Hasil
PISA (Programme for International Student
Assessment) tahun 2012 telah diumumkan dan Indonesia menduduki peringkat ke
64 dari 65 negara yang ikut. Hanya satu
peringkat di atas Peru sebagai juru kunci.
Sementara negara-negara Asia Timur berjaya. Shanghai menduduki peringkat
pertama, disusul berturut-turut Singapura, Hongkong, Taiwan dan Korea Selatan.
Sebenarnya
hasil itu tidak terlalu mengagetkan, karena selama ini memang Indonesia selalu
berada di peringkat bawah dalam PISA.
Tahun 2009, posisi Indonesia pada peringkat 57 dengan skor Membaca 402,
Matematika 371 dan IPA 383. Tahun 2012
skor tersebut menjadi, Membaca 396, Matematika 375, dan IPA 382. Jadi perubahannya hanya sedikit.
Pertanyaannya
mengapa skor PISA anak-anak kita sangat rendah?
Bukankah anak-anak SMP kita (usia yang ikut PISA) sukses dalam UN. Nilainya juga sangat bagus. Apakah materi UN berbeda dengan PISA? Apakah
kurikulum Indonesia sangat berbeda dengan kurikulum Shanghai, Singapura,
Hongkong, Taiwan dan Korea Selatan.
Sebelum
membahas itu, ada baiknya diketahui hasil analisis terhadap UN. Tahun 2012, Unesa mengkaji hasil UN SMA tahun
2009, 2010 dan 2011. Simpulannya sangat
menarik. Sebagian besar peserta jeblok
pada soal-soal yang termasuk dalam kategori analisis. Termasuk untuk matapelajaran Bahasa
Indonesia. Hasil itu sejalan dengan
kajian terhadap tes masuk PTN yang menyimpulkan bahwa sebagian peserta jatuh
pada soal IPA Terpadu, yang memang memerlukan kemampaun analisis cukup tinggi.
Apa
hubungannya dengan tes PISA? Karena PISA
menguji kemampuan berpikir analisis dan problem
solving. Kemampuan yang disebut high order thinking (bepikir tingkat
tinggi) dan mencakup kemampuan analisis, sintesis, evaluasi dan
kreativitas. Data terhadap hasil PISA,
UN maupun tes masuk PTN, konsisten menunjukkan kalau kemampuan berpikir tingkat
tinggi anak kita lemah.
Lantas
mengapa mereka sukses menempuh UN? Karena
sebagian besar soal-soal UN kita berkisar pada low order thinking (kemampuan berpikir tingkat bawah) yaitu menghafal, memahami dan menerapkan. Hanya sebagian kecil yang masuk high order thinking. Kajian terhadap UN SMA 2009, 2010 dan 2011
tampak sekali mereka sukses pada soal-soal low
order thinking tetapi gagal di high
order thinking.
Pertanyaan
berikut yang menarik mengapa PISA fokus kepada high order thinking sementara UN pada low order thinking? Tentu
hanya perancang PISA dan perancang UN yang dapat menjawabnya. Namun dapat diduga bahwa perancang PISA menerapkan
prinsip pendidikan era teknologi. Di era
ini yang diperlukan adalah kemampuan problem
solving secara kreatif dan untuk itu diperlukan kemampuan berpikir
analisis, kritis dan kreatif. Pola kerja
mekanistik, walaupun itu rumit dapat dilakukan oleh mesin, sehingga tidak lagi
penting.
Sementara
kita tampak terperangkap pada pola pikir mekanistik. Memang soal-soal kita seringkali berupa perhitungan
yang rumit dan memerlukan ketelitian tinggi.
Namun itu pekerjaan mekanistik yang dapat dikerjakan oleh komputer. Sementara hal-hal yang bersifat analisis
kreatif belum mendapat perhatian cukup.
Apakah
high order thinking dapat diajarkan
pada siswa setingkat SMP? Pertanyaan itu
pernah mengganggu saya beberapa tahun lalu.
Bukankah menurut Piaget kemampuan berpikir abstrak baru dimulai ketika
anak berusia 13 tahun bahkan 15 tahun?
Ternyata bisa. Saat berkunjung ke
sekolah-sekolah di Amerika Serikat dan Belanda saya menyaksikan bahwa siswa SD
dapat diajari berpikir tingkat tinggi.
Kepada anak SD Kelas 1 ditunjukkan gitar dan biola. Kepada mereka ditanyakan apa persamaan dan
perbedaannya.
Memang
sederhana, tetapi anak-anak belajar berpikir analisis dan kritis. Misalnya persamaan biola dan gitar adalah
sama-sama punya senar, sama-sama mengeluarkan suara. Bedanya jumlah senar gitar berbeda dengan jumlah
senar biola. Gitar lebih besar dibanding
biola. Dan sebagainya.
Kepada
siswa Kelas 4 dibagikan bacaan cerita dan selembar kertas yang memiliki dua
kolom. Kolom kiri bertuliskan “Saya
tidak faham, karena…..”, sedangkan kolom kanan bertuliskan “Saya tidak setuju,
karena…”. Siswa diminta membaca cerita dan menuliskan bagian mana yang tidak
faham dan menyebutkan alasannya. Siswa
juga diminta menyebutkan bagian yang tidak setuju dan menyebutkan
alasannya. Sungguh mengagetkan, ternyata
anak Kelas 4 dapat mengerjakan dengan baik.
Tentu isi cerita sesuai dengan usia anak SD Kelas 4. Jadi kepada siswa SD dapat diajarkan
kemampuan high order thinking.
1 komentar:
terimakasih tulisannya sangat bermanfaat. saya boleh tanya nama dari model pebelajaran atau strategi apa namanya yg diterapkan dikelas 4 itu bapak? terimakasih.
Posting Komentar