Sabtu, 25 Januari 2025

Apa Pola Pendidikan Saat ini Kompatibel dengan Era Great Shift?

Tanggal 22 Januari 2025 saya diundang sebagai pembicara pada Konggres Pendidikan-PB NU di Hotel Bidakara Jakarta, bersama Prof Ali Ramdhani (Guru Besar UIN Bandung dan Sekjen Kemenag), Bu Kofifah Endarparawansa (Gubernur Jatim Terpilih 2024), dan Bu Najela Shihab (pendiri PSPK dan Sekolah Cikal). Saya tidak tahu mengapa saya diundang. Yang mengirim undangan Prof Ainun Na’im (Guru Besar UGM dan mantan Sekjen Kemdikbud).  Bahkan besuknya Prof Kacung Marijan (Guru Besar Unair dan mantan Dirjen Kebudayaan Kemdikbud) juga mengirim undangan yang sama.  Ketika saya tanyakan ke Prof Kacung, tanya dijawab agar menyampaikan pemikiran tentang Pendidikan Dasar dan Menengah. Di acara tersebut Ternyata juga hadir Prof Biyanto (Guru Besar UIN Surabaya dan Staf Ahli Menteri Dikdasmen, mewakili Kementerian).

NU memiiki sangat banyak lembaga pendidikan, baik itu berupa sekolah, madrasah maupun pondok pesantren.  Sekolah, madrasah, pondok pesantren tersebut sudah berdiri jauh sebelum Indonesia Merdeka dan sudah menghasilkan banyak tokoh di negeri ini.  Bersama Muhammadiyah, Taman Siswa dan organisasi lainnya, harus diakui bahwa organisasi penyelenggara pendidikan itu telah berkontribusi besar terhadap kemajuan bangsa Indonesia.

Yang hadir dalam koggres itu pada umumnya pimpinan lembaga penyelenggara pendidikan di NU, antara lain dari Ma’arif, Pondok Pesantren, Universitas yang berafiliasi dengan NU dan juga pengurus NU di berbagai tingkatan. Oleh karena itu, saya mengajak peserta untuk melakukan refleksi “apakah pola pendidikan yang selama ini digunakan masih relevan dengan era teknologi yang berkembang sangat cepat dan mengubah pola kehidupan dan pekerjaan”.   Saya bermaksud mengajak para penyelenggara pendidikan, khususnya di kalangan Nahdliyin, untuk mengkaji ulang pola pendidikan yang selama ini dilaksanakan. Mengapa? Karena perkembangan iptek telah merasuk ke segala aspek kehidupan, sehingga berbeda jauh dengan kondisi ketika sekolah/madrasah dahulu dirancang. Pada hal pendidikan pada dasarnya menyiapkan anak-anak untuk menghadapi tantangan kehidupan.

Banyak ahli memprediksi  bank akan segera mengurangi kantor dan karyawan karena menerapkan e-banking. Pabrik kertas akan segera menciut karena kita berubah ke e-book dan koranpun menjadi digital paper. Seorang kawan pengusaha di bidang kosmetik bercerita baru membeli filling machine dan dengan alat tersebut dapat mengurangi 150 orang karyawan.  Teman-teman dosen pada sibuk bagaimana dapat menditeksi apakah makalah yang dikirim mahasiswa itu buatan sendiri atau dibuatkan oleh aplikasi AI (artificial intelligence).  Kita tahu sekarang banyak aplikasi yang dapat membuatkan paper secara canggih.

WEF (World Economic Forum) pernah menyampaikan hasil kajiannya yang menyimpulkan dalam beberapa tahun ke dapan akan ada sekian ribu jenis pekerjaan hilang dan sebaliknya akan muncul sekiar ribu jenis pekerjaan baru.  Sementara itu Kondatris Cycle menujukkan kemajuan teknologi semakin cepat, sehingga perubahan pola kerja dan pola hidup akan semakin cepat terjadi.  Bukan mustahil apa yang dipelajari siswa/mahasiswa saat seseorang sekolah sudah usang dan diganti dengan teknologi baru, ketika mereka lulus.  Saya menggambarkan jika seorang anak masuk Kelas 1 SD di 2025, akan lulus tahun 2031, lulusan SMP tahun 2034, lulus SMA tahu 2037 dan jika kuliah S1 baru akan lulus tahun 1041. Bukan mustahil apa yang dihadapi dalam bekerja dan bermasyakat saat itu jauh berbeda dengan saat ini.

Pada hal, sekian abad lalu Ali bin Abi Thalib berpesan, “didiklah anakmu sesuai dengan jamannya karena mereka tidak hidup di jamanmu”.  Artinya pendidikan harus dilakukan sesuai jaman yang akan dialami anak nantinya.  Pertanyaannya, bagaimana jaman yang akan dihadapi anak-anak 15 atau 20 tahun ke depan.  Kata orang tidak mudah untuk melakuka prediksi, karena kita berada era VUCA (volatility, uncertainty, complexity, ambiguity).

Jadi apa yang harus diajarkan atau kemampuan apa yang harus ditumbuhkembangkan kepada anak-anak kita?   Menurut saya, yang harus dikembangkan apakah apa yang sekarang disebut capability dan individual learning. Anak harus memiliki kemampuan untuk belajar secara mandiri, beradaptasi dengan perkembangan teknologi dan mengembangkan kemampuannya.  Tentu untuk itu diperlukan kemampuan dasar yang kuat, yaitu kemampuan bernalar yang kuat dan kemampuan untuk belajar sepanjang hayat. Orang menyebutnya keterampilan abad 21 (21st century skills).  Beberapa ahli menggunakan istilah lain, misalnya generic skills, transferable skills dan soft skills.

Ksterampilan abad 21 telah banyak dibahas, tetapi implementasinya di sekolah/madrasah praktis belum terasa. Guru masih terikat oleh materi ajar yang harus dituntaskan, karena itulah tuntutan kurikulum. Bagaimana kaitan antara keterampilan abad 21 dengan isi matapelajaran masih menjadi pertanyaan. Mirip ketika Kemdikbud mengarusutamakan pendidikan karakter, guru juga bingung bagaimana menggandengkan aspek-aspek karakter dengan topik pelajaran.

Apa itu sulit? Sebenarnya tidak, asalkan guru mau keluar dari “trap” yang selama ini dilaksanakan bertahun-tahun, yaitu seakan tujuan pendidikan adalah “menguasai isi matapelajaran, titik”. Dan tidak diteruskan dengan “menggunakannya untuk memahami dan memecahkan problem kehidupan”.  Misalnya bagaimana Matematika bersama Biologi dan Ekonomi untuk merancang makan siang bersama di sekolah.  Bagaimana menggunakan Biologi, bahasa Indonesia dan Ilmu Sosial untuk merancang pemberantasan nyamuk yang menularkan demam berdasar.   Jadi matapelajaran difahami sebagai “alat” dan “bukan tujuan” akhir dari pendidikan. Semoga.

Selasa, 07 Januari 2025

MAKAN BERGISI GRATIS

 

Senin tanggal 6 Januari dimulai program Makan Bergisi Gratis (MBG) di berbagai daerah di Indonesia. Dari berita di TV dan media sosial, program tersebut disambut dengan suka cita oleh berbagai kalangan.  Sebagai seorang pendidik yang pernah mengalami hidup pas-pasan, saya termasuk senang dengan program tersebut, walaupun sampai saat ini belum pernah membaca bagaimana dampaknya terhadap kualitas pendidikan.

John Hettie menyebutkan bahwa faktor individu siswa (nature) berkontribusi 51% terhadap hasil belajar, sedangkan faktor pendidikan (dalam arti luas) (nurture) berkontribusi 49%.  Nah, apakah program MBG tersebut dapat meningkatkan faktor individu siswa, misalnya lebih sehat, lebih tahan dalam belajar, jujur saya belum pernah membaca penjelasan ilmiahnya.  Memang dari rabaan saya sebagai orang awam, semesterinya begitu. Bahkan semestinya program semacam MGB itu dimulai sejak bayi lahir atau bahkan buatvilmu hamil agar bayi yang dikandungnya lebih sehat.

Program MBG akan lebih baik jika dibarengi dengan program olahraga kesehatan. Jangan sampai siswa menjadi “gemuk” dan kurang sehat, karena makannya banyak dan kurang gerak. Konon pada skeolah unggulan di China, setiap hari siswa harus lari mengelilingi sekolahnya.  Artinya setiap hari siswa harus ringan agar badannya bugar.

Agar program MBG dapat dilihat dampaknya secara ilmiah, sebaiknya saat ini dibuat base line data ketika program belum dimulai atau baru saja dimulai.  Nanti secara periodic, misalnya setiap semester dilhat dampaknya.  Mungkin saja dalam satu sementer dampaknya belum terlihat dengan jelas, namun jika itu dilakukan pengukuran setiap sementer dalam waktu 3 tahun, mudah-mudahnya sudah dapat disimpulkan hasilnya.

Apa indikator perubahan dan bagaimana mengukurnya diserahkan saja pada ahlinya.  Sebaiknya mereka berasal dari lembaga independent yang kredibel, sehingga hasilnya dipercaya oleh publik. Pemerintah juha harus menerima apapun hasilnya dan memperbaiki jika ternyata ada sesuatu bagian yang perlu diperbaiki.

Saya ingin juga melihat dari sisi lain, yaitu manfaat ekonomi bagi masyarakat kecil. Jika proses masak dan pengadaan bahannya diserahkan kepada masyarakat lokal di sekolah sekolah dan dibarengi dengan supervise  oleh ahlinya, program MBG mungkin dapat membantu menghidupkan ekonomi daerah.  Misalnya di suatu desa terdapat 400 siswa TK, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK, berarti setiap hari disediakan 400 porsi MBG dan jika satu prosi senilai10 rb, berarti setiap berputar uang 4 juta rupiah atau atau 20 juta rupiah setiap minggu atau 80 juta ruiah setiap bukan atau sekitar 1 milyar dalam satu tahun.

Makanan yang sehat, logikanya mengandung nasi, sayur, protein hewani dan muah. Mungkin juga susu. Nah, jika bahan tersebut diproduksi oleh masyarakat sekitar sekolah, tentu akan berdampak sangat positif  terhadap perekonomian daerah.

Memang adan satu hal yang perlu dijelaskan, yaitu dari mana anggaran untuk MBG tersebut. Semoga tidak diambilkan dari dana pendidikan yang konon sudah sangat terbatas. Jika ternyata diambilkan daru dana pendidikan, sangat mungkin akan mengurangi anggaran untuk layanan pendidikan dan dampaknya dapat menurunkan mutu pembelajaran.