Minggu 17 April 2022, saya menghadiri acara pengukuhan Dewan Pendidikan
Jawa Timur Periode 2022 – 2026.
Ternyata Panitia Seleksi (panel) dalam pemilihan dijadikan Penasehat,
sehingga Pak Nuh, Pak Mas’ud, Pak Nasih, Pak Joko, Pak Nurhasan dan saya saat
pemilihan bertugas sebagai pansel ikut dilantik sebagai Dewan Penasehat. Pengurus Dewan Pendidikan Jawa Timur dengan
jumlah anggota 13 orang diketuai oleh Prof. Warsono, mantan rektor Unesa.
Yang menarik selama pelantikan adalah sambutan Gubernur Jawa Timur,
Kofifah Indarparawangsa yang menyampaikan hal-hal yang menurut saya perlu
mendapat perhatian serius. Pertama,
ketidaknyambungan antara IPM dengan berbagai prestasi Pendidikan. Gubernur menyampaikan bahwa IPM Jawa Timur
masih tergolong “di belakang” dibanding propinsi lain, kalau tidak salah masih
ranking belasan. Pada hal siswa-siswa Jatim dua tahun berturut-turut (2020 dan
2021) menjadi juara umum lomba sains nasional.
Jawa Timur juga selalu menjadi propinsi yang memiliki jumlah peserta
yang diterima dalam seleksi masuk perguruan tinggi negeri (SBMPTN). Jawa Timur juga memiliki perpustakaan
terakreditasi terbanyak di Indonesia.
Mengapa paradoks tersebut terjadi? Mungkinkah karena di dalam IPM
terkadung kemampuan membaca dan lama pendidikan masyarakat? Sebagaimana diketahui kemampuan membaca
(literasi) dilihat dari kemampuan membaca “huruf latin”, sedangkan di Jawa Timur banyak masyarakat
yang sudah berusia, ketika masih anak-anak tidak “bersekolah” tetapi mengaji di
pondok pesantren yang memang cenderung mengajarkan membaca dan menulis
huruf Arab. Dengan demikian, jika mereka itu diukur
kemampuan membaca huruf latin mungkin termasuk yang illiterate (tidak pandai
membaca) walaupun mungkin sangat lancar membaca dan menulis Arab.
Masyarakat Jawa Timur juga banyak yang mengirim anaknya ke podok
pesantren, setelah tamat SD/MI. Pondok
pesantren memang tidak terstruktur SD, SMP, SMA, Universitas. Jadi sangat
mungkin mereka yang mondok tidak dikategorikan sekolah. Kecuali yang dalam
pondok ada madrasah MI/MTs/MA. Seperti
pada kasus membaca, Jawa Timur dirugikan karena pengukuran aspek IPM, khususnya
dalam aspek membaca dan lama pendidikan.
Apakah Jawa Timur perlu protes dengan pola pengukuran IPM tersebut? Monggo saja kalau memberi masukan. Namun Jawa
Timur sebaiknya tidak mengubah pola pendidian dan inovasi yang selama ini berjalan,
sekedar untuk mengejar IPM. Dalam konteks pendidikan, Jawa Timur memang khas.
Masyarakat Jawa Timur punya keyakinan sendiri mana pendidikan yang baik. Pemerintah Jawa Timur juga termasuk sangat berani
berinovasi dalam bidang pendidikan. Beberapa
diantaranya adalah: (1) SMA double track, yaitu yang memiliki program vokasi
seperti SMK karena lulusannya banyak yang bekerja setelah lulus, (2) BLUD
(Badan Layanan Umum Daerah) untuk SMK agar dapat mendayagunakan
sarana-prasarana yang dimiliki sekaligus sebagai teaching factory, (3) SMK
membuka kursus untuk mengoptimalkan sarana pembelajaran di luar jam sekolah,
(4) pemberian tunjangan kepada ustadz/ustadzah. Walaupun dalam konteks IPM dan semacam itu,
inovasi tersebut di atas tidak mendapat penilaian, namun sangat bermanfaat bagi
perkembangan pendidikan. Bahkan beberapa diantaranya kemudian diadopsi oleh pemerintah
pusat.
Paradoks kedua, Gubernur menceritakan saat ketemu ibu-ibu di suatu daerah dan
melakukan dialog secara bebas. Gubernur
menyimpulkan ibu-ibu di daerah tersebut seperti “tidak punya harapan ke depan,
tidak punya cita-cita termasuk untuk anaknya”.
Pada hal, harapan masa depan itulah yang menjadi salah satu motivator
utama dalam menjalani kehidupan. Bung Karno pernah mengatakan gantungkan
cita-citamu di langit. Tentu maksudnya
agar menjadi pendorong untuk belajar dan berusaha. Di lain pihak, Jawa Timur memiliki banyak
perguruan tinggi bagus-bagus, baik negeri maupun swasta. Juga banyak tokoh nasional, termasuk Bung
Karni, yang berasal dari Jawa Timur.
Mengapa masih banyak ibu-ibu yang seakan-akan tidak tahu peluang masa
depan yang cerah bagi anaknya? Itulah
yang perlu dicari. Merenungkan itu, saya
jadi teringat saat diskusi dengan Anis Baswedan (saat itu sebagai penggagar program
Indonesia Mengajar), bahwa pengiriman anak-anak muda yang cemerlang ke daerah
terpencil itu, salah satu tujuannya membukan wawasan bagi anak-anak daerah agar
punya cita-cita tinggi. Toh yang datang juga berasal dari daerah yang sekarang
menjadi “orang terkenal”. Mungkinkah,
Jawa Timur mengadopsi program Indonesia Mengajar dengan mengirim anak-anak muda
cemerlang ke daerah yang masyarakatnya masih “hopeless”. Saya yakin bisa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar