Akhirnya Baleg (Badan Legislasi?) tidak memasukkan RUU Sisdiknas dalam Prolegnas yang diketok beberapa hari lalu. Dari youtube yang beredar luas, pemerintah yang diwakili Menteri Hukum dan HAM juga menyetujui dan mengatakan memang RUU tersebut masih harus dirapikan dan disosialisasikan lebih baik. Dengan ungkapan yang hampir sama, pimpinan Baleg berharap agar RUU tersebut dirapikan dengan melibatkan banyak stakeholders. Konon DPR tidak ingin terjadi kegaduhan dan kemudian merembet ke DPR.
Memang sejak RUU itu muncul terjadi “kegaduhan” yang lumayan menyita perhatian dan energi masyarakat, khususnya kalangan pendidik. Seperti biasa tentu ada yang pro dan ada yang kontra. Untungnya kegaduhan tidak menjelma menjadi bentuk fisik, seperti demonstrasi yang biasa terjadi jika masyarakat tidak setuju dengan kebijakan pemerintah. Namun kegaduhan terjadi dalam bentuk tulisan, podcast, video youtube dan media sosial lainnya. Juga terjadi di ruang diskusi di kampus maupun organisasi kemasyarakatan.
Berbagai organisasi masyarakat yang selama ini telah menyelenggarakan pendidikan, seperti Taman Siswa, Muhammadiyah, Al Ma’arif NU, teman-teman dari Katolik dan Kristen, PGRI, ISPI sepertinya kurang mendukung RUU yang diajukan oleh pemerintah. Tentu mereka memiliki argumentasi masing-masing yang sangat mungkin terkait dengan pengalaman maupun visi organisasinya. Seperti biasanya, bagi yang pro mengatakan RUU Sisdiknas diyakini dapat menjadi landasan untuk memperbaiki mutu pendidikan sekarang ini. Sebaliknya yang kontra mengatakan RUU Sisdiknas justru akan membawa pendidikan Indonesia kea rah yang salah. Saya merasa tidak punya kapasitas untuk membahasnya.
Seperti yang pernah saya tulis di blog ini sekian bulan lalu dan juga pernah saya sampaikan di berbagai kesempatan, bahwa pendidikan itu ibarat rumah besar yang dihuni oleh banyak orang dengan latar belakang yang beragam. Semua penghuni merasa memiliki rumah tersebut, merasa tahu bagaimana sebaiknya rumah tersebut dirawat dan dikelola. Ada penghuni yang sudah lama tinggal di situ atau bahkan ikut dalam proses pembangunannya. Tentu mereka relatif sudah senior (tua). Mereka itu seringkali merasa lebih tahu bagaimana seharus merawat rumah yang dihuni, karena merasa faham mengapa rumah dibuat begini dan begitu, mengapa bahannya ini dan bukan yang lain. Di lain pihak ada penghuni baru yang usianya relatif muda dengan pengalaman modern yang merasa lebih tahu bagaimana seharusnya rumah dirawat dengan cara modern dan sebagainya dan sebagainya.
Apa maksudnya? Organisasi masyarakat seperti Muhammadiyah, Al Ma’arif NU, Taman Siswa, Pengelola Sekolah Katolik, Pengelola Sekolah Kristen, Taman Siswa dan ormas lainnya sudah menyelenggarakan pendidikan sangat lama dan bahkan sebelum Indonesia mereka. Tentu mereka sudah makan garam bagaimana menyelenggarakan pendidikan di lapangan. Data menunjukkan jumlah sekolah yang diselenggaran ormas-ormas tersebut lebih banyak dibanding sekolah negeri. Dari sekolah-sekolah tersebut juga telah lain tokoh-tokoh yang ikut berjuang mendirikan NKRI. Jadi dapat difahami, jika secara psikologis mereka merasa berhak ikut menentukan arah pendidikan ke depan.
Sebaiknya pemerintah, khususnya Kemendikbudristek yang secara sah bertugas menangani urusan pendidikan juga merasa wajib berupaya meningkatkan mutu pendidikan. RUU Sisdiknas diyakini sebagai upaya memenuhi kuwajiban tersebut. Sangat mungkin yang duduk di Kemendikbudristek memiliki latar belakang yang berbeda dengan yang mereka yang ada di ormas kependidikan, sehingga pandangannya tentu berbeda. Mungkin juga yang duduk di Kemendikbudristek merasa lebih berhak mengatur pendidikan, karena memang itu tugasnya.
Kembali kepada penghuni rumah besar tadi. Bagaimana jika Pak RT ingin merenovasi rumah? Sebaiknya semua penghuni diajak berembuk, dimintai pandangan, dicari kesepakatan. Konsep renovasi yang ideal dipertemukan dengan pendapat para penghuni sehingga dihasilkan konsep dan pola renovasi yang disepakati bersama dan nantinya dilaksanakan secara gotong royong. Tentu harus ada “take and give” dan rembugan tersebut. Toh memang itu rumah milik bersama dan setelah direnovasi akan dihuni dan dipelihara bersama.
Jadi menurut saya, jika RUU Sisdiknas akan dilanjutkan diperlukan “rembugan” dengan melibatkan sebanyak mungkin stake holders pendidikan. Di samping masalah substansi, saya menduga kegaduhan yang terjadi selama ini karena kurang lancarnya komunikasi antara pemerintah dengan stake holders pendidikan. Jika komuniasi dapat dijalin saya yakin semuanya dapat diselesaikan. Memang dalam rembugan tersebut harus bersedia saling menghormati, saling menerima pandangan yang berbeda. Take and give juga harus diberi peluang. Toh jika sudah menjadi UU Sisdiknas, akan diimplementasikan bersama. Baik pemerintah, dalam hal ini Kemendikbudristek dan ormas kependidikan yang akan melaksanakan. Bagaimana agar RUU itu menjadi “milik bersama” itulah yang harus diupayakan. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar