Tanggal 22 Januari 2025 saya diundang sebagai pembicara pada Konggres Pendidikan-PB NU di Hotel Bidakara Jakarta, bersama Prof Ali Ramdhani (Guru Besar UIN Bandung dan Sekjen Kemenag), Bu Kofifah Endarparawansa (Gubernur Jatim Terpilih 2024), dan Bu Najela Shihab (pendiri PSPK dan Sekolah Cikal). Saya tidak tahu mengapa saya diundang. Yang mengirim undangan Prof Ainun Na’im (Guru Besar UGM dan mantan Sekjen Kemdikbud). Bahkan besuknya Prof Kacung Marijan (Guru Besar Unair dan mantan Dirjen Kebudayaan Kemdikbud) juga mengirim undangan yang sama. Ketika saya tanyakan ke Prof Kacung, tanya dijawab agar menyampaikan pemikiran tentang Pendidikan Dasar dan Menengah. Di acara tersebut Ternyata juga hadir Prof Biyanto (Guru Besar UIN Surabaya dan Staf Ahli Menteri Dikdasmen, mewakili Kementerian).
NU memiiki sangat banyak lembaga pendidikan, baik itu berupa
sekolah, madrasah maupun pondok pesantren.
Sekolah, madrasah, pondok pesantren tersebut sudah berdiri jauh sebelum
Indonesia Merdeka dan sudah menghasilkan banyak tokoh di negeri ini. Bersama Muhammadiyah, Taman Siswa dan
organisasi lainnya, harus diakui bahwa organisasi penyelenggara pendidikan itu
telah berkontribusi besar terhadap kemajuan bangsa Indonesia.
Yang hadir dalam koggres itu pada umumnya pimpinan lembaga
penyelenggara pendidikan di NU, antara lain dari Ma’arif, Pondok Pesantren,
Universitas yang berafiliasi dengan NU dan juga pengurus NU di berbagai
tingkatan. Oleh karena itu, saya mengajak peserta untuk melakukan refleksi “apakah
pola pendidikan yang selama ini digunakan masih relevan dengan era teknologi
yang berkembang sangat cepat dan mengubah pola kehidupan dan pekerjaan”. Saya bermaksud mengajak para penyelenggara
pendidikan, khususnya di kalangan Nahdliyin, untuk mengkaji ulang pola
pendidikan yang selama ini dilaksanakan. Mengapa? Karena perkembangan iptek
telah merasuk ke segala aspek kehidupan, sehingga berbeda jauh dengan kondisi
ketika sekolah/madrasah dahulu dirancang. Pada hal pendidikan pada dasarnya
menyiapkan anak-anak untuk menghadapi tantangan kehidupan.
Banyak ahli memprediksi
bank akan segera mengurangi kantor dan karyawan karena menerapkan e-banking.
Pabrik kertas akan segera menciut karena kita berubah ke e-book dan koranpun
menjadi digital paper. Seorang kawan pengusaha di bidang kosmetik bercerita
baru membeli filling machine dan dengan alat tersebut dapat mengurangi
150 orang karyawan. Teman-teman dosen
pada sibuk bagaimana dapat menditeksi apakah makalah yang dikirim mahasiswa itu
buatan sendiri atau dibuatkan oleh aplikasi AI (artificial intelligence). Kita tahu sekarang banyak aplikasi yang dapat
membuatkan paper secara canggih.
WEF (World Economic Forum) pernah menyampaikan hasil
kajiannya yang menyimpulkan dalam beberapa tahun ke dapan akan ada sekian ribu
jenis pekerjaan hilang dan sebaliknya akan muncul sekiar ribu jenis pekerjaan
baru. Sementara itu Kondatris Cycle
menujukkan kemajuan teknologi semakin cepat, sehingga perubahan pola kerja dan
pola hidup akan semakin cepat terjadi.
Bukan mustahil apa yang dipelajari siswa/mahasiswa saat seseorang
sekolah sudah usang dan diganti dengan teknologi baru, ketika mereka
lulus. Saya menggambarkan jika seorang
anak masuk Kelas 1 SD di 2025, akan lulus tahun 2031, lulusan SMP tahun 2034,
lulus SMA tahu 2037 dan jika kuliah S1 baru akan lulus tahun 1041. Bukan
mustahil apa yang dihadapi dalam bekerja dan bermasyakat saat itu jauh berbeda
dengan saat ini.
Pada hal, sekian abad lalu Ali bin Abi Thalib berpesan, “didiklah
anakmu sesuai dengan jamannya karena mereka tidak hidup di jamanmu”. Artinya pendidikan harus dilakukan sesuai
jaman yang akan dialami anak nantinya.
Pertanyaannya, bagaimana jaman yang akan dihadapi anak-anak 15 atau 20
tahun ke depan. Kata orang tidak mudah
untuk melakuka prediksi, karena kita berada era VUCA (volatility, uncertainty,
complexity, ambiguity).
Jadi apa yang harus diajarkan atau kemampuan apa yang harus
ditumbuhkembangkan kepada anak-anak kita? Menurut saya, yang harus dikembangkan apakah
apa yang sekarang disebut capability dan individual learning. Anak harus
memiliki kemampuan untuk belajar secara mandiri, beradaptasi dengan
perkembangan teknologi dan mengembangkan kemampuannya. Tentu untuk itu diperlukan kemampuan dasar
yang kuat, yaitu kemampuan bernalar yang kuat dan kemampuan untuk belajar
sepanjang hayat. Orang menyebutnya keterampilan abad 21 (21st
century skills). Beberapa ahli
menggunakan istilah lain, misalnya generic skills, transferable skills dan
soft skills.
Ksterampilan abad 21 telah banyak dibahas, tetapi
implementasinya di sekolah/madrasah praktis belum terasa. Guru masih terikat
oleh materi ajar yang harus dituntaskan, karena itulah tuntutan kurikulum. Bagaimana
kaitan antara keterampilan abad 21 dengan isi matapelajaran masih menjadi
pertanyaan. Mirip ketika Kemdikbud mengarusutamakan pendidikan karakter, guru
juga bingung bagaimana menggandengkan aspek-aspek karakter dengan topik pelajaran.
Apa itu sulit? Sebenarnya tidak, asalkan guru mau keluar dari
“trap” yang selama ini dilaksanakan bertahun-tahun, yaitu seakan tujuan pendidikan
adalah “menguasai isi matapelajaran, titik”. Dan tidak diteruskan dengan “menggunakannya
untuk memahami dan memecahkan problem kehidupan”. Misalnya bagaimana Matematika bersama Biologi
dan Ekonomi untuk merancang makan siang bersama di sekolah. Bagaimana menggunakan Biologi, bahasa
Indonesia dan Ilmu Sosial untuk merancang pemberantasan nyamuk yang menularkan
demam berdasar. Jadi matapelajaran difahami
sebagai “alat” dan “bukan tujuan” akhir dari pendidikan. Semoga.