Seperti
saya sebutkan terdahulu, saya ke Taiwan setelah selesai mengikuti acara
Confucius Institute International Conference di Beijing. Minggu sore, sebelum penutupan acara selesai
saya berangkat ke Taipei, karena besuknya Senin pagi sudah ada acara acara di
NTNU (National Taiwan Normal University).
Saya sampai di Taipei sekitar pukul 23.30 malam dan dijemput oleh Pak
Eppy bersama 2 orang staf dari University of Taipei. Sampai di hotel sudah sekitar jam
00.30. Jadi langsung masuk hotel dan
tidur. Namun ketika check in, saya
sempat bertanya apakah ada sarapan dan dijawab petugasnya “ada”. Saya bertanya apakah ada makanan yang tidak
mengandung babi, dijawab “akan disiapkan telor ceplok”. Hal itu saya tanyakan, karena informasi yang
saya dapat tidak mudah mendapatkan makanan yang tidak mengandung babi di
Taiwan. Apalagi hotel tempat saya
menginap termasuk hotel kecil.
Besuk
paginya saya benar-benar mendapatkan telor ceplok. Ketika saya menyodorkan nomor kamar, petugas
restoran langsung memberi saya satu telor ceplok. Lumayan, dapat dimakan bersama roti bakar. Sayangnya layanan telor ceplok hanya berjalan
satu hari. Hari kedua, ketika sarapan
saya tanyakan ternyata tidak ada.
Petugas restoran juga susah diajak komunikasi, karena tidak lancar
berbahasa Inggris. Ya, akhirnya hanya
makan roti bakar dengan diolesi selai.
Saya
bertanya kepada teman-teman yang sedang kuliah di Taiwan, apakah ada makanan
Indonesia yang tidak jauh dari hotel.
Ternyata ada. Pemilik warungnya
bernama Mbak Yos, orang dari Magetan. Kata
teman-teman, jika terpaksa boleh membayar dengan uang rupiah. Saya sangat gembira dan hari itu juga minta
diantar ke warung Mbak Yos. Sudah
beberapa hari tidak merasakan masakan Indonesia.
Ternyata
warung Mbak Yos merupakan toko dan merangkap warung. Saya menduga awalnya merupakan toko, tetapi
kemudian juga menjual makanan (nasi). Di
dalam toko itu ada 4 meja makan dengan masing-masing meja makan ada 4
kursi. Pola penyajian mirip
swalayan. Pembeli mengambil sendiri,
baik nasi maupun lauknya. Lauknya mirip
“makanan rumah” di Jawa. Ada sayur terong,
sayur tahu, sayur kangkung, tempe orek-orek, bali daging, tempe goreng dan
sebagainya. Rasanya, menurut saya sama
dengan masakan di Jawa.
Sambil
makan, saya memperhatikan Mbak Yos. Saya
menduga usianya sekitar 30an. Beliau
memakai celana jean dan berkaos lengan pendek.
Rambutnya diikat. Berlulit kuning
dan agak pendiam, tetapi memberi kesan cerdas dan cekatan dalam bekerja. Dari obrolan singkat, saya menangkap kesan
Mbak Yos adalah pekerja keras dan berkemauan keras.
Info
yang saya dapat, pada awalnya Mbak Yos adalah TKW yang dipekerjakan menjaga
toko. Tidak tahu ceritanya, akhirnya
Mbak Yos menikah dengan orang Taiwan dan mengelola toko kecil yang merangkap
sebagai warung makan. Isi tokonya sangat
“berbau” Indonesia. Hampir semua barang
yang dijual berasal dari Indonesia. Mbak
Yos juga menjual tempe mentah yang dibuat sendiri. Dan kabarnya laris.
Saya
bertanya, siapa yang membeli tempe mentah itu.
Dijawab, kebanyakan orang Indonesia, tetapi juga ada orang Malaysia dan
juga orang Taiwan. Kedele mudah didapat
di Taiwan, tetapi ragi harus dikirim dari Indonesia. Demikian pula yang makan di warung Mbak Yos,
juga ada orang-orang non Indonesia.
Artinya, makanan Indonesia (atau masakan rumahan Jawa) dapat diterima
oleh orang Malaysia dan orang Taiwan.
Ketika
saya makan, Mbak Yos menerima tilpun dengan berbahasa Indonesia campur bahwa
Jawa. Sepertinya tentang pengiriman
barang yang harus dikirim ke tempat lain.
Ternyata, warung Mbak Yos sudah punya “cabang” yang ditunggui
adiknya. Bukan main. Saya sangat bangga. Ada orang Indonesia (mantan TKW lagi)
berhasil memulai usaha di Taiwan.
Saya
sempat bertemu dengan suami Mbak Yos.
Namun sulit untuk berkomunikasi, karena berliau tidak dapat berbahasa
Indonesia maupun Inggris. Sementara saya
tidak dapat berhasa China. Namun, sepotong-sepotong,
beliau bisa berhasa Jawa. Misalnya,
bilang matur nuwun. Dia juga bilang
kalau bulan depan akan ke Indonesia.
Kesan saya, suami Mbak Yos ramah.
Di
toko yang merangkap warung itu hanya Mbak Yos dan suaminya yang menangani. Tidak ada orang lain. Mengamati aktivitas mereka berdua selama 3
kali makan di situ, saya menangkap kesan Mbak Yos yang lebih memegang
peran. Misalnya, ketika Mbak Yos akan
berangkat belanja berpesan ini dan itu (saya tidak faham karena dengan bahasa
China). Demikian pula ketika Mbak Yos
sedang masak di toko bagian belakang, meminta ini dan itu kepada suaminya. Namun, tampak sekali keduanya kompak bekerja.
Ketika
malam di hote saya merenung. Apa kunci
sukses Mbak Yos, mantan TKW dari desa di Magetan sukses membuka usaha di
rantau. Saya bukan ahli bisnis, sehingga
hanya dapat menduga-duga. Ijinkan saya
berbagi dugaan itu. Pertama, Mbak Yos punya kemauan kuat, kerja keras dan percaya
diri. Tentu beliau juga cerdas. Saya menduga itu yang membuat Mbak Yos berani
membuka usaha. Kedua, Mbak Yos memiliki insting bisnis yang cukup tajam. Tokonya diberi nama dengan bahasa
Indonesia. Sayang saya lupa
namanya. Yang dijual di toko itu
barang-barang Indonesia. Makanan yang
dijual juga masakan tradisional Indonesia (Jawa). Mungkin Mbak Yos faham, di Taiwan terdapat
20.000 orang Indonesia dan di dalamnya termasuk 2.000 mahasiswa Indonesia yang
kuliah di Taiwan. Mereka merupakan pasar bagus untuk barang dan makanan
Indonesia. Ketiga, dalam skala
tertentu Mbak Yos faham manajemen. Dari
tilpun yang saya dengar, instruksi Mbak Yos kepada adiknya yang ditugasi
menjaga cabang warungnya, tampak sekali beliau faham bagaimana mengelola
warung.
Semoga
kita belajar dari perjalanan Mbak Yos.
Seandainya beliau ke Indonesia, sangat baik kalau diundang untuk “mengajar”
para calon TKW/TKI dan bahkan siswa/mahasiswa. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar