Sabtu, 02 Maret 2024

BERBAGI DAN MINTA MAAF

 Saya punya dua cucu yang sudah masuk TK sejak tahun 2022. Keduanya laki-laki.  Mereka tidak tinggal serumah, karena anak dari dua keluarga yang berbeda.  Rumah di kota yang lahannya sangat kecil, sehingga tidak punya tempat bermain yang leluasa.  Tinggal di perumahan yang pintu pagar selalu dikunci, sehingga anak-anak tidak bebas main di jalan atau main ke tetangga.

Semestinya mereka sudah masuk TK pada tahun 2021. Namun karena masa pandemi dan sekolah dilaksanakan secara online, kedua keluarga tersebut memutuskan menunda memasukkan ke KB atau TK dengan alasan di KB dan TK itu lebih banyak belajar sosialisasi dan pembiasaan ini dan itu.  Kalau online tentu tidak maksimal.  Jika nanti sekolah masuk beneran, orangtuanya takut anaknya ketularan covid. Apalagi anak seusia itu belum vaksin dan tentu tidak mudah kalau harus pakai masker, menjaga jarak dan sebagainya. 

Akhirnya mereka memutuskan “mendidik sendiri” dengan mencari berbagai referensi.  Karena harus belajar bersosialiasi dan masih takut ketemu dengan “orang luar”, ujung-ujungnya dua anak kecil itu sering dipertemukan di rumah saya, rumah kakeknya.  Saya akhirnya juga ikut mengamati dan membantu mengasuhnya.  Rumah kamipun seperti ruang belajar KB dan TK. Kursi dan perabotan dipinggirkan, barang-barang yang mudah pecah disembunyikan. Bola, balon, puzzle dari kayu dan berbagai permainan disediakan. Seringkali keduanya berlarian di halaman atau bahkan di jalan depan rumah.

Ibu dan kedua anak itu tampak sabar menemani mereka secara bergantian. Mengajari ini-itu, membiasakan ini-itu.  Pengalaman mereka ketika di TK tampaknya diterapkan, disamping dari bacaan.  Seringkali keduanya diputarkan video edukasi.  Tampaknya, dengan memutuskan menunda anak-anaknya ke KB/TK, kedua orangtuanya menyiapkan banyak hal.  Termasuk menyediakan alat bermain edukatif.

Saya yang mengamati jadi belajar banyak hal.  Ternyata berbagi (sharing) dan meminta maaf adalah dua hal yang paling tidak mudah ditumbuhkan.  Untuk mencuci tangan dan berdo’a sebelum makan, salinng membantu ketika mengerjakan sesuatu tampaknya lebih mudah.  Tetapi ketika harus berbagi mainan ternyata tidak mudah.  Kata “hayoo sharing” akhirnya menjadi teriakan yang paling sering terdengar dari ibunya. Sampai tulisan ini dibuat tampaknya kesadaran untuk sharing itu juga belum tumbuh maksimal.  Sudah mau sih, tetapi seringkali menunggu ibunya berteriak “hayoo sharing”.   Berbagi yang lebih mudah kalau membaca buku, lebih tepatnya melihat gambar cerita atau melihat video.  Tetapi untuk mainan tampaknya masih harus menunggu ibunya meminta berbagi.

Kami, kakek dan orangtua kedua anak itu sepakat anak-anak sejak diri harus dikenalkan bahwa ada barang-barang “milik bersama” yang penggunaannya harus berbagi. Istilah “milik bersama” penting ditumbuhkan sebagai bekal ketika dewasa agar tidak menggunakan fasilitas umum seenaknya. Agar mau memberi kesempatan orang lain juga menggunakan.  Agar saat menggunakan fasilitas umum selalu ingat juga ada orang lain yang menggunakan.  Saat pergi bersama, saya sering mengatakan kalau berkendara di jalan raya harus ingat bahwa ada orang lain yang juga berkendara, sehingga tidak boleh seenaknya. 

 Mengantri dapat menjadi salah satu contoh berperilaku “berbagi”.  Kita sering mengamati adanya orang yang menerobos saat yang lain mengantri. Itu sering terjadi di bandara, saat check in dan antri masuk pesawat.  Pada hal, orang naik pesawat tentunya cukup punya uang.  Artinya kekayaan dengan kesediaan untuk mengantri tidak selalu paralel.  Saya juga pernah melihat mobil bagus yang parkir di tempat penjemputan di bandara, sehingga menghalangi mobil lain.  Anak muda yang mobilnya terhalang menggerutu “kaya tapi nggak tahu aturan”.

Minta maaf ternyata juga tidak mudah untuk ditumbuhkan.  Pada hal, sudah sejak kecil keduanya dibiasakan saling merangkul ketika akan berpisah.  Biasanya ibunya meminta “hayoo big heart”.  Namun kalau membuat kesalahan, misalnya merebut mainan terus disuruh minta maaf sangat sulit. Biasanya harus berulang kali menyuruhnya.  Dan itu terjadi pada keduanya. Artinya kedua anak itu sulit untuk meminta maaf. Orangtua sering harus memaksa anaknya untuk meminta maaf saat merebut mainan saudaranya atau membuat kesalahan lain. Itu memerlukan kesabaran karena si anak lama sekali baru mau minta maaf.

Yang cukup menggembiarakan, kedua anak itu mudah untuk mengatakan terima kasih. Walapun harus diingatkan. Tetapi begitu diingatkan “bilang terima kasih dong”, biasanya langsung mengucapkan terima kasih. Biasanya mengucapkan terima kasih sambil nyengir.

Apakah kecenderungan sulit berbagi dan meminta maaf itu juga terjadi pada anak-anak kecil, jujur saya tidak tahu.  Apakah itu hanya terjadi pada cucu saya, saya juga tidak tahu. Pada hal, menurut saya “berbagai, minta maaf dan berterima kasih saat diberi sesuatu” merupakan tiga hal yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Semoga kita dapat menumbuhkan kebiasaan itu kepada anak-cucu kita.

Tidak ada komentar: