Minggu 11 Februari 2024 saya bertemu dengan Drs. Alimudin, MSi, Deputi Bidang Sosial dan Budaya IKN (Ibu Kota Negara) di Jogyakarta. Pertemuan dijembatasi oleh Dr. Santi Ambarukmi, M.Ed, Direktur Pembinaan Guru PAUD Kemdikbudristek. Beberapa hari sebelumnya, Mbak Santi, begitu saya biasa memanggil, mengontak saya dan mengatakan Pak Alimudin ingin ketemu untuk diskusi tentang Peta Jalan Pendidikan di IKN. Terdorong ingin tahu siapa beliau, saya coba Googling dan ketemu, bahwa beliau sebelumnya pernah menjadi Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten PPPU (Penajam Pasir Utara).
Tanggal 11 Februari 2024 sore kami ketemu di Hotel Grand Mercure dan
diikuti juga oleh beberapa orang, antara lain Pak Alimudin, Mbak Santi, Mbah
Dian (Plt Karo Ortala Kemdikbud), Pak Suwito dan Pak Panggih. Dua terakhri
adalah staf Pak Alimudian di IKN. Di
awal pertemuan, Pak Alimudin menjelaskan ingin punya Peta Jalan Pendidikan di
IKN, yang berbeda dengan pendidikan selama ini.
Mengutip pengarahan presiden Jokowi, IKN harus menjadi model pendidikan
yang cocok untuk masa depan. Regulasi di IKN memberi peluang luas untuk
merancang persekolahan dan pendidikan tinggi yang berbeda dengan yang selama
ini ada dan tidak harus mengikuti begitu saja regulasi Pemerintah Pusat.
Ketika diberi kesempatan berbicara, saya bertanya “Apakah IKN masih memerlukan sekolah?”. Tampaknya beberapa teman yang hadir agak bingung dengan pertanyaan saya. Bukankah kita sedang mencari bentuk pendidikan di IKN, artinya bagaimana pola pesekolahan dan pendidikan tinggi. Kalau tidak ada sekolah, terus seperti apa? Begitu dugaan saya, apa yang dipikirkan beberapa teman merespons pertanyaan saya. Oleh karena itu saya mengatakan itu hanyalah pertanyaan untuk mendorong apakah pola pendidikan, dalam arti persekolahan dan pendidikan tinggi sekarang ini masih relevan dengan perkembangan ilmu dan teknologi.
Untuk memberikan gambaran yang saya mengutip ungkapan Charles Handy (2009) yang mengatakan “We need
totally new kind of schooling, which not about learning knowledge and facts.
Those are necessary but that’s are very easy to get now. The students must know what to do with all
those knowledge and how to do it”. Saya
juga mengutip temuan Jim Clifton (2016) (chairman dari dari Gallup) yang
mengatakan saat mencari karyawan baru Google (Perusahaan di bidang IT) dan EY
(Perusahaan di bidang Keuangan) tidak menanyakan si calon lulusan mana dan
bidangnya apa, tetapi bertanya punya kemampuan apa yang diyakini dapat ikut
memajukan Google atau EY. Clifton
meyakini pola seperti itu akan diikuti oleh perusahaan lain, karena ke depan
yang dipentingkan adalah kompetensi dan bukan ijasah. Seperti juga disebutkan oleh Jorgen Muller
(2012) dalam buku How Asia Can Shape the World, bahwa pendidikan ke depan tidak
penting apa levelnya dan berapa lamanya, tetapi lulusannya bisa apa.
Seperti halnya ide de schooling society dari Ivan Illich, pertanyaan
“apakah IKN masih memerlukan sekolah” itu untuk memancing seberapa kita berani
mengubah pola sekolah dan universitas yang sekarang ini ada. Sekolah dan universitas masih tetap
diperlukan, tetapi sangat mungkin bukan yang seperti sekarang ini ada. Jika MOOC (massive open online course)
telah menjadi era baru dalam mengenal matakuliah dari berbagai universitas
hebat di dunia, Coursera telah menjadi semacam Tokopedia tetapi yang ditawarkan
matakuliah dari beberapa universitas ternama di dunia, apakah pola persekolahan
termasuk pendidikan tinggi yang sekarang ini berjalan masih cock? Bukankah anak muda dan bahkan orang dewasa
akan belajar dari matakuliah (paket belajar) yang di MOOC atau yang ditawarkan
oleh Coursera?
Sekitar 15 abad lalu, Ali bin Abi Thalib mengatakan “didiklah anakmu
sesuai dengan zamannya, karena mereka tidak hidup di zamanmu”. Seakan memperjelas ungkapan Ali bin Abi
Thalib, Trilling dan Fadel mengatakan “Jika ingin merancang pendidikan,
pikirkan seperti apa situasi dunia 20 tahun yang akan datang, saat anak sudah
lulus dan terjun bekerja dan bermasyarakat. Berdasar itu, pikirkan kemampuan
apa yang diperlukan untuk dapat sukses di masa itu. Kemampuan itulah yang harus
dikembangkan melalui pendidikan”.
Pertanyaannya apakah pendidikan di sekolah dan perguruan tinggi saat ini
melakukan hal itu? Artinya mengajarkan
kemampuan yang yang diperlukan 20 tahun akan datang? Dugaan saya tidak.
Saat ini isi pendidikan di sekolah maupun perguruan tinggi
fragmented. Siswa dan mahasiswa harus
belajar matapelajaran/matakuliah secara terpisah, sesuai disiplin ilmunya. Mereka tidak dipandu bagaimana mensintesakan
berbagai bidang ilmu ilmu. Ditambah lagi,
seringkali guru dan dosen sangat membanggakan bidangnya, sehingga mendorong siswa/mahasiswa
mendalami menekuni tanpa menggandengkan bidang lain. Pada hal Garner (2011) telah mengatakan ke
depan diperlukan perubahan mindset, dari disciplinary mind menjadi synthesizing
mind, creative mind, respectful mind dan ethical mind.
Lantas seperti apa seharusnya persekolahan dan pendidikan tinggi ke
depan? Bukankah dengan perkembangan iptek
yang sangat cepat dan bahkan seringkali discontinuous sangat sulit untuk
memprediksi keadaan 20 tahun mendatang? Karena
sulit memprediksi keadaan 20 tahun mendatang, otomatis juga sulit memprediksi
kemampuan yang diperlukan. Oleh karena itu, pendidikan harus menumbuhkembangkan
kemampuan yang diyakini akan diperlukan dalam situasi apapun plus kemampuan dan
kemauan untuk belajar cepat, beradapatsi dengan perkembangan baru. Berarti pendidikan harus menekankan kepada capability
dan life long learning. Pendidikan memberikan pondasi (basic skills)
yang kokoh dan kemampuan belajar (learning to learn). Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar