Senin, 28 April 2014

PENELITIAN UNTUK PENGEMBANAN PENDIDIKAN KARAKTER

Disampaikan pada Seminar Nasional dan Gelar Penelitian Dalam Rangka Dies Natalis Universitas Negeri Yogyakarta Ke-50, Tanggal 21-22 April 2014

Pendahuluan

Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara, pada Konggres Taman Siswa Pertama Tahun 1930 menyatakan dengan jelas bahwa pendidikan adalah daya upaya memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak.  Bagian-bagian itu tidak boleh dipisah-pisahkan, agar supaya kita dapat memajukan kesempurnaan hidup mereka (Dewantara, 2004: hal 14-15).

Jadi menurut Ki Hajar Dewantara karakter (juga disebut dengan budi pekerti, akhlaq) merupakan salah satu aspek penting dalam pendidikan.  Pemikiran tersebut sangat dekat dengan konsep Bloom yang mengataskan pendidikan pada dasarnya mengembangkan tiga ranah, yaitu kognitif, afektif dan psikomotor (1984).  Namun Ki Hajar Dewantara memberi catatan penting yang tidak disebut oleh Bloom, yaitu bahwa ketiga ranah tersebut harus dikembangkan secara seimbang dan terintegrasi.

Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 3 menyebutkan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.  Kalau kita cermati delapan aspek atau komponen yang ingin dicapai dalam pendidikan nasional itu, minimal empat diantaranya lebih dekat denga karakter.

Kalau kita menelaah sejarah pendidikan di awal peradaban, pendidikan itu dilakukan di padepokan, di pesantren atau tempat lain semacam itu dan pendidikan karakter merupakan tujuan utama.  Pendidikan pada masa itu lebih menekankan kepada “bekal hidup” atau “ilmu kehidupan” yang menekankan kepada budi pekerti dan hal-hal yang terkait dengan hubungan manusia dengan Sang Maha Pencipta, hubungan antar sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam.   Dalam dunia pewayangan biasanya digambarkan sebagai wejangan sang begawan kepada ksatria yang sedang berguru kepadanya.  Wejangan seperti itu lebih banyak berisi nilai-nilai kehidupan.  Dan tentu saja “olah kanuragan” yang dalam dunia pewayangan merupakan salah satu modal berperang membela kebenaran atau menghadapi musuh (Samani, 2013).

Dari uraian diatas dengan jelas terlihat bahwa seharusnya pendidikan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan. Telaah historis, telaah filosofis dan telaag yuridis menunjukan dukungan kuat terhadap pemikiran tersebut.  Oleh karena itu ketika pada tahun 2009 pemerintah menggemakan pendidikan karakter, sebenarnya yang terjadi adalah pengarusutamaan (mainstreaming) sesuatu yang selama itu agak terlupakan.  Gerakan pendidikan karakter bukanlah pemunculan konsep atau pemikiran baru dalam pendidikan, namun merupakan koreksi atau pelurusan terhadap pelaksanaan pendidikan yang dirasa tidak cocok dengan konsep dasar pendidikan Indonesia.


Pengalaman sebagai Guru Paling Baik.

Jika secara historis, filosofis dan yuridis kita mengakui pentingnya aspek karakter dalam pendidikan dan ternyata itu agak terlupakan sehingga harus digemakan kembali. Oleh karena itu kita harus mengkaji mengapa dimasa lalu hal itu terpinggirkan.  Kajian itu sangat penting untuk menemukan jawaban mengapa terpinggirkan sekaligus menemukan solusi agar ketika digemakan tidak mengalami nasib yang sama dengan sebelumnya.

Kita punya pengalaman melaksanakan pendidikan karakter, atau paling tidak dekat dengan karakter, yaitu Pendidian Budi Pekerti di sekolah dan Penataran P4.  Di masa lalu, dalam rapor siswa SD tercantum sejenis matapelajaran Budi Pekerti.  Disebut matapelajaran karena dicantumkan sederet dengan matapelajaran, misalnya Bahasa Indonesia, Matematika dan sebagainya.  “Matapelajaran” Budi Pekerti itu juga diberikan skor penilaian (angka) seperti matapelajaran lainnya.

DI jenjang SMP dan SMA/SMK istilah tersebut berubah menjadi Kelakuan, Kerajinan dan Kebersihan, yang juga dicantumkan sederet dengan matapelajaran lain, dengan diberi judul Kelompok Lain-lain.  Kelakukan, Kerajinan dan Kebersihan juga diberi skor penilaian, namun tidak berupa angka melainkan Baik/Sedang/Kurang.

Masih perlu diteliti bagaimana praktek pembelajaran “matapelajaran” Budi Pekerti dan “matapelajaran” Kelakuan, Kerajinan dan Kebersihan.  Bagaimana dampaknya terhadap perilaku siswa setelah mereka lulus dan terjun di masyarakat.  Orang-orang yang saat ini berusia 50 tahun ke atas adalah hasil pendidikan dengan pola tersebut.  Kita harus jujur mengatakan perilaku masyarakat kita ternyata belum bagus, walaupun dahulu mendapatkan  matapelajaran Budi Pekerti di SD dan pelajaran Kelakuan, Kerajinan dan kebersihan di SMP dan SMA/SMK. 

Juga perlu diteliti kapan “matapelajaran” Budi Pekerti tersebut dihapus.  Akhir-akhir ini ada perdebatan antara dua pandangan.  Satu pihak ingin mengembalikan “matapelajaran” Budi Pekerti, pihak lain mengatakan tidak perlu karena sudah masuk terintegrasi kedalam matapelajaran Agama, PPKn dan BK.  Kita perlu menemukan apakah ada perbedaan karakter lulusan, antara yang menggunakan kurikulum dengan “matapelajaran” Budi Pekerti dan yang diganti dengan Kelakuan, Kerajian dan Kebersihan.  Jika ternyata keduanya tidak berbeda, sebenarnya kita tidak perlu mengembalikan “matapelajaran” Budi Pekerti, toh hasilnya sama saja.  Demikian pula jika lulusan yang menggunakan kurikulum baru lebih baik.  Sebaliknya jika lulusan dengan menggunakan “matapelajaran” Budi Pekerti lebih baik karakternya, ada baiknya mengembalikan “matapelajaran” Budi Pekerti.

Jika diasumsikan penghilangan matapelajaran “Budi Pekerti” karena substansinya sudah dimasukkan ke matapelajaran Agama, PPKn dan Bimbingan Konseling, maka juga dilakukan kajian apa isi matapelajaran tersebut, bagaimana pelaksanaan di sekolah dan juga bagaimana mengevaluasi ketercapaiannya.   Bukankah banyak masyarakat yang mengeluhkan perilaku anak muda (termasuk siswa/mahasiswa) yang tentunya produk dari kurikulum yang sekarang ini berlaku.

Pengalaman kurang menyenangkan kedua  pendidikan karakter di masa lalu adalah Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila)  di era Orde Baru.   Di era itu setiap pejabat, profesi bahkan siswa dan mahasiswa diwajibkan mengikuti Penataran P4, tetapi dampaknya tidak begitu terasa.  Jika semua siswa/mahasiswa/karyawan baru/pejabat di berbagai level harus mengikuti Penataran P4, maka dapat diduga semua pejabat dan tokoh penting saat ini pernah mengikuti Penataran P4.  Dengan kata lain, semestinya mereka dipengaruhi oleh hasil Penataran P4.

Jika demikian perlu dikaji secara mendalam apa isi Penataran P4, bagaimana metoda yang diterapkan dan mengapa pejabat dan tokoh penting yang pernah mengikuti, banyak dari mereka yang perilakunya dikeluhkan oleh masyarakat.  Apakah kontribusi Penataran P4 yang tidak signifikan atau ada faktor lain yang lebih dominan dalam memperngaruhi perilaku mereka.

Sebagai catatan, penelitian terhadap “matapelajaran” Budi Pekerti, Penataran P4 dan efektivitas matapelajaran Agama, PPKn dan BK dalam membangun karakter, harus memperhatikan faktor lain di luar sekolah yang juga berpengaruh kuat terhadap perilaku siswa/mahasiswa/masyarakat.  Sebagaimana dikeluhkan oleh guru-guru, banyak kejadian di luar sekolah membuat siswa/mahasiswa tidak mematuhi prinsip-prinsip kehidupan yang diajarkan di sekolah.  Tayangan televisi, berita di koran, perilaku tokoh tidak kalah kuat pengaruhnya dibanding pelajaran di sekolah.

Pola penilaian pendidikan di sekolah dan universitas juga perlu dikaji.  Sebagaimana difahami biasanya teaching for the test terjadi di sekolah dan universitas.  Artinya guru dan dosen cenderung mengajarkan apa-apa yang nanti akan diuji di akhir semester dan diakhir pendidikan.  Sebagai contoh, guru cenderung mengajar materi yang di-UN-kan, karena prestasi guru banyak diukur dengan nilai UN siswanya.  Jika karakter tidak diukur dan tidak mendapat perhatian dalam penentuan kenaikan kelas atau kelulusan, biasanya guru dan dosen tidak terdorong untuk mengajarkannya. 



Apa Nilai-nilai Karakter Utama Kita?

Jika kita ingin menumbuhkan karakter, maka langkah pertama adalah memastikan apa nilai-nilai karakter yang ingin dikembangkan.  Setelah dipastikan, setiap nilai perlu didefinisikan atau diberi penjelasan agar semua pihak memiliki pengertian yang sama, minimal tidak jauh berbeda.  Akan lebih baik jika diberi contoh penerapan dalam kehidupan keseharian, sehingga masyarakat mudah memahaminya,

Dari dokumen rapor, kita pernah punya pengalaman memiliki tiga nilai utama, yaitu kelakukan, kerajinan dan kebersihan.  P4 memiliki butir sebanya 36 buah yang dijabarkan dari 5 sila Pancasila.  Diskusi panjang di Kementerian Pendidikan Nasional pada tahun 2010 mengusulkan empat karakter dasar yang perlu mendapat penekanan, yaitu jujur, cerdas, tangguh dan peduli (Depdiknas, 2010-a). 

Dari negara lain, Character First (www.characterfirst.com/abuotus/qualitis) mengajukan 49 aspek karakter, yaitu alertness, attentiveness, availability, benevolence, boldness, cautiousness, compassion, contentment, creativity, decisiveness, deference, dependability, determination, diligence, discernment, discretion, endurance, enthusiasm, faith, flexibility, forgiveness, generosity, gentleness, gratefulness, honor, hospitality, humanity, initiative, joyfulness, justice, loyalty, meekness, obedience, orderliness, patience, persuasiveness, punctuality, resourcefulness,  responsibility, security, self-control, sensitivity, thoroughness, thriftiness, tolerance, truthfulness, virtue, wisdom

Sementara itu, Amerika Serikat  hanya mengambil dua nilai-nilai karakter, yaitu respect dan responsibility (Linckona, 1991).  Tampaknya dua aspek itu kemudian dijabarkan menjadi bentuk-bentuk perilaku.  Membuang sampah di tempatnya merupakan bentuk jabaran dari tanggung jawab.  Membeli tiket kereta api, walaupu hampir tidak pernah ada pemeriksaan oleh petugas adalah bentuk tanggung jawab. Tidak merokok di tempat umum merupakan bentuk menghargai hak orang lain.  Tidak menerombol suatu antrian adalah bentuk penghargaan orang lain.

Soemarno Soedarsono (2009), seorang purnawirawan jenderal dan dosen Lemhanas menyatakan lima nilai-nilai jatidiri yang penting adalah beriman dan bertakwa serta berbudi pekerti luhur; memiliki pengetahuan dan keterampilan; sehat jasmani dan rohani; memiliki kepribadian yang mantap dan mandiri; dan memiliki rasa tangung jawab dalam bermasyarakat, beragama, berbangsa dan bernegara.

Apakah kita harus menggunakan nilai-nilai karakter yang sama untuk dikembangkan di keluarga maupun lembaga pendidikan?  Setiap masyarakat memiliki kearifan lokal, baik bersumber dari agama, kebudayaan, adat istiadat dan sebagainya.  Tahun 2011 Balitbang Dikbud bekerjasama dengan Tim Unesa melakukan penelitian Peta Variabel Profil Karakter Siswa Sekolah Menengah Atas.  Hasilnya sungguh mengejutkan.  Setiap daerah memiliki rujukan untuk mengembangkan pendidikan karakter, berupa legenda/dongeng, kidung/nyanyian, ungkapan-ungkapan kata bijak, lukisan dan simbul-simbul, upacara ritual dan sebagainya.  Rujukan yang berbeda-beda tetapi seringkali mengungkapkan nilai-nilai karakter yang hampir sama (Balibang Dikbud, 2011).

Mirip dengan hasil penelitian Balitbang Dikbud,  Yuni Sri Rahayu dkk (2102) dalam buku Jejak Budaya dalam Karakter Siswa Indonesia, menyajikan berbagai contoh nilai-nilai karakter di berbagai daerah/suku/budaya Indonesia.  Dan ternyata nilai-nilai itulah yang kemudian menjadi sumber moral masyarakat setempat, termasuk di sekolah.

Studi Depdiknas (2010-b) terhadap sekolah/lembaga pendidikan yan sukses mengembangkan pendidikan karakter, menemukan bahwa nilai-nilai karakter yang dikembangkan tidak sama tepat.  Rujukannya juga berbeda-beda.  Ada dari nilai-nilai agama, ada pula yang dari filosofi kehidupan, dan ada pula yang merujuk kepada Pancasila.  Yudi Latif (2014) juga menulis buku Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan.  Buku itu menggambarkan betapa banyak teladan perilaku berkarakter dari orang-orang Indonesia, yang berlainan suku, agama, profesi dan masa kehidupan.

Namun jika kita cermati nilai-nilai karakter yang dikembangkan oleh daerah, sekolah, maupun yang dicontohkan dalam buku Yudi Latif, dengan sumber rujukan yang berbeda-beda, ternyata memiliki kemiripan dalam implementasi di kehidupan keseharian. Dengan kata lain, sebenarnya terdapat universalitas karakter, yaitu karakter dasar yang disepakati oleh sebagian besar masyarakat, apapaun agamanya, adat istiadatnya dan dimanapun mereka tinggal.

Oleh karena itu, pada saat Indonesia menggemakan kembali pendidikan karakter, perlu segera diteliti dan dikembangkan nilai-nilai karakter dasar apa yang harus dikembangkan di sekolah dan lembaga pendidikan.  Sebaiknya tidak terlalu banyak, sehingga mudah diingat.  Nilai-nilai karakter kemudian dapat dijabarkan ke dalam bentuk perilaku keseharian sesuai dengan situasi dan kondisi daerah setempat.  Misalnya kita menggunakan empat nilai yang dimuat di Buku Induk Pendidikan Karakter, yaitu jujur, cerdas, tangguh dan peduli, maka setiap  nilai-nilai dasar karakter tersebut dijabarkan menjadi contoh-contoh perilaku yang menggambarkan perwujudannya.

Penelitian tersebut diharapkan dapat menemukan solusi dari perbedaan cara pandang karakter yang selama ini berkembang.  Beberapa ahli berpendapat bahwa pendidikan karakter pada dasarnya terkait “perilaku baik kepada sesama”, misalnya jujur, santun, berempati, tanggung jawab dan sebagainya.  Beberapa ahli lain berpendapat, karakter tidak hanya itu, tetapi juga yang terkait dengan sikap pengembangan diri, misalnya kerja keras, kreatif dan sebagainya.

Penelitian pendidikan karakter sebagainya melibatkan Pusat Studi Pendidikan Karakter atau pusat studi yang dekat dengan itu  di berbagai universitas.  Sebagai penghasil guru, LPTK sebaiknya juga dilibatkan dengan pesan nilai-nilai karakter itu juga dikembangkan di LPTK dan dipesankan agar setelah lulus dan mengajar, nilai-nilai itu dikembangkan di sekolah tempat para lulusan mengajar.


Strategi Implementasi Pendidikan Karakter

Konsep Penataran P4 sebenarnya sangat bagus. P4 memiliki kepanjangan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.  Jadi menurut konsep P4, Pancasila tidak boleh hanya diketahui dan difahami, tetapi harus dihayati sebagai nilai-nilai kehidupan dan diamalkan dalam bentuk kehidupan sehari-hari.

Konsep itu mirip dengan yang diajukan oleh Lickona (1992) bahwa pendidikan moral harus sampai perbuatan.  Menurut Lickona pendidikan karakter memiliki tiga aspek yaitu moral knowing, moral feeling dan moral action.  Pendidikan karakter melalui tahap “orang tahu/faham” tentang suatu nilai-nilai  tertentu, selanjutnya “orang merasa wajib” melakukan, dan ujungnya orang tersebut betul-betul melakukan dalam kehidupan sehari-hari.  Lickona mengatakan bahwa pendidikan karakter harus sampai pada bentuk moral action, yaitu orang betaul-betul melaksanakan apa yang diketahui dan apa yang diyakini.

Istilah penghayatan dalam P4 tampaknya sangat mirip dengan moral feeling dalam konsep Linckona, yaitu bukan sekedar tahu dan faham, tetapi sampai pada rasa keharusan untuk melakukan karakter yang telah diyakini.  Istilah pengalaman pada P4 sangat mirip dengan istilah moral action dalam konsep Lickona, yaitu sampai melaksanakan karakter yang diyakini.

Konsep P4 dan Lickono tersebut sangat bagus, sekaligus mengandung beberapa konskwesi dalam proses pembelajaran pendidikan karakter.  Pertama, jika harus sampai pengalaman maka proses pembelajaran dan pengukuan hasil belajar harus juga sampai pengalaman.  Artinya harus diciptakan situasi belajar yang memberi kesempatan bahkan mendorong siswa mengamalkan nilai-nilai karakter.  Jika nilai kejujuran yang sedang dikembangkan, maka situasi belajar harus menjadi wahana siswa membuktikan dirinya jujur.  Jika nilai-nilai tangguh yang dikembangkan, situasi belajar yang menjadi wahana siswa menunjukkan bahwa dirinya tanggung dan tidak mudah menyerah.  Jika nilai-nilai peduli yang ingin dikembangkan, maka proses pembelajaran harus memberi kesempatan siswa untuk menunjukkan perilaku peduli kepada orang lain.

Kedua, karena tujuan pendidikan karakter ujungnya adalah perilaku keseharian, maka itulah yang menjadu bentuk hasil belajar.  Konskwensinya evaluasi hasil belajar juga harus sampai perilaku.  Dengan demikian pola ujian tulis dan lisan tidak cukup untuk menilai hasil belajar pendidikan karakter.  Evaluasi harus disertai bentuk observasi perilaku.  Pengetahuan dapat diui dengan tes tertulis.  Penghayatan (moral feeling) mungkin dapat dievaluasi dengan kuesioner.  Pengamalan (moral action) harus dievaluasi melalui perilaku sehari-hari.

Ketiga, perlu keteladanan.  Ketika diharapkan sampai pada penghayatan, apalagi sampai pengamalan, maka keteladanan menjadi kunci penting.  Seperti kata beberapa pakar, karakter tidak dapat diajarkan tetapi ditularkan.  Ketika siswa (maupun masyarakat umum) melihat pimpinan/tokoh/orang panutan melakukan sesuatu secara ajek, maka akan tumbuh untuk menirunya.  Apalagi jika sebelumnya sudah faham bahwa itu perwujudan nilai-nilai kehidupan, maka akan tumbuh penghayatan, yaitu rasa bahwa itu sesuatu yang baik dan rasa harus melakukannya.

Ke empat, konsistensi dalam waktu cukup lama.  Untuk menumbuhkan penghayatan sebagaimana disebutkan pada butir ketiga, ternyata memerlukan waktu lama.  Artinya para tokoh/penutan harus secara konsisten dan cukup lama melakukan perbuatan yang akan ditiru oleh siswa.  Ketika konsistenan tokoh panutan akan menjadi boomerang bagi pendidikan karakter.  Konon, kegagalan Penataran P4 bersumber pada hal ini.  Peserta Penataran P4 dihadapkan pada kenyatanaan tokoh-tokoh dibalik penataran tersebut tidak melaksanakan nilai-nilai Pancasila secara konsisten.

Kelima, budaya sekolah menjadi kunci terpenting.  Ada kelakar, orang Indonesia kalau di Singapura juga dapat antree dengan tertib.  Warga Surabaya ketika berkunjung ke Tunjungan Plaza (mall bersar) juga tidak membuang sampah sembarangan.  Mengapa?  Karena situasi setempat membuat orang berbuat seperti itu.  Jika sekolah memiliki budaya bersih, tertib, santun, maka siswa pelan-pelan akan terdorong untuk menyesuaikan diri dan secara bertahap akan menjadi kebiasaan hidupnya.

Proses pembiasaan dan pemberian teladan yang paling efektif dapat menjadi topik penelitian yang sangat menarik.  Diperlukan penelitian pengembangan untuk menemukan pola keteladanan dan model budaya sekolah yang dengan cepat tetapi juga permanen dalam membangun sikap hidup siswa.  Sikap yang bersumber dari keyakina hati bahwa itu harus dilakukan, sebagai bentuk tanggung jawab kehidupan.

Meminjam istilah Al Gazali (Samani, 2011) dalam setiap aktivitas manusia, hati ibarat raja yang menentukan “apa yang yang harus dikerjakan”, otak ibarat perdana menteri yang mengatur “bagaimana itu harus dikerjakan” dan tangan itu ibarat tentara yang “melaksanakan perintah otak”.  Jika metapora Al Gazali tersebut digunakan, akan tampak sekali betapa pentingnya karakter, karena menentukan apa yang dilakukan seseorang.  Dan karakter itu bersumber dari penghayatan (moral feeling) terhadap nilai-nilai yang diyakini.


Penutup

Beberapa pengamat sosial mengatakan bahwa problem pokok yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini adalah moral.  Moral masyarakat dan bangsa yang cenderung seenaknya sendiri, mencari untung dengan jalan pintas dan sebagainya.  Selama moral itu belum dapat diperbaiki, apapaun aturan yang dibuat, seketat apapaun pengawasan yang dilakukan tetap saja bobol.  Mengapa?  Karena banyak orang yang akan mencari cara untuk mengakali aturan dan pengawasan.  Dan celakanya, para pembuat aturan dan pengawas juga ikut melakukannya.

Oleh karena itu pengarusutamaan pendidikan karakter merupakan pilihan bagus pada momen yang tepat.  Namun demikian, agar tidak mengulang kegagalan pendidikan Budi Pekerti dan Penataran P4, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui mengapa dua model pendidikan karakter tersebut tidak sukses dan sekaligus menemukan model yang lebih efektif dan cocok dengan era sekarang.


Daftar Pustaka

Balitbang Dikbud. 2011. Peta Variabel Profil Karakter Siswa Sekolah Menengah Atas:   Laporan Penelitian bersama Universitas Negeri Surabaya.   Jakarta: Balibang Dikbud.
Bloom, Benyamin S. 1984. Taxonomy of Educational Objectives. Boston, MA: Allyn and Bacon.
Depdiknas. 2010-a. Grand Design Pendidikan Karakter.  Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Depdiknas. 2010-b. Pengalaman Inspirarif dari 10 Sekolah. Jakarta: Depatemen Pendidikan Nasional.
Dewantara, Ki Hajar. 2004.  Karya K.H. Dewantara, Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.
Latif, Yudi. 2014. Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan. Bandung: Penerbit Mizan.
Lickona, Thomas. 1992. Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility.  New York: Bantam Books.
Rahayu, Yuni S. dkk. 2012.  Jejang Budaya dalam Karakter Siswa Indonesia.  Surabaya: Unesa University Press.
Samani, Muchlas dan Haryanto. 2011. Pendidikan Karakter: Konsep dan Model. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Samani, Muchlas. 2013. Pendidikan Karakter: Pilar Utama Kurikulum 2013.  Makalah disampaikan pada Rakor dan Evaluasi Direktorat Pembinaan Sekolah Dasar Ditjen Pendidikan Dasar Kemdikbud, Tanggal 17-18 Oktober 2013.

Schulman, Michael and Eva Mekler.  1985. Binging Up A Moral Child:  A New Approach Teaching Your Child to be Kind, Just and Responsible.  Massachusetts: Addison-Wesley Publishing Company Inc.

1 komentar:

Maharti Rn mengatakan...

sangat setuju pak, pembiasaan dan keteladanan menjadi unsur suksesnya pendidikan karakter pada generasi.
ijin share pak, tks