Saat menjadi pembicara di Global Conference on Teaching, Assessment dan Learning in Education (GC-TALE) tanggal 12 Agustus 2022 yang diadakan oleh Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksa) saya menawarkan konsep Life Based Learning (LBL) untuk diadaptasi dan digunakan dalam pembelajaran di era digital ini. Saya tidak menyangka kalau respons peserta sangat tinggi, sehingga beberapa universitas meminta saya untuk menjelaskan di kampusnya.
LBL pertama kali diperkenalkan pertama kali oleh Maret Staron pada tahun 2011. Jadi sudah 11 tahun lalu dan sebenarnya sudah dijadikan bahasan perkuliahan di beberapa universitas. Beberapa teman menterjemahkan menjadi Pembelajaran Berbasis Kehidupan (PBK). Juga sudah banyak artikel yang membahas dan bahkan melaporkan ketika diterapkan pada matapelajaran/ matakuliah tertentu.
Ketika terjadi banjir informasi (information overloaded) seperti sekarang ini, sehingga siswa/mahasiswa dapat memperoleh informasi dari berbagai sumber secara mudah dan murah, maka pola integrated learning yang ditawarkan LBL sangat relevan. LBL memahami bahwa siswa/mahasiswa dapat memperoleh informasi atau pengetahuan dari berbagai sumber, misalnya saat bermain, saat bekerja, dari berinteraksi dengan orang lain dan sebagainya. Siswa SD dapat saja mendapatkan konsep “supply-demand” saat ikut ibunya berbelanja. Siswa SD dapat saja mendapatkan pengetahuan tentang gaya sentrifugal saat naik motor bersama teman-temannya. Nah, Staron lewat konsep LPM mengajukan gagasan agar informasi dari berbagai sumber itu diintegrasikan dalam proses pembelajaran. Guru dan dosen dapat memanfaatkan berbagai sumber informasi tersebut untuk pembelajaran sisw/mahasiswanya. Bahkan akan lebih baik itu dirancang untuk menumbuhkan kemampuan menggali informasi dan kemudian mesintesanya.
Dengan cara itu, pembelajaran akan mengembangkan kapabilitas (capability) karena siswa/mahasiswa terbiasa belajar secara mandiri dan setiap siswa/mahasiswa dapat mepertanggungjawabkan simpulanya secara sendiri-sendiri. Tentu setiap siswa/mahasiswa memiliki keunggulan sekaligus kekurangan masing-masing, sehingga kerjasama yang dialogis perlu ditumbuhkan, misalnya melalui kerja kelompok. Menggali informasi sendiri, mensintesakan sendiri dan guru/dosen “hanya” sebagai pembimbingnya. Kebiasaan itu akan membentuk kemampuan siswa/mahasiwa secara utuh (the whole person).
Apakah konsep itu dapat diterapkan pada jenjang SD. Menurut saya bisa, tetapi secara bertahap. Jika belum diterapkan setiap hari, konsep LBL dapat diterapkan dapat bentuk project work, misalnya satu minggu sekali. Misalnya siswa SD kelas IV untuk menghitung kebutuhan dana untuk membeli beras bagi seluruh warga di RT dimana yang bersangkutan tinggal. Dari pelajaran IPA siswa bisa tahu berapa rata-rata kebutuhan beras untuk makan per orang per hari. Siswa dapat mengetahui jumlah warga di RT-nya dengan mendatangi Ketua RT dan meminta informasi tersebut. Siswa juga dapat mencari informasi harga beras melalui internet atau bertanya kepada ibunya. Dengan mengolah data tersebut siswa akan memperoleh jawaban, berapa kebutuhan dana untuk membelikan beras bagi seluruh warga di RTnya.
Sebenarnya kosep LBL yang diajukan oleh Staron tidaklah benar-benar baru. Dalam buku Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skills Education) (2003), Kemdikbud juga mengajukan konsep yang mirip. Dalam konsep tersebut disebutkan bahwa tujuan akhir orang belajar adalah untuk memahami fenomena dan memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan. Oleh karena itu kemampuan yang perlu ditumbuhkan adalah kemampuan menggali infomasi, melakukan analisis-sintesis untuk mehami fenomena dan atau problem yang dihadapi, kemudian memecakannya secara kreatif. Bukankan keduanya mirip?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar