Sepulang
dari Beijing mengikuti Confucius Institute International Conference, saya ke
Taiwan. Acara pokoknya untuk menandatangani Mou dengan Univesity of Taipei dan
memberi kuliah umum di universitas tersebut.
Saya minta tolong, mbak Silfi staf Kantor Urusan Internasional Unesa
agar saya dapat mengunjungi universitas lainnya. Khususnya tempat beberapa dosen Unesa sedang
kuliah. Rasanya rugi kalau jauh-jauh ke
Taiwan hanya mengunjungi satu universitas.
Untuk
yang kedua kalinya saya harus berterima kasih kepada Mbak Silfi, karena dapat
mengatur sehingga saya dapat mengunjungi National Taiwan Normal University
(NTNU) dan National Taiwan University of Sains and Technology (NTUST). Di NTNU memang ada seorang dosen Unesa yang
sedang menempuh S3, yaitu Ibu Rooselyna dari Jurusan Matematika. Di NTUST ada dua orang dosen Unesa yang
sedang menempuh S3, yaitu Pak Eppy dari Jurusan Elektro dan Pak Yogi dari
Jurusan Sipil.
Di
NTNU saya bertemu “orang penting”, yaitu Prof. Fou Lai Lin. Beliau guru besar senior (chair professor)
dalam bidang Pendidikan Matematika dan kebetulan supervisor Bu Rooselyna. Beliau mantan direktur yang menangani
peningkatan kompetensi guru Matematika di Taiwan. Beliau adalah pengembang dan sekaligus
penanggung jawab program Lightening
Program for Teachers in Taiwan.
Saya
tertegun mendengar penjelasan Prof. Lin tentang program tersebut. Pada intinya, setiap dosen di Jurusan
Matematika NTNU dipasangkan dengan sekelompok guru Matematika dari beberapa
sekolah. Pasangan tersebut bertugas
mengupayakan agar pembelajaran Matematika di sekolah berjalan efektif dan siswa
dapat belajar dengan termotivasi. Setiap
bulan pasangan tersebut berkumpul untuk membahas apa yang terjadi, melakukan
refleksi dan menyempurnakan kegiatan mendatang.
Mirip Penelitian Tindakan Kelas.
Bedanya kegiatan tersebut dilakukan secara terus menerus dan itu bagian
dari tugas dari dosen maupun guru. Bahan
banding yang sangat bagus bagi kita.
Di
NTUST saya sempat bertemu dengan president (rektor) NTUST, Prof. Ching Jong
Liao. Namun yang menarik ketika
mengunjungi SUS-SON Research Center.
Sebuah gedung yang dikhususkan untuk melakukan riset multidisplin yang
mengarah kepada penemuan produk baru. Di
center tersebut saya diperlihatkan
berbagai temuan dan patennya.
Misalnya model joint (sambungan kerangka) yang sekarang diterapkan di
gedung 101 (gedung tertinggi kedua di dunia).
Juga ada temuan “beton ringan” yang memiliki kekuatan cukup besar,
tetapi sangat ringan. Juga ada kaca yang
dapat menyerap panas sekaligus menghasilkan listrik. Kaca tersebut dapat menapis udara luar dengan
suhu 38 derajat menjadi suhu kamar 20 derajat.
Saya lupa berapa energi listrik yang dihasilkan.
Yang
paling menarik adalah eksperimen untuk “mengumpulkan cahaya”. Sebuah papan kaca yang permukaannya
dirancang mirip prisma atau apa, agar cahaya yang mengenainya “terkumpul” dan dialirkan
melalui sebuah “saluran khusus”, kemudian digunakan untuk menerangi
ruangan. Sungguh mengagumkan. Memang masih dalam tahap penelitian, tetapi
kalau itu berhasil akan merupakan temuan yang fantastis. Dan memang hasil awal sudah menakjubkan. Saya sendiri tidak faham bagaimana hal itu
dapat dilakukan. Mungkin teman-teman
dari Fisika yang lebih mengerti. Anehnya
di NTUST, riset tersebut dilakukan oleh orang dari Teknik Sipil.
Ketika
Prof. Chao Lung Hwang, direktur center tersebut menerangkan, saya bertanya
bagaimana di waktu malam. Kan tidak ada
cahaya matahari. Beliau menjawab, saat
ini sedang dipikirkan bagaimana dapat “menyimpan cahaya”. Saya tambah penasaran dan bertanya,
mungkinkah cahaya yang telah disimpin itu dapat dikirim dari satu tempat ke
tempat lain. Beliau tertarik dengan
pertanyaan saya dan tampak berpikir sejenak.
Saya menyambung, kalau itu dapat dilakukan, kita dapat memasang alat
sepanjang katulistiwa dan cahaya dikumpulkan.
Bukankah katulistiwa memiliki siang yang relatif tetap dan panjang. Dan jika alatnya dipasang sepanjang
katulistiwa, berarti produk cahaya akan konstan sepanjang waktu.
Di
University of Taipei, saya menandatangani MoU dengan president University of
Taipei, Prof. Hsia Ling Tai. Wanita,
mantan Menteri Olahraga dan lebih suka dipanggil Tena. Pada saat jamuan makan siang, tampak sekali
Prof Hsia atau Tena sangat supel. Kami
ngobrol tentang bermacam-macam hal. Termasuk
berapa gaji rektor di Indonesia dan presidemt universitas di Taiwan. Wow ternyata jauh berbeda. Beliau juga siap ketika saya tawari diundang
ke Unesa. Apalagi, beliau tahu kalau
dalam rombongan ikut Dekan FIK, Pak Agus Haryanto.
Selesai
makan siang, sesuai jadwal saya memberi kuliah umum bagi mahasiswa Pascasarjana
dan dipandu oleh Prof. Jun Yii Hsieh, direktur International Office. Karena mahasiswanya berasal dari berbagai
jurusan dan saya baru pertama ke University of Taipei, saya menyampaikan
gagasan Rekonstruksi Pendidikan Menyongsong Era Cyber. Tanggapan mahasiswa sangat bagus. Ketika saya sampaikan bahwa isi perkuliahan dan
bahkan penjurusan di universitas sudah tidak lagi cocok dengan tuntutan zaman,
Prof. Jun sangat tertarik. Beliau minta
saya mengajukan gagasan, kemampuan apa yang penting ke depan. Ujung-ujungnya, beliau minta suatu saat saya
datang lagi untuk memberi kuliah.
Diluar
pengalaman di atas, ada sesuatu yang lebih menarik, yaitu kuliah di Taiwan
sangat murah. Informasi yang saya
terima, di NTUST yang membidangi teknologi uang kuliah jenjang S2 hanya sekitar
23 juta per semester. Itu sudah termasuk
segalanya. Semua bahan praktikum dapat
diperoleh. Bahkan University of Taipei,
menawari gratis uang kuliah untuk jenjang S2.
Jadi wajar, kalau di Taiwan ada sekitar 2.000 mahasiswa dari Indonesia.
Saya
penasaran bagaimana bisa begitu murah kuliah di Taiwan? Rasanya 23 juta untuk S2 bidang Teknologi
dengan pengertian semua bahan praktikum tersedia, lebih murah dibanding di
Indonesia. Saya tidak menemukan jawaban
mengapa bisa begitu. Jawaban yang saya peroleh standar, karena disubsidi
pemerintah. Bukankah PTN di Indonesia
juga disubsidi oleh pemerintah. Mungkinkah,
Taiwan menerapkan prinsip seperti New Zeland untuk jenjang S3. Mahasiswa diharuskan melakukan penelitian
yang merupakan bagian dari proyek riset dosennya. Dengan begitu, sambil kuliah mahasiswa
menjadi asisten riset gratis bagi dosen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar