut saya relevan untuk direnungkan untuk melihat perkembangan pendidikan jenjang S3 di negara kita.
Tulisan itu menceritakan inovasi yang
dilakukan untuk menguatkan berpikir filosofis mahasiswa S3, sehingga setelah
lulus cocok dengan gelar yang disandangnya yaitu PhD (doctor of
philosophy). Bosh tidak sepakat dengan
program S3 yang sangat spesialis dan kurang mengembangkan berpikir kritis dan
interdispliner. Untuk mengubahnya, Bosh
melakukan inovasi yang diberinama R3.
Intinya mahasiswa S3 harus mengkritisi berbagai artikel ilmiah dengan
pendekatan interdispliner.
Membaca tulisan tersebut, saya jadi ingat gagasan Prof Amin
Abdullah, guru besar filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tentang pentingnya
berpikir transdisiplin. Menurut Prof
Amin problema kehidupan tidak dapat difahami dengan monodisplin, sehingga
pendekatan transdisiplin harus digunakan.
Mengapa tulisan Bosh tersebut relevan untuk direnungkan? Pengamatan saya, pendidikan S3 sekarang
mengarah ke pragmatis. Kajian yang dilakukan mahasiswa cenderung ke hal-hal
yang teknis dan kurang menumbuhkan kemampuan analisis. Program studi S3 menjadi sempit, sehingga
berpikir transdisiplin yang digagas oleh Prof Amin Abdullah sulit untuk
berkembang. Apalagi waktu dan mungkin
juga kemauan membaca referensi sangat kurang, sehingga telaah literatur yang
menjadi salah satu tugas mahasiswa S3 seringkali tidak maksimal.
Kalau kita membaca disertasi yang sudah terpampang di
perpustakaan, tampak sekali kalau pembahasa teori yang biasanya di bab II kurang
tajam. Yang sering terjadi bagian
tersebut seakan merupakan kompilasi kutipan teori dan hasil penelitian yang
tidak dikaji secara mendalam. Pada hal idealnya
bagian tersebut memuat kajian secara mendalam berbagai konsep, teori, hasil
penelitian, sehingga menemukan “teori atau gabungan teori atau konsep baru” yang
akan digunakan sebagai landasan penelitian.
Bagian yang mendiskusikan temuan yang biasanya termuat di Bab
V seringkali juga sangat kering. Seringkali bagian tersebut hanya mengulang bab
II, membandingkan temuan dengan kutipan referensi yang sudah dimuat sebelumnya. Kadang-kadang membandingkan dengan penelitian
lain tanpa pembahasan secara kritis.
Apakah prodi S3 yang sekarang ini relatif sempit harus
diubah? Menurut saya tidak harus. Yang mendesak adalah bagaimana agar mahasiswa
S3 mampu berpikir transdispliner dalam
menganalisis secara kritis berbagai fenomena, artikel, hasil penelitian
terdahulu. Meminjam istilah Prof Yuyun S. Suriasumantri, bagaimana agar
mahasiswa mampu berpikir filosofis dan bukan sekedar teknis. Lulusan S3 adalah doktor atau dan bukan
teknisi tinggi. Artinya lulusan S3 bukan hanya faham bagaimana sesuatu itu
terjadi atau dikerjakan, tetapi juga dapat menjelaskan mengapa itu terjadi,
mengapa harus dikerjakan seperti itu, serta apa dampak dan manfaat bagi
kehidupan. Meminjam istilah Prof Conny
Semiawan, kemengapaan itulah yang harus ditumbuhkan kepada mahasiswa S3.