Disampaikan pada Seminar Nasional dan
Gelar Penelitian Dalam Rangka Dies Natalis Universitas Negeri Yogyakarta Ke-50,
Tanggal 21-22 April 2014
Pendahuluan
Bapak
Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara, pada Konggres Taman Siswa Pertama
Tahun 1930 menyatakan dengan jelas bahwa pendidikan adalah daya upaya memajukan
bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak. Bagian-bagian itu tidak boleh
dipisah-pisahkan, agar supaya kita dapat memajukan kesempurnaan hidup mereka (Dewantara,
2004: hal 14-15).
Jadi
menurut Ki Hajar Dewantara karakter (juga disebut dengan budi pekerti, akhlaq)
merupakan salah satu aspek penting dalam pendidikan. Pemikiran tersebut sangat dekat dengan konsep
Bloom yang mengataskan pendidikan pada dasarnya mengembangkan tiga ranah, yaitu
kognitif, afektif dan psikomotor (1984).
Namun Ki Hajar Dewantara memberi catatan penting yang tidak disebut oleh
Bloom, yaitu bahwa ketiga ranah tersebut harus dikembangkan secara seimbang dan
terintegrasi.
Undang-undang
Sistem Pendidikan Nasional, pasal 3 menyebutkan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Kalau kita cermati delapan aspek atau
komponen yang ingin dicapai dalam pendidikan nasional itu, minimal empat
diantaranya lebih dekat denga karakter.
Kalau
kita menelaah sejarah pendidikan di awal peradaban, pendidikan itu dilakukan di
padepokan, di
pesantren atau tempat lain semacam itu dan pendidikan karakter merupakan tujuan
utama. Pendidikan pada masa itu lebih
menekankan kepada “bekal hidup” atau “ilmu kehidupan” yang menekankan kepada
budi pekerti dan hal-hal yang terkait dengan hubungan manusia dengan Sang Maha
Pencipta, hubungan antar sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam. Dalam dunia pewayangan biasanya digambarkan
sebagai wejangan sang begawan kepada ksatria yang sedang berguru
kepadanya. Wejangan seperti itu lebih
banyak berisi nilai-nilai kehidupan. Dan
tentu saja “olah kanuragan” yang dalam dunia pewayangan merupakan salah satu
modal berperang membela kebenaran atau menghadapi musuh (Samani, 2013).
Dari
uraian diatas dengan jelas terlihat bahwa seharusnya pendidikan karakter
merupakan salah satu tujuan pendidikan. Telaah historis, telaah filosofis dan
telaag yuridis menunjukan dukungan kuat terhadap pemikiran tersebut. Oleh karena itu ketika pada tahun 2009
pemerintah menggemakan pendidikan karakter, sebenarnya yang terjadi adalah
pengarusutamaan (mainstreaming) sesuatu
yang selama itu agak terlupakan. Gerakan
pendidikan karakter bukanlah pemunculan konsep atau pemikiran baru dalam
pendidikan, namun merupakan koreksi atau pelurusan terhadap pelaksanaan
pendidikan yang dirasa tidak cocok dengan konsep dasar pendidikan Indonesia.
Pengalaman sebagai Guru Paling Baik.
Jika
secara historis, filosofis dan yuridis kita mengakui pentingnya aspek karakter
dalam pendidikan dan ternyata itu agak terlupakan sehingga harus digemakan
kembali. Oleh karena itu kita harus mengkaji mengapa dimasa lalu hal itu
terpinggirkan. Kajian itu sangat penting
untuk menemukan jawaban mengapa terpinggirkan sekaligus menemukan solusi agar
ketika digemakan tidak mengalami nasib yang sama dengan sebelumnya.
Kita
punya pengalaman melaksanakan pendidikan karakter, atau paling tidak dekat
dengan karakter, yaitu Pendidian Budi Pekerti di sekolah dan Penataran P4. Di masa lalu, dalam rapor siswa SD tercantum
sejenis matapelajaran Budi Pekerti.
Disebut matapelajaran karena dicantumkan sederet dengan matapelajaran,
misalnya Bahasa Indonesia, Matematika dan sebagainya. “Matapelajaran” Budi Pekerti itu juga
diberikan skor penilaian (angka) seperti matapelajaran lainnya.
DI
jenjang SMP dan SMA/SMK istilah tersebut berubah menjadi Kelakuan, Kerajinan
dan Kebersihan, yang juga dicantumkan sederet dengan matapelajaran lain, dengan
diberi judul Kelompok Lain-lain. Kelakukan,
Kerajinan dan Kebersihan juga diberi skor penilaian, namun tidak berupa angka
melainkan Baik/Sedang/Kurang.
Masih
perlu diteliti bagaimana praktek pembelajaran “matapelajaran” Budi Pekerti dan
“matapelajaran” Kelakuan, Kerajinan dan Kebersihan. Bagaimana dampaknya terhadap perilaku siswa
setelah mereka lulus dan terjun di masyarakat. Orang-orang yang saat ini berusia 50 tahun ke
atas adalah hasil pendidikan dengan pola tersebut. Kita harus jujur mengatakan perilaku
masyarakat kita ternyata belum bagus, walaupun dahulu mendapatkan matapelajaran Budi Pekerti di SD dan
pelajaran Kelakuan, Kerajinan dan kebersihan di SMP dan SMA/SMK.
Juga
perlu diteliti kapan “matapelajaran” Budi Pekerti tersebut dihapus. Akhir-akhir ini ada perdebatan antara dua
pandangan. Satu pihak ingin
mengembalikan “matapelajaran” Budi Pekerti, pihak lain mengatakan tidak perlu
karena sudah masuk terintegrasi kedalam matapelajaran Agama, PPKn dan BK. Kita perlu menemukan apakah ada perbedaan
karakter lulusan, antara yang menggunakan kurikulum dengan “matapelajaran” Budi
Pekerti dan yang diganti dengan Kelakuan, Kerajian dan Kebersihan. Jika ternyata keduanya tidak berbeda,
sebenarnya kita tidak perlu mengembalikan “matapelajaran” Budi Pekerti, toh
hasilnya sama saja. Demikian pula jika
lulusan yang menggunakan kurikulum baru lebih baik. Sebaliknya jika lulusan dengan menggunakan “matapelajaran”
Budi Pekerti lebih baik karakternya, ada baiknya mengembalikan “matapelajaran”
Budi Pekerti.
Jika
diasumsikan penghilangan matapelajaran “Budi Pekerti” karena substansinya sudah
dimasukkan ke matapelajaran Agama, PPKn dan Bimbingan Konseling, maka juga
dilakukan kajian apa isi matapelajaran tersebut, bagaimana pelaksanaan di
sekolah dan juga bagaimana mengevaluasi ketercapaiannya. Bukankah banyak masyarakat yang mengeluhkan
perilaku anak muda (termasuk siswa/mahasiswa) yang tentunya produk dari
kurikulum yang sekarang ini berlaku.
Pengalaman
kurang menyenangkan kedua pendidikan
karakter di masa lalu adalah Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila) di era Orde Baru. Di era itu setiap pejabat, profesi bahkan
siswa dan mahasiswa diwajibkan mengikuti Penataran P4, tetapi dampaknya tidak
begitu terasa. Jika semua
siswa/mahasiswa/karyawan baru/pejabat di berbagai level harus mengikuti
Penataran P4, maka dapat diduga semua pejabat dan tokoh penting saat ini pernah
mengikuti Penataran P4. Dengan kata
lain, semestinya mereka dipengaruhi oleh hasil Penataran P4.
Jika
demikian perlu dikaji secara mendalam apa isi Penataran P4, bagaimana metoda
yang diterapkan dan mengapa pejabat dan tokoh penting yang pernah mengikuti,
banyak dari mereka yang perilakunya dikeluhkan oleh masyarakat. Apakah kontribusi Penataran P4 yang tidak
signifikan atau ada faktor lain yang lebih dominan dalam memperngaruhi perilaku
mereka.
Sebagai
catatan, penelitian terhadap “matapelajaran” Budi Pekerti, Penataran P4 dan
efektivitas matapelajaran Agama, PPKn dan BK dalam membangun karakter, harus
memperhatikan faktor lain di luar sekolah yang juga berpengaruh kuat terhadap
perilaku siswa/mahasiswa/masyarakat.
Sebagaimana dikeluhkan oleh guru-guru, banyak kejadian di luar sekolah
membuat siswa/mahasiswa tidak mematuhi prinsip-prinsip kehidupan yang diajarkan
di sekolah. Tayangan televisi, berita di
koran, perilaku tokoh tidak kalah kuat pengaruhnya dibanding pelajaran di
sekolah.
Pola
penilaian pendidikan di sekolah dan universitas juga perlu dikaji. Sebagaimana difahami biasanya teaching for the test terjadi di sekolah
dan universitas. Artinya guru dan dosen
cenderung mengajarkan apa-apa yang nanti akan diuji di akhir semester dan
diakhir pendidikan. Sebagai contoh, guru
cenderung mengajar materi yang di-UN-kan, karena prestasi guru banyak diukur
dengan nilai UN siswanya. Jika karakter
tidak diukur dan tidak mendapat perhatian dalam penentuan kenaikan kelas atau
kelulusan, biasanya guru dan dosen tidak terdorong untuk mengajarkannya.
Apa Nilai-nilai Karakter Utama Kita?
Jika
kita ingin menumbuhkan karakter, maka langkah pertama adalah memastikan apa nilai-nilai
karakter yang ingin dikembangkan. Setelah
dipastikan, setiap nilai perlu didefinisikan atau diberi penjelasan agar semua
pihak memiliki pengertian yang sama, minimal tidak jauh berbeda. Akan lebih baik jika diberi contoh penerapan
dalam kehidupan keseharian, sehingga masyarakat mudah memahaminya,
Dari
dokumen rapor, kita pernah punya pengalaman memiliki tiga nilai utama, yaitu
kelakukan, kerajinan dan kebersihan. P4
memiliki butir sebanya 36 buah yang dijabarkan dari 5 sila Pancasila. Diskusi panjang di Kementerian Pendidikan
Nasional pada tahun 2010 mengusulkan empat karakter dasar yang perlu mendapat
penekanan, yaitu jujur, cerdas, tangguh dan peduli (Depdiknas, 2010-a).
Dari
negara lain, Character First (www.characterfirst.com/abuotus/qualitis) mengajukan 49 aspek karakter, yaitu alertness, attentiveness, availability,
benevolence, boldness, cautiousness, compassion, contentment, creativity,
decisiveness, deference, dependability, determination, diligence, discernment,
discretion, endurance, enthusiasm, faith, flexibility, forgiveness, generosity,
gentleness, gratefulness, honor, hospitality, humanity, initiative, joyfulness,
justice, loyalty, meekness, obedience, orderliness, patience, persuasiveness,
punctuality, resourcefulness,
responsibility, security, self-control, sensitivity, thoroughness,
thriftiness, tolerance, truthfulness, virtue, wisdom.
Sementara
itu, Amerika Serikat hanya mengambil dua
nilai-nilai karakter, yaitu respect
dan responsibility (Linckona,
1991). Tampaknya dua aspek itu kemudian
dijabarkan menjadi bentuk-bentuk perilaku.
Membuang sampah di tempatnya merupakan bentuk jabaran dari tanggung
jawab. Membeli tiket kereta api, walaupu
hampir tidak pernah ada pemeriksaan oleh petugas adalah bentuk tanggung jawab. Tidak
merokok di tempat umum merupakan bentuk menghargai hak orang lain. Tidak menerombol suatu antrian adalah bentuk
penghargaan orang lain.
Soemarno
Soedarsono (2009), seorang purnawirawan jenderal dan dosen Lemhanas menyatakan
lima nilai-nilai jatidiri yang penting adalah beriman dan bertakwa serta
berbudi pekerti luhur; memiliki pengetahuan dan keterampilan; sehat jasmani dan
rohani; memiliki kepribadian yang mantap dan mandiri; dan memiliki rasa tangung
jawab dalam bermasyarakat, beragama, berbangsa dan bernegara.
Apakah
kita harus menggunakan nilai-nilai karakter yang sama untuk dikembangkan di
keluarga maupun lembaga pendidikan? Setiap
masyarakat memiliki kearifan lokal, baik bersumber dari agama, kebudayaan, adat
istiadat dan sebagainya. Tahun 2011 Balitbang
Dikbud bekerjasama dengan Tim Unesa melakukan penelitian Peta Variabel Profil
Karakter Siswa Sekolah Menengah Atas. Hasilnya
sungguh mengejutkan. Setiap daerah
memiliki rujukan untuk mengembangkan pendidikan karakter, berupa
legenda/dongeng, kidung/nyanyian, ungkapan-ungkapan kata bijak, lukisan dan
simbul-simbul, upacara ritual dan sebagainya.
Rujukan yang berbeda-beda tetapi seringkali mengungkapkan nilai-nilai
karakter yang hampir sama (Balibang Dikbud, 2011).
Mirip
dengan hasil penelitian Balitbang Dikbud,
Yuni Sri Rahayu dkk (2102) dalam buku Jejak Budaya dalam Karakter Siswa
Indonesia, menyajikan berbagai contoh nilai-nilai karakter di berbagai
daerah/suku/budaya Indonesia. Dan
ternyata nilai-nilai itulah yang kemudian menjadi sumber moral masyarakat
setempat, termasuk di sekolah.
Studi
Depdiknas (2010-b) terhadap sekolah/lembaga pendidikan yan sukses mengembangkan
pendidikan karakter, menemukan bahwa nilai-nilai karakter yang dikembangkan
tidak sama tepat. Rujukannya juga
berbeda-beda. Ada dari nilai-nilai
agama, ada pula yang dari filosofi kehidupan, dan ada pula yang merujuk kepada
Pancasila. Yudi Latif (2014) juga
menulis buku Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan. Buku itu menggambarkan betapa banyak teladan
perilaku berkarakter dari orang-orang Indonesia, yang berlainan suku, agama,
profesi dan masa kehidupan.
Namun
jika kita cermati nilai-nilai karakter yang dikembangkan oleh daerah, sekolah,
maupun yang dicontohkan dalam buku Yudi Latif, dengan sumber rujukan yang
berbeda-beda, ternyata memiliki kemiripan dalam implementasi di kehidupan
keseharian. Dengan kata lain, sebenarnya terdapat universalitas karakter, yaitu
karakter dasar yang disepakati oleh sebagian besar masyarakat, apapaun
agamanya, adat istiadatnya dan dimanapun mereka tinggal.
Oleh
karena itu, pada saat Indonesia menggemakan kembali pendidikan karakter, perlu
segera diteliti dan dikembangkan nilai-nilai karakter dasar apa yang harus
dikembangkan di sekolah dan lembaga pendidikan.
Sebaiknya tidak terlalu banyak, sehingga mudah diingat. Nilai-nilai karakter kemudian dapat
dijabarkan ke dalam bentuk perilaku keseharian sesuai dengan situasi dan
kondisi daerah setempat. Misalnya kita
menggunakan empat nilai yang dimuat di Buku Induk Pendidikan Karakter, yaitu
jujur, cerdas, tangguh dan peduli, maka setiap nilai-nilai dasar karakter tersebut dijabarkan
menjadi contoh-contoh perilaku yang menggambarkan perwujudannya.
Penelitian
tersebut diharapkan dapat menemukan solusi dari perbedaan cara pandang karakter
yang selama ini berkembang. Beberapa
ahli berpendapat bahwa pendidikan karakter pada dasarnya terkait “perilaku baik
kepada sesama”, misalnya jujur, santun, berempati, tanggung jawab dan
sebagainya. Beberapa ahli lain
berpendapat, karakter tidak hanya itu, tetapi juga yang terkait dengan sikap
pengembangan diri, misalnya kerja keras, kreatif dan sebagainya.
Penelitian
pendidikan karakter sebagainya melibatkan Pusat Studi Pendidikan Karakter atau
pusat studi yang dekat dengan itu di
berbagai universitas. Sebagai penghasil
guru, LPTK sebaiknya juga dilibatkan dengan pesan nilai-nilai karakter itu juga
dikembangkan di LPTK dan dipesankan agar setelah lulus dan mengajar,
nilai-nilai itu dikembangkan di sekolah tempat para lulusan mengajar.
Strategi Implementasi Pendidikan
Karakter
Konsep
Penataran P4 sebenarnya sangat bagus. P4 memiliki kepanjangan Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.
Jadi menurut konsep P4, Pancasila tidak boleh hanya diketahui dan
difahami, tetapi harus dihayati sebagai nilai-nilai kehidupan dan diamalkan
dalam bentuk kehidupan sehari-hari.
Konsep
itu mirip dengan yang diajukan oleh Lickona (1992) bahwa pendidikan moral harus
sampai perbuatan. Menurut Lickona
pendidikan karakter memiliki tiga aspek yaitu moral knowing, moral feeling
dan moral action. Pendidikan karakter melalui tahap “orang
tahu/faham” tentang suatu nilai-nilai tertentu, selanjutnya “orang merasa wajib”
melakukan, dan ujungnya orang tersebut betul-betul melakukan dalam kehidupan
sehari-hari. Lickona mengatakan bahwa
pendidikan karakter harus sampai pada bentuk moral action, yaitu orang betaul-betul melaksanakan apa yang diketahui
dan apa yang diyakini.
Istilah
penghayatan dalam P4 tampaknya sangat mirip dengan moral feeling dalam konsep Linckona, yaitu bukan sekedar tahu dan
faham, tetapi sampai pada rasa keharusan untuk melakukan karakter yang telah
diyakini. Istilah pengalaman pada P4
sangat mirip dengan istilah moral action dalam
konsep Lickona, yaitu sampai melaksanakan karakter yang diyakini.
Konsep
P4 dan Lickono tersebut sangat bagus, sekaligus mengandung beberapa konskwesi
dalam proses pembelajaran pendidikan karakter.
Pertama, jika harus sampai
pengalaman maka proses pembelajaran dan pengukuan hasil belajar harus juga
sampai pengalaman. Artinya harus
diciptakan situasi belajar yang memberi kesempatan bahkan mendorong siswa
mengamalkan nilai-nilai karakter. Jika
nilai kejujuran yang sedang dikembangkan, maka situasi belajar harus menjadi
wahana siswa membuktikan dirinya jujur.
Jika nilai-nilai tangguh yang dikembangkan, situasi belajar yang menjadi
wahana siswa menunjukkan bahwa dirinya tanggung dan tidak mudah menyerah. Jika nilai-nilai peduli yang ingin
dikembangkan, maka proses pembelajaran harus memberi kesempatan siswa untuk
menunjukkan perilaku peduli kepada orang lain.
Kedua, karena tujuan pendidikan karakter ujungnya adalah perilaku
keseharian, maka itulah yang menjadu bentuk hasil belajar. Konskwensinya evaluasi hasil belajar juga
harus sampai perilaku. Dengan demikian
pola ujian tulis dan lisan tidak cukup untuk menilai hasil belajar pendidikan
karakter. Evaluasi harus disertai bentuk
observasi perilaku. Pengetahuan dapat
diui dengan tes tertulis. Penghayatan (moral feeling) mungkin dapat dievaluasi
dengan kuesioner. Pengamalan (moral action) harus dievaluasi melalui
perilaku sehari-hari.
Ketiga, perlu keteladanan. Ketika
diharapkan sampai pada penghayatan, apalagi sampai pengamalan, maka keteladanan
menjadi kunci penting. Seperti kata
beberapa pakar, karakter tidak dapat diajarkan tetapi ditularkan. Ketika siswa (maupun masyarakat umum) melihat
pimpinan/tokoh/orang panutan melakukan sesuatu secara ajek, maka akan tumbuh
untuk menirunya. Apalagi jika sebelumnya
sudah faham bahwa itu perwujudan nilai-nilai kehidupan, maka akan tumbuh
penghayatan, yaitu rasa bahwa itu sesuatu yang baik dan rasa harus
melakukannya.
Ke empat, konsistensi dalam waktu cukup lama. Untuk menumbuhkan penghayatan sebagaimana
disebutkan pada butir ketiga, ternyata memerlukan waktu lama. Artinya para tokoh/penutan harus secara
konsisten dan cukup lama melakukan perbuatan yang akan ditiru oleh siswa. Ketika konsistenan tokoh panutan akan menjadi
boomerang bagi pendidikan karakter.
Konon, kegagalan Penataran P4 bersumber pada hal ini. Peserta Penataran P4 dihadapkan pada
kenyatanaan tokoh-tokoh dibalik penataran tersebut tidak melaksanakan
nilai-nilai Pancasila secara konsisten.
Kelima, budaya sekolah menjadi kunci terpenting. Ada kelakar, orang Indonesia kalau di
Singapura juga dapat antree dengan tertib.
Warga Surabaya ketika berkunjung ke Tunjungan Plaza (mall bersar) juga
tidak membuang sampah sembarangan.
Mengapa? Karena situasi setempat
membuat orang berbuat seperti itu. Jika
sekolah memiliki budaya bersih, tertib, santun, maka siswa pelan-pelan akan
terdorong untuk menyesuaikan diri dan secara bertahap akan menjadi kebiasaan
hidupnya.
Proses pembiasaan dan pemberian teladan
yang paling efektif dapat menjadi topik penelitian yang sangat menarik. Diperlukan penelitian pengembangan untuk
menemukan pola keteladanan dan model budaya sekolah yang dengan cepat tetapi
juga permanen dalam membangun sikap hidup siswa. Sikap yang bersumber dari keyakina hati bahwa
itu harus dilakukan, sebagai bentuk tanggung jawab kehidupan.
Meminjam istilah Al Gazali (Samani,
2011) dalam setiap aktivitas manusia, hati ibarat raja yang menentukan “apa
yang yang harus dikerjakan”, otak ibarat perdana menteri yang mengatur
“bagaimana itu harus dikerjakan” dan tangan itu ibarat tentara yang
“melaksanakan perintah otak”. Jika
metapora Al Gazali tersebut digunakan, akan tampak sekali betapa pentingnya
karakter, karena menentukan apa yang dilakukan seseorang. Dan karakter itu bersumber dari penghayatan (moral feeling) terhadap nilai-nilai
yang diyakini.
Penutup
Beberapa
pengamat sosial mengatakan bahwa problem pokok yang dihadapi bangsa Indonesia
saat ini adalah moral. Moral masyarakat
dan bangsa yang cenderung seenaknya sendiri, mencari untung dengan jalan pintas
dan sebagainya. Selama moral itu belum
dapat diperbaiki, apapaun aturan yang dibuat, seketat apapaun pengawasan yang
dilakukan tetap saja bobol.
Mengapa? Karena banyak orang yang
akan mencari cara untuk mengakali aturan dan pengawasan. Dan celakanya, para pembuat aturan dan
pengawas juga ikut melakukannya.
Oleh
karena itu pengarusutamaan pendidikan karakter merupakan pilihan bagus pada
momen yang tepat. Namun demikian, agar
tidak mengulang kegagalan pendidikan Budi Pekerti dan Penataran P4, perlu
dilakukan penelitian untuk mengetahui mengapa dua model pendidikan karakter
tersebut tidak sukses dan sekaligus menemukan model yang lebih efektif dan
cocok dengan era sekarang.
Daftar Pustaka
Balitbang Dikbud. 2011. Peta Variabel Profil Karakter Siswa Sekolah Menengah Atas: Laporan Penelitian bersama Universitas
Negeri Surabaya. Jakarta: Balibang
Dikbud.
Bloom,
Benyamin S. 1984. Taxonomy of Educational
Objectives. Boston, MA: Allyn and Bacon.
Depdiknas. 2010-a. Grand Design Pendidikan
Karakter. Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional.
Depdiknas. 2010-b. Pengalaman Inspirarif dari 10
Sekolah. Jakarta: Depatemen Pendidikan Nasional.
Dewantara, Ki Hajar. 2004. Karya
K.H. Dewantara, Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan
Taman Siswa.
Latif, Yudi. 2014. Mata Air
Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan. Bandung: Penerbit Mizan.
Lickona, Thomas. 1992. Educating
for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. New York: Bantam Books.
Rahayu, Yuni S. dkk. 2012. Jejang Budaya dalam Karakter Siswa Indonesia. Surabaya: Unesa University Press.
Samani, Muchlas dan Haryanto. 2011. Pendidikan
Karakter: Konsep dan Model. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Samani, Muchlas. 2013. Pendidikan Karakter: Pilar Utama Kurikulum
2013. Makalah disampaikan pada Rakor dan
Evaluasi Direktorat Pembinaan Sekolah Dasar Ditjen Pendidikan Dasar Kemdikbud,
Tanggal 17-18 Oktober 2013.
Schulman, Michael and Eva Mekler.
1985. Binging Up A Moral
Child: A New Approach Teaching Your
Child to be Kind, Just and Responsible.
Massachusetts: Addison-Wesley Publishing Company Inc.