Saya punya dua cucu yang sudah masuk TK sejak tahun 2022. Keduanya laki-laki. Mereka tidak tinggal serumah, karena anak dari dua keluarga yang berbeda. Rumah di kota yang lahannya sangat kecil, sehingga tidak punya tempat bermain yang leluasa. Tinggal di perumahan yang pintu pagar selalu dikunci, sehingga anak-anak tidak bebas main di jalan atau main ke tetangga.
Semestinya mereka sudah masuk TK pada
tahun 2021. Namun karena masa pandemi dan sekolah dilaksanakan secara online,
kedua keluarga tersebut memutuskan menunda memasukkan ke KB atau TK dengan
alasan di KB dan TK itu lebih banyak belajar sosialisasi dan pembiasaan ini dan
itu. Kalau online tentu tidak
maksimal. Jika nanti sekolah masuk
beneran, orangtuanya takut anaknya ketularan covid. Apalagi anak seusia itu
belum vaksin dan tentu tidak mudah kalau harus pakai masker, menjaga jarak dan
sebagainya.
Akhirnya mereka memutuskan “mendidik sendiri” dengan mencari berbagai referensi. Karena harus belajar bersosialiasi dan masih takut ketemu dengan “orang luar”, ujung-ujungnya dua anak kecil itu sering dipertemukan di rumah saya, rumah kakeknya. Saya akhirnya juga ikut mengamati dan membantu mengasuhnya. Rumah kamipun seperti ruang belajar KB dan TK. Kursi dan perabotan dipinggirkan, barang-barang yang mudah pecah disembunyikan. Bola, balon, puzzle dari kayu dan berbagai permainan disediakan. Seringkali keduanya berlarian di halaman atau bahkan di jalan depan rumah.
Ibu dan kedua
anak itu tampak sabar menemani mereka secara bergantian. Mengajari ini-itu,
membiasakan ini-itu. Pengalaman mereka
ketika di TK tampaknya diterapkan, disamping dari bacaan. Seringkali keduanya diputarkan video edukasi. Tampaknya, dengan memutuskan menunda
anak-anaknya ke KB/TK, kedua orangtuanya menyiapkan banyak hal. Termasuk menyediakan alat bermain edukatif.
Saya yang mengamati jadi belajar
banyak hal. Ternyata berbagi (sharing)
dan meminta maaf adalah dua hal yang paling tidak mudah ditumbuhkan. Untuk mencuci tangan dan berdo’a sebelum
makan, salinng membantu ketika mengerjakan sesuatu tampaknya lebih mudah. Tetapi ketika harus berbagi mainan ternyata
tidak mudah. Kata “hayoo sharing”
akhirnya menjadi teriakan yang paling sering terdengar dari ibunya. Sampai
tulisan ini dibuat tampaknya kesadaran untuk sharing itu juga belum tumbuh
maksimal. Sudah mau sih, tetapi
seringkali menunggu ibunya berteriak “hayoo sharing”. Berbagi yang lebih mudah kalau membaca buku,
lebih tepatnya melihat gambar cerita atau melihat video. Tetapi untuk mainan tampaknya masih harus
menunggu ibunya meminta berbagi.
Kami, kakek dan orangtua kedua anak
itu sepakat anak-anak sejak diri harus dikenalkan bahwa ada barang-barang
“milik bersama” yang penggunaannya harus berbagi. Istilah “milik bersama”
penting ditumbuhkan sebagai bekal ketika dewasa agar tidak menggunakan
fasilitas umum seenaknya. Agar mau memberi kesempatan orang lain juga
menggunakan. Agar saat menggunakan
fasilitas umum selalu ingat juga ada orang lain yang menggunakan. Saat pergi bersama, saya sering mengatakan kalau
berkendara di jalan raya harus ingat bahwa ada orang lain yang juga berkendara,
sehingga tidak boleh seenaknya.
Mengantri dapat menjadi salah satu contoh berperilaku
“berbagi”. Kita sering mengamati adanya
orang yang menerobos saat yang lain mengantri. Itu sering terjadi di bandara,
saat check in dan antri masuk pesawat.
Pada hal, orang naik pesawat tentunya cukup punya uang. Artinya kekayaan dengan kesediaan untuk mengantri
tidak selalu paralel. Saya juga pernah
melihat mobil bagus yang parkir di tempat penjemputan di bandara, sehingga menghalangi
mobil lain. Anak muda yang mobilnya
terhalang menggerutu “kaya tapi nggak tahu aturan”.
Minta maaf ternyata juga tidak mudah
untuk ditumbuhkan. Pada hal, sudah sejak
kecil keduanya dibiasakan saling merangkul ketika akan berpisah. Biasanya ibunya meminta “hayoo big heart”. Namun kalau membuat kesalahan, misalnya
merebut mainan terus disuruh minta maaf sangat sulit. Biasanya harus berulang
kali menyuruhnya. Dan itu terjadi pada
keduanya. Artinya kedua anak itu sulit untuk meminta maaf. Orangtua sering harus
memaksa anaknya untuk meminta maaf saat merebut mainan saudaranya atau membuat
kesalahan lain. Itu memerlukan kesabaran karena si anak lama sekali baru mau
minta maaf.
Yang cukup menggembiarakan, kedua
anak itu mudah untuk mengatakan terima kasih. Walapun harus diingatkan. Tetapi
begitu diingatkan “bilang terima kasih dong”, biasanya langsung mengucapkan
terima kasih. Biasanya mengucapkan terima kasih sambil nyengir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar