Senin, 01 September 2025

OTT WAMENAKER: KENAPA BANGSA KITA YA?

 Ketika Ketua KPK menjelaskan kronologi OTT yang menyangkut Wakil Menteri Tenaga Kerja, Immanuel Ebenezer (biasa disebut Noel), saya sedang menonton TV bersama beberapa teman.  Saat itu teman saya bertanya, apakah saya terkejut dengan Noel di OTT KPK?  Saya menjawab tidak, tetapi prihatin.  Mengapa tidak?  Karena informasi bahwa di birokrasi kita masih banyak korupsi sedang sering saya dengar. Dan sudah sering diberitakan bahwa bagian yang rawan korupsi adalah bagian pengadaan dan perijinan.

Lantas mengapa prihatin?  Karena konon Noel merupakan aktivis 98.  Jika itu benar, berarti yang bersangkutan ikut menggulingkan Pak Harto dan kemudian melahirkan Era Reformasi yang pada awalnya digadang-gadang menjadi era dengan pemerintahan yang bersih, demokrasi berjalan dengan baik dan rakyat menikmati kesejahteraan. Gegap gempita penumbangan Presiden Soeharto yang didukung oleh mahasiswa memunculkan harapa itu.  Jadi kalau ternyata aktivis 98 yang menggulingkan Pak Harto karena dianggap korupsi da ternyata yang bersangkutan juga korupsi terntu sangat memprihatinkan.

Sekian tahun lalu saya pernah menuliskan keprihatinan seperti ini.  Saat itu, seorang aktivitis 1966 yang ikut menggulingkan Presiden Soekarno dan kemudian menjadi menteri, tersangkut korupsi dan ditahan.  Saya tidak ingat pasti, apakah sempat diadili atau dihukum atau tidak. Yang saya ingat, kemudian yang bersangkutan bebas.  Dan alasan pembebasannya karena yang bersangkutan mengembalikan uang korupsi.

Saya tidak faham hukum, apakah dengan mengembalikan uang korupsi seseorang dapat bebas.  Saya juga tidak ingin membahasnya.  Yang ingin saya keluhkan dan mengajak pembaca merenungkan adalah “aktivis atau katakanlah oknum aktivis yang dahulu idealis dan menggulingkan pemerintah karena dianggap korup, ternyata setelah menjadi pejabat juga korupsi”.  Seakan pergantian rezim itu hanya berganti penguasa, tetapi perilakunya sama saja.  Penguasa digulingkan karena korupsi dan yang menggulingkan ternyata juga korupsi setelah menjadi penguasa.

Apakah itu memang karakter bangka kita?  Memiikirkan itu, saya menjadi ingat buku yang berjudul Manusia Indonesia yang ditulis oleh Mochtas Lubis pada tahun 1981.  Apakah betul karakter bangs akita ini seperti yang disebutkan Mochtar Lubis?  Mudah-mudahan tidak.  Mengapa?  Karena menurut buku itu, ciri-ciri manusia Indonesia itu antara lain hipokrit alisa munafik, enggan bertanggungjawab, berjiwa feudal, percaya takhayul dan sebagainya.

Namun, jika kita yakin bahwa karakter banga akita tidak seperti yang disebutkan Mochtar Lubis dan fakta yang dijumpai ada oknum yang saya ceritakan tadi, terus mengapa itu terjadi?  Bukankah kita bangsa yang beragama?  Bukankah kita memiliki Pancasila sebagai filosofi bangsa? Bukankah pendidikan kita sejak di PAUD, SD sampai perguruan tinggi mengajarkan agama dan Pancasila? Jadi,bagaimana upaya  kita agar fenomena tersebut tidak terulang lagi?  Kaum agamawan, kaum pendidik, pemimpian bangsa dan kita semua perlu memikirkannya. Semoga.

Tidak ada komentar: