Selasa tangal 29 Agustus 2023 saya diundang oleh Universitas Ciputra Surabaya (UC) untuk menyampaikan pengalaman tentang etika penelitian. Saya agak kaget menerima permintaan tersebut, karena: (1) Saya sudah pensiun sebagai dosen PNS sehingga intensitas saya dalam penelitian sudah jauh menurun. Bukan karena tidak kepengin meneliti, tetapi fasilitas untuk itu sudah sangat terbatas. Memang saya masih menjadi dosen dengan NIDK, tetapi hak dan kuwajibannya hanya untuk bidang pendidikan, katakankah memberi kuliah dan membimbing penyusuan skripsi/tesis/disertasi. (2) Dengan usian di atas 70 tahun tentu saya harus menghemat enersi, sehingga menghindari penelitian lapangan yang harus mengumpulkan data sendiri.
Etika penelitain sebenarnya sudah banyak dibahas oleh berbagai buku. Gambar di sebelah saya ambil dari suatu situs tertentu, dan itu saya pilih karena paling sederhana dan mudah difahami. Pertama, jujur (honesty), artinya peneliti tidak boleh bohong dan tidak boleh menyembunyikan sesuatu data/ informasi yang seharus dibuka kepada publik. Tentu dengan memperhatikan nilai/norma yang berlaku. Kedua obyektif, artinya dalam memberikan penilaian harus apa adanya dan tidak dipengaruhi oleh subyektivitas. Obyektif dalam penelitian kuantitatif dipadankan dengan valid atau sahih dan dalam penelitian kualitatif dipadankan dengan keabsahan data. Ketiga akurat, artinya dalam pengukurannya harus akurat. Ibarat menimbang emas jangan menggunakan timbangan beras karena kurang akurat, demikian pula jika mengukur persetujuan orang terhadap suatu gagasan jangan hanya ditanya setuju atau tidak, karena ada yang sangat setuju atau sekedar setuju dan juga da yang tidak setuju atau bahkan ada yang sangat tidak setuju. Ke-empat efisien, artinya penelitan harus fokus pada apa masalah yang ingin ditemukan dan tidak melebar kemana-mana. Dalam bahasa lain, penelitian tidak perlu terlalu luas tetapi harus mendalam dan itu artinya fokus pada apa yang ingin ditemukan.
Apakah pelanggaran etika yang sering terjadi dalam penelitian? Menurut pengalaman saya membimbing mahasiswa, ada tiga jenis yaitu plagitasi, falsifikasi dan fabrikasi. Tentang plagiasi semua orang faham yang artinya menyontek tulisan orang lain. Yang seringkali lebih mengganggu mengutip dari kutipan tetapi tidak menyebutkan yang dikutip. Pernah saya mencurigai mahasiswa yang mengutip artikel di suatu jurnal, tetapi ketika saya tanya isi jurnal secara utuh tidak dapat menjawab. Ternyata yang bersangkutan mengutip dari tulisan orang yang mengutip jurnal tersebut. Tetapi dia “mengaku” mengutip langsung ke jurnalnya.
Falsifikasi yang sering terjadi adalah mengubah data dan itu sering ketika datanya tidak normal kemudian diubah agar normal sehingga memenuhi syarat untuk dianalisis dengan metoda tertentu. Atau kadang-kadang ketika hipotesis yang diajukan tidak terbukti, kemudian datanya diubah agar menjadi terbukti. Kejadian tersebut terjadi karena si peneliti tidak tahu kalau ada metoda analisis lain yang tidak mensyaratkan datannya normal. Yang bersangkutan juga tidak faham bahwa hipotesis tidak harus terbukti di lapangan. Yang penting harus dapat menjelaskan beberapa kemungkinan mengapa tidak terbukti. Bahkan hipotesis yang tidak terbukti membuka peluang untuk menyempurnakan teori yang digunakan untuk membangun hipotesis tersebut.
Apa yang disebut fabrikasi? Mengarang data, pada hal yang bersangkutan tidak melakukan pengumpulan data. Biasanya kejadian seperti itu ketika si peneliti pernah melihat penelitian sejenis dan tahu bentuk dan skala datanya seperti apa. Berdasarkan itu kemudian yang bersangkutan mengarang data penelitiannya. Bagi penguji atau penelitian yang berpengalaman data hasil fabrikasi mudah terlihat karena biasanya ada yang janggal.
Terhadap yang saya paparkan praktis tidak ada yang mempertanyakan. Namun pada saat diskusi ternyata justru muncul pertanyaan yang menarik. Ada yang menyampaikan pernah mendapat tawaran dari suatu perusahaan yang dapat membantu dalam pemilihan sampel dan pengumpulan data. Perusahaan tersebut menyatakan mempunyai ribuan data orang dengan tingkat pendidikan, pekerjaaan dan sebagainya. Dengan begitu sangat mundah mencari subyek penelitian atau informan yang cocok. Terhadap infomasi itu kemudian berkembang diskusi, dari mana perusahaan tersebut mendapat data. Bukankah data pribadi seperti itu bersifat rahasia. Jangan-jangan data tersebut merupakan data tidak legal, artinya diperoleh dengan cara tidak sah.
Seorang dosen UC yang lain justru bercerita ketika bekerjasama dengan peneliti senior di negara maju pernah ditanya ethical clearance, ketika mengumpulkan data penelitiannya. Artinya apakah dalam mengumpulkan data mememuhi standar etika yang berlaku. Dengan kata lain, etika dalam pengumpulan data juga harus mendapat perhatian. Mendengar penjelasan itu, saya jadi teringat ketika menguji disertasi S3 tentang proses pembelajaran di Akademi Kemiliteran. Promovendus meminta taruna mengisi kuesioner untuk “menilai” proses belajar-mengajar oleh dosen dan setiap taruna menyebutkan nama dalam kuesioner tersebut. Secara berkelakar saya menyebutkan pasti tidak ada taruna yang menilai proses belajar-mengajar dosennya tidak baik. Taruna pasti takut mengatakan yang sebenarnya karena dapat diketahui oleh dosen dan itu akan sangat beresiko bagi yang bersangkutan.
Pertanyaan lain yang muncul bagaimana etika bagi dosen pembimbing/promotor yang ingin namanya masuk di artikel yang ditulis bimhingannya. Sebenarnya itu sudah merupakan kelaziman di dunia internasional. Namun, dosen pembimbing sebagai co-writer dan bukan first writer. Bagaimana kalau seorang dosen yang membimbing beberapa mahasiswa kemudian ingin memanfaatkan datanya untuk dianalisis dengan cara lain yang berbeda dengan yang dikerjakan oleh mahasiswa. Menurut saya itu boleh, selama disebutkan dari mana data yang digunakakan. Saya beberapa kali menggunakan data hasil akreditasi BAN SM dan juga LAMDIK untuk saya analiais dan menjadi artikel d jurnal. Tentu harus seijin yang “memiliki” data, sebagai sebuah ethical clearance.
Menjelang usai muncul pertanyaan, bagaimana kalau ada dosen senior yang meminta yuniornya memasukkan namanya dalam suatu artikel yang sedang ditulis. Dengan berkelakar saya mengatakan “kalau tida ikut bekerja apakah layak mendapat upah”. Maksudnya kalau senior tersebut tidak ikut terlibat dalam penelitian, apa yang pantas namanya dicantumkan. Respons saya ditanggapi oleh peserta lain bahwa hal seperti itu terjadi dan yang Yunior tidak berani menolak. Semoga itu hanya merupakan kasus dan tidak banyak terjadi di negeri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar