Beberapa
hari yang lalu, sambil menyopir saya mendengarkan radio Suara Surabaya. Waktu itu ada ungkapan “menulis itu dapat
menjadi media pengungkapan pikiran yang
mungkin tidak mudah diungkapan melalui lesan”. Saya setuju dengan ungkapan itu, karena
saya juga sering melakukan. Biasanya
saya masukkan di blog. Hal-hal yang kita
sungkan menyampaikan secara lesan dapat dengan nyaman kita tuangkan dalam
tulisan. Tentu tetap menunjung tinggi
etika penulisan.
Saya
juga ingin menambahkan pemikiran yang ditulis memiliki jangkauan yang jauh
lebih luas dibanding yang disampaikan secara lesan. Mengapa?
Karena tulisan dapat dibaca banyak orang. Di era cyber,
sekali tulisan masuk ke dunia maya, pembacanya menjadi tak terbatas. Apalagi sekarang beberapa mesin pencari (searching engine), seperti Google
menyediakan fasilitas terjemahan, sehingga naskah yang ditulis dalam bahasa
Indonesia dapat dengan mudah diperoleh terjemahannya dalam bahasa Inggris atau
bahasa lain.
Oleh
karena itu saya mendukung gagasan untuk mengembangkan budaya literasi. Harus jujur diakui bahwa membaca dan menulis
belum menjadi kebiasaan keseharian orang Indonesia. Konon budaya kita adalah budaya tutur. Pada saat naik kereta, menunggu kereta, dan
menunggu antrean, biasanya kita ngobrol dengan sebelah. Bahkan banyak orang yang memberi ceramah,
tetapi tanpa menggunakan naskah. Sudah
saatnya budaya tutur dilengkapi dengan budaya baca dan tulis. Dan pendidikan literasi merupakan wahana
cocok untuk mengembangkannya.
Budaya
tulis dan baca tampaknya juga memegang peran dalam penyebaran gagasan. Mengapa pemikiran orang Barat banyak
mempengaruhi kita, salah satunya karena pemikiran mereka ditulis. Sementara pemikiran kita banyak yang
tersimpan menjadi cerita lesanyang ditularkan secara turun temurun. Sebagai contoh, taksonomi Bloom yang banyak
dikutip oleh ahli pendidikan di Indonesia ditulis pada tahun 1956. Konsep itu sama tepat dengan yang diungkapkan
Ki Hajar Dewantara pada Konggres Taman Siswa Pertama pada tahun 1930. Jadi 26 tahun lebih dahulu dibanding tulisan
Bloom. Jangan-jangan Bloom “meniru” Ki
Hajar Dewantara. Atau mungkin karena,
pemikiran Ki Hajar tidak ditulis dan disebarluaskan, seakan-akan konsep Bloom
lebih diketahui oleh pendidik di Indonesia.
Sekian
tahun lalu saya mendapat tugas untuk membaca naskah beberapa teman dosen di
Unesa. Karena sifatnya rahasia, maka
halaman yang berisi nama penulis dihilangkan.
Saya berkelakar, walaupun tanpa nama saya dapat mengenali tulisan siapa
yang saya baca. Beberapa teman juga
menyampaikan hal serupa. Artinya, kita
dapat mengenali tulisan seseorang yang sering kit abaca tulisannya.
Saya
ingat betul, ada senior di Unesa yang tulisannya sangat runtut. Kalimatnya pendek-pendek dan sangat cermat
menggunakan titik-koma. Ada senior lain
yang kalau membuat naskah, kalimatnya panjang-panjang. Kadang-kadang satu kalimat terdiri dari 10
baris ketikan. Ada teman yang tulisannya
sangat mudah dimengerti. Ada juga teman
yang tulisannya sangat sulit difahami. Tampaknya
setiap orang memiliki pola tulisan yang khas.
Ada
pendapat yang mengatakan bahwa tulisan menggambarkan pola pikir penulisnya. Pengalaman saya membimbing mahasiswa dalam
menyusun skripsi, tesis dan disertasi mendukung pendapat tersebut. Biasanya mahasiswa yang nalarnya tertata,
tulisannya juga runtut. Sementara
mahasiswa yang masih rancu nalarnya, tulisannya juga sudah difahami. Mahasiswa jenis kedua ini memerlukan waktu
untuk menata nalar dan latihan menulis yang runtut tampaknya membantu yang
bersangkutan menata nalar berpikirnya.
Itulah
alasan kedua saya mendukung ide pendidikan literasi. Dengan belajar menulis diharapkan kita dapat
mengasah nalar agar menjadi lebih runtut dan logis. Dengan belajar menulis kita menghidupkan budaya
baca-tulis. Dengan belajar menukis kita
dapat menuangkan gagasan yang dapat dibaca banyak orang. Semoga.
1 komentar:
Terima kasih prof dengan membaca artikel ini saya termotivasi untuk belajar menulis
Posting Komentar