Senin, 04 Maret 2024

APAKAH KITA MASIH MEMERLUKAN SEKOLAH?

Minggu 11 Februari 2024 saya bertemu dengan Drs. Alimudin, MSi, Deputi Bidang Sosial dan Budaya IKN (Ibu Kota Negara) di Jogyakarta.  Pertemuan dijembatasi oleh Dr. Santi Ambarukmi, M.Ed, Direktur Pembinaan Guru PAUD Kemdikbudristek.  Beberapa hari sebelumnya, Mbak Santi, begitu saya biasa memanggil, mengontak saya dan mengatakan Pak Alimudin ingin ketemu untuk diskusi tentang Peta Jalan Pendidikan di IKN.  Terdorong ingin tahu siapa beliau, saya coba Googling dan ketemu, bahwa beliau sebelumnya pernah menjadi Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten PPPU (Penajam Pasir Utara).

Tanggal 11 Februari 2024 sore kami ketemu di Hotel Grand Mercure dan diikuti juga oleh beberapa orang, antara lain Pak Alimudin, Mbak Santi, Mbah Dian (Plt Karo Ortala Kemdikbud), Pak Suwito dan Pak Panggih. Dua terakhri adalah staf Pak Alimudian di IKN.  Di awal pertemuan, Pak Alimudin menjelaskan ingin punya Peta Jalan Pendidikan di IKN, yang berbeda dengan pendidikan selama ini.  Mengutip pengarahan presiden Jokowi, IKN harus menjadi model pendidikan yang cocok untuk masa depan. Regulasi di IKN memberi peluang luas untuk merancang persekolahan dan pendidikan tinggi yang berbeda dengan yang selama ini ada dan tidak harus mengikuti begitu saja regulasi Pemerintah Pusat.

Ketika diberi kesempatan berbicara, saya bertanya “Apakah IKN masih memerlukan sekolah?”.  Tampaknya beberapa teman yang hadir agak bingung dengan pertanyaan saya.  Bukankah kita sedang mencari bentuk pendidikan di IKN, artinya bagaimana pola pesekolahan dan pendidikan tinggi.  Kalau tidak ada sekolah, terus seperti apa?  Begitu dugaan saya, apa yang dipikirkan beberapa teman merespons pertanyaan saya.  Oleh karena itu saya mengatakan itu hanyalah pertanyaan untuk mendorong apakah pola pendidikan, dalam arti persekolahan dan pendidikan tinggi sekarang ini masih relevan dengan perkembangan ilmu dan teknologi.

Untuk memberikan gambaran yang saya mengutip ungkapan Charles  Handy (2009) yang mengatakan “We need totally new kind of schooling, which not about learning knowledge and facts. Those are necessary but that’s are very easy to get now.  The students must know what to do with all those knowledge and how to do it”.  Saya juga mengutip temuan Jim Clifton (2016) (chairman dari dari Gallup) yang mengatakan saat mencari karyawan baru Google (Perusahaan di bidang IT) dan EY (Perusahaan di bidang Keuangan) tidak menanyakan si calon lulusan mana dan bidangnya apa, tetapi bertanya punya kemampuan apa yang diyakini dapat ikut memajukan Google atau EY.  Clifton meyakini pola seperti itu akan diikuti oleh perusahaan lain, karena ke depan yang dipentingkan adalah kompetensi dan bukan ijasah.  Seperti juga disebutkan oleh Jorgen Muller (2012) dalam buku How Asia Can Shape the World, bahwa pendidikan ke depan tidak penting apa levelnya dan berapa lamanya, tetapi lulusannya bisa apa.

Seperti halnya ide de schooling society dari Ivan Illich, pertanyaan “apakah IKN masih memerlukan sekolah” itu untuk memancing seberapa kita berani mengubah pola sekolah dan universitas yang sekarang ini ada.  Sekolah dan universitas masih tetap diperlukan, tetapi sangat mungkin bukan yang seperti sekarang ini ada.  Jika MOOC (massive open online course) telah menjadi era baru dalam mengenal matakuliah dari berbagai universitas hebat di dunia, Coursera telah menjadi semacam Tokopedia tetapi yang ditawarkan matakuliah dari beberapa universitas ternama di dunia, apakah pola persekolahan termasuk pendidikan tinggi yang sekarang ini berjalan masih cock?  Bukankah anak muda dan bahkan orang dewasa akan belajar dari matakuliah (paket belajar) yang di MOOC atau yang ditawarkan oleh Coursera?

Sekitar 15 abad lalu, Ali bin Abi Thalib mengatakan “didiklah anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka tidak hidup di zamanmu”.  Seakan memperjelas ungkapan Ali bin Abi Thalib, Trilling dan Fadel mengatakan “Jika ingin merancang pendidikan, pikirkan seperti apa situasi dunia 20 tahun yang akan datang, saat anak sudah lulus dan terjun bekerja dan bermasyarakat. Berdasar itu, pikirkan kemampuan apa yang diperlukan untuk dapat sukses di masa itu. Kemampuan itulah yang harus dikembangkan melalui pendidikan”.   Pertanyaannya apakah pendidikan di sekolah dan perguruan tinggi saat ini melakukan hal itu?  Artinya mengajarkan kemampuan yang yang diperlukan 20 tahun akan datang?  Dugaan saya tidak.

Saat ini isi pendidikan di sekolah maupun perguruan tinggi fragmented.  Siswa dan mahasiswa harus belajar matapelajaran/matakuliah secara terpisah, sesuai disiplin ilmunya.  Mereka tidak dipandu bagaimana mensintesakan berbagai bidang ilmu ilmu.  Ditambah lagi, seringkali guru dan dosen sangat membanggakan bidangnya, sehingga mendorong siswa/mahasiswa mendalami menekuni tanpa menggandengkan bidang lain.  Pada hal Garner (2011) telah mengatakan ke depan diperlukan perubahan mindset, dari disciplinary mind menjadi synthesizing mind, creative mind, respectful mind dan ethical mind.

Lantas seperti apa seharusnya persekolahan dan pendidikan tinggi ke depan?  Bukankah dengan perkembangan iptek yang sangat cepat dan bahkan seringkali discontinuous sangat sulit untuk memprediksi keadaan 20 tahun mendatang?  Karena sulit memprediksi keadaan 20 tahun mendatang, otomatis juga sulit memprediksi kemampuan yang diperlukan. Oleh karena itu, pendidikan harus menumbuhkembangkan kemampuan yang diyakini akan diperlukan dalam situasi apapun plus kemampuan dan kemauan untuk belajar cepat, beradapatsi dengan perkembangan baru.   Berarti pendidikan harus menekankan kepada capability dan life long learning. Pendidikan memberikan pondasi (basic skills) yang kokoh dan kemampuan belajar (learning to learn).   Semoga.

Tidak ada komentar: