Di
hadapan peserta kuliah umum di Universitas Monash Melbourne, Wapres Boediono
mengakui bahwa pendidikan di Indonesia tertinggal (Kompas 16 Nopember 20013).
Menurut Wapres ada tiga tantangan mendasar untuk mengejar
ketertinggalan. Indonesia kekurangan
guru bermutu sedangkan guru bermutu yang ada tidak terdistribusi dengan baik,
fasilitas pendidikan sangat kurang khususnya di daerah yang jauh dari kota,
serta isi dan penyampaikan materi ajar yang tidak sesuai dengan standar.
Kalau dicermati, analisis Wapres akhirnya
terfokus kepada guru. Isi dan penyampaikan materi ajar yang tidak sesuai dengan
standar karena gurunya kurang bagus. Apapun kebijakan mutu pendidikan, pada
akhirnya guru yang melaksanakan di lapangan. Jadi wajar kalau mantan Perdana Meteri China Li Lanqing (2003)
menyatakan semua pejabat pemerintah, apapun tingkatannya harus menghormati
guru.
Analisis Wapres sejalan dengan simpulan Thomas
Friedman terhadap kemajuan pendidikan di Shanghai. Menurut Friedman, rahasia peningkatkan mutu
pendidikan di Shanghai terletak pada: a
deep commitment to teacher training, peer-to-peer learning and constant
professional development, a deep involvement of parents in their children’s
learning, an insistence by the school’s leadership on the highest standards and
a culture that prizes education and respects teachers (The New York Times, 22
October 2013).
Untuk mendapatkan guru bermutu tentu diperlukan
calon yang pandai, proses pendidikan di LPTK harus bermutu dan pembinaan yang
bagus setelah mereka mengajar. Studi
Wang dkk (2003) berjudul Preparing
Teachers Around the World mengonfirmasi argumen tersebut. Belanda,
Hongkong, Jepang, Korea Selatan dan Singapura adalah negara yang dinilai bagus
dalam menyiapkan calon guru dan juga membinanya setelah bekerja di
sekolah. Dan ternyata pendidikan di negara-negara
tersebut bermutu baik.
Kesesuaian dengan kajian Friedman dan Wang dkk,
menunjukkan bahwa analisis Wapres tersebut valid. Pertanyaannya, bagaimana langkah untuk
menggunakan analisis itu untuk mengejar ketertinggalan pendidikan kita.
Data SNMPTN dua tahun terakhir memberikan
harapan untuk memperoleh calon guru yang bagus.
69,4% pendaftar SBMPTN 2013 ingin menjadi guru dan masuk ke LPTK. Dengan peminat yang banyak, seleksi menjadi
ketat dan akhirnya mendapat calon mahasiswa yang bagus.
Jika mahasiswa baru pandai-pandai, pertanyaan
berikutnya apakah proses pendidikan di LPTK cukup bagus. Belum ada studi yang menggambarkan kualitas
pendidikan di LPTK. Yang pasti mutu LPTK
sangat bervariasi. Dan yang mencemaskan,
ketika minat menjadi guru naik, jumlah
LPTK juga naik tajam. Tahun 2008
jumlahnya sekitar 270an, kini sudah mencapai 415 buah dengan mahasiswa mahasiswa
sekitar 1,2 juta orang, dengan lulusan sekitar 250.000 orang per tahun. Peningkatan jumlah LPTK tersebut sangat
mengkawatirkan, karena menyebabkab mutu pendidikan tidak terjaga.
Pendidikan di LPTK sebenarnya semi kedinasan,
karena lulusannya dipersiapkan menjadi guru. Jika kebutuhan guru setiap tahun hanya sekitar
70.000 orang, sudah saatnya dilakukan pengaturan agar jumlah LPTK dan jumlah
mahasiswanya dikendalikan. Sekaligus
diberdayakan agar mampu menghasilkan guru yang bermutu.
UU Guru dan Dosen, yang mewajibkan guru
berpendidikan S1 plus pendidikan profesi (PPG), dapat digunakan sebagai
instrumen pengendalian jumlah LPTK.
Hanya LPTK yang memenuhi syarat tertentu yang boleh membuka PPG dan jumlah
mahasiswanya juga ditentukan. Lebih baik
kalau mahasiswa PPG diberikan dinas, sebagaimana diamanatkan pasal 23 ayat (1)
UU Guru dan Dosen. Pola pendidikan guru
di China yang merekrut calon dari berbagai daerah, diasramakan dan diberi
beasiswa merupakan contoh baik bagi Indonesia. Diambil dari daerah dan diberi beasiswa akan
memudahkan penempatan mereka setelah lulus.
Dengan diasrama proses pendidikan dapat dilakukan 24 jam, sehingga
efektif untuk pembinaan karakter.
Distribusi guru merupakan masalah yang pelik.
Secara agregat jumlah guru kita sangat cukup.
Rasio guru kita lebih baik dibanding Singapura dan Thailand, namun
banyak sekolah di pedesaan yang kekurangan guru (Jalal, 2010). Guru baru enggan ke daerah terpencil,
sedangkan guru yang sudah ada di daerah cenderung ingin pindah ke kota.
Tahun 1999 pernah ada program redistribusi guru
dengan batuan Bank Pembangunan Asia.
Namun program tersebut tidak berhasil, karena kepindahan guru ke sekolah
di pedesaan dimaknai sebagai hukuman.
Oleh karena itu, diperlukan pola karier guru yang mengaitkan perpindahan
mengajar di daerah terpencil merupakan bagian dari pembinaan karier.
Ketidaksesuaikan isi dan metoda pembelajaran
tampak juga terkait dengan pembinaan profesionalisme guru. Secara jujur harus diakui kita belum punya pola
yang mapan. Di negara maju, guru wajib
mengikuti pelatihan setiap tahun. Mereka
juga punya Professional Learning
Community (PLC) sebagai wahana berdiskusi tentang problem-problem yang
dihadapi.
Kita punya MGMP (Musyawarah Guru Matapelajaran)
dan KKG (Kelompok Kerja Guru) yang mirip dengan PLC. Hanya saja kegiatan MGMP dan KKG bisanya hanya
untuk menyusun RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran). Pada hal PLC dan MGMP dan KKG merupakan
wahana bagus bagi guru untuk berbagai pengalaman dan gagasan. Bahkan juga wahana untuk mendatangkan ahli untuk
memberikan pencerahan.
1 komentar:
thanks gan infonya !!!
www.bisnistiket.co.id
Posting Komentar