Tanggal
23 April 20014 dilaksanakan pemilihan Rektor Unesa periode 2014-2018. Alhamdulillah berjalan lancar, dengan
dihadiri Dr. Patdono Suwignyo, Sekretaris Ditjen Dikti, sebagai kuasa Mendikbud
dan Ibu Ani Nurdiani Azizah, SH. MSi, Kepala Biro Hukum dan Organisasi
Kemdikbud. Memang ada riak-riak kecil,
tetapi menurut saya masih dalam taraf kewajaran. Apalagi jika diingat sejarah pemilihan rektor
empat tahun lalu yang cukup panas.
Meskipun
yakin pilihan rektor akan lancar dan aman, secara jujur saya deg-degan sejak
pendaftaran calon ditutup dan menghasilkan tiga calon, yaitu Prof Nurhasan,
Prof Warsono dan Prof Yatim Riyanto.
Mengapa? Karena empat tahun lalu,
ketika saya ikut kompetisi, konon situasi cukup mencekam. Bahkan menjelang pemilihan dilaksanakan ada
keributan antar kelompok mahasiswa. Saya mengatakan konon, karena sehari-hari
saya di Jakarta melaksanakan tugas sebagai Direktur Ketengaan Ditjen Dikti,
sehingga tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Sepertinya
sudah menjadi pola, jika ada kelompok elit yang berbeda pendapat, kemudian
melibatkan oranh awam yang dapat disuruh-suruh.
Sebagai contoh, jika dalam pilkada dan ada peserta yang tidak puas, kemudian
terjadi demonstrasi yang kadang-kadang
anarkhis. Hal yang sama juga terjadi
jika ada perselisihan antara dua kelompok elit. Sepertinya, sang elit yang tidak puas atau
sedang bersengketa, kemudian mendorong atau menggerakkan masyarakat untuk
berdemo. Yang disuruh atau diprovokasi
untuk berdemo biasanya masyarakat awam yang kadang-kadang tidak faham apa yang
didemokan.
Di
perguruan tinggi (secara umum, tidak hanya di Unesa), mahasiswa adalah bagian
sivitas akademika yang paling mudah diprovokasi. Jadi dapat difahami kalau demonstrasi
mahasiswa biasanya diwarnai oleh pemikiran kelompok elit yang sedang
berkompetisi atau berbeda pendapat. Saya
tidak mengatakan mereka disuruh, mahasiswa kok disuruh-suruh, tetapi diwarnai
pemikirannya. Artinya, diberi atau
mendapat informasi sehingga berpikiran sejalan dengan elit yang sedang
berkompetisi atau berbeda pendapat.
Memahami
fenomena seperti itu, sejak awal saya mendorong mahasiswa untuk belajar
berdemokrasi yang sehat dan matang.
Kompetisi adalah keniscayaan, karena setiap hari kita berkompetisi. Bahkan kata para ahli, awal pertumbuhan
manusia juga melalui proses kompetisi, yaitu ketika ribuan sel sperma
berkompetisi mencapai ovum untuk dibuahi (mohon maaf kalau istilahnya
keliru).
Yang
penting berkompetisi secara sehat dan bersamaan dengan itu tidak lupa melakukan
sinergi dan bekerjasama. Dalam satu
kelompok kerjasamapun harus terjadi kompetisi.
Misalnya ketika sekelompok mahasiswa mengerjakan tugas kelompok, mereka
juga berkompetisi untuk mengerjakan tugasnya masing-masing, agar hasilnya
paling baik. Juga berkompetisi dalam
bersinergi. Maksudnya berkompetisi
bagaimana menemukan cara bekerjasama yang paling efektif.
Saya
juga mendorong mahasiswa untuk belajar berpikir kritis dan konseptual. Maksudnya agar mahasiswa dapat berpikir
jernih dan tidak mudah digiring pemikiran tertentu. Bukan berari yang menggiring pemikirannya
keliru. Mahasiswa juga tidak boleh
begitu saja menolak pemikiran yang disodorkan.
Tetapi mahasiswa harus menelaah dan mengkritisi konsep atau pemikiran
yang disodorkan, sebelum menerima atau menolak pemikiran tokoh tertentu. Sering saya menggunakan kelakar, jangan
sampai mahasiswa “menerima atau menolak pemikiran sebelum membaca konsepnya”. Kita pelajari pemikiran orang lain dengan
kritis dan jernih, kemudian kita merumuskan pemikiran sendiri. Pemikiran kita dapat sama namun juga dapat
pula berbeda dengan pemikiran yang sedang kita pelajari.
Orang
yang berdemo karena disuruh-suruh, biasanya dilupakan atau dipinggirkan setelah
demo selesai dan mendapatkan hasil.
Hasil demonstrasi biasanya dinikmati kalangan elit yang menjadi actor
intelektualnya. Yang rame-rame di
lapangan biasanya hanya pelengkap atau bahkan menjadi penonton, ketika semuanya
sudah selesai dan berjalan normal.
Cerita itu sering saya sampaikan kepada para aktivis mahasiswa.
Sebelum
penjaringan calon rektor dimulai, sebaiknya dirumuskan kriteria untuk rektor
2014-2018. Jika kriteria sudah dirumuskan dan
disepakati, biarlah para dosen berkaca apakah cocok dengan kriteria
tersebut. Jika merasa cocok, silahkan
mulai mempersiapkan diri menjadi calon.
Jika kurang cocok sebaiknya menyadari bahkan tidak cocok untuk Rektor
Unesa 2014-2018.
Tidak
cocok bukan berarti kurang kompeten, tetapi memiliki kompetensi yang berbeda
dengan yang diperlukan. Mungkin yang
bersangkutan lebih cocok menjadi dirjen, menteri, gubernur, dekan dan
sebagainya. Tidak cocok untuk Rektor
Unesa 2014-2018, tetapi mungkin cocok untuk posisi yang lain dan mungkin lebih
tinggi. Bukankah setiap jabatan
memerlukan kompetensi yang berbeda-beda.
Saat
diundang disksui oleh BEM UNesa, saya mengajukan tiga kriteria, yaitu (1)
standing akademik, (2) integritas, dan (3) kemampuan menjalin kerjasama
internasional. Tentu orang lain boleh memiliki
kriteria berbeda dengan yang saya ajukan.
Nah, jika ajuan-ajuan kriteria itu dapat didiskusikan dan disepakati, kriteria
itu disodorkan kepada semua pihak untuk bercermin sebelum memutuskan untuk
mencalonkan diri. Juga dapat disodorkan
kepada berbagai pihak untuk dijadikan pertimbangan ketika mengikuti proses polling maupun oleh anggota Senat Unesa
ketika harus memilih calon rektor.
Namun
tampaknya tradisi itu belum terbangun.
Mahasiswa sebenarnya sudah memulai itu dengan serangkaian diskusi. Namun belum berani merumuskan menjadi
ajuan. Di kalangan dosen justru yang
belum tumbuh. Saya belum mendengar ada
diskusi untuk merumuskan kriteria calon rektor.
Mungkin masih memerlukan waktu untuk membiasakan bahwa setiap seleksi
memerlukan kriteria.
Sebenarnya
hal itu dapat dianalogikan dengan lomba lukir, lomba nyanyi, lomba tari dan sebagainya. Juri lomba-lomba tersebut selalu memegang
kriteria penilaian yang biasanya dalam bentuk format yang dibakukan oleh
panitia. Mengapa? Jika tidak ada format
penilaian, juri akan melakukan penilaian berdasarkan feeling-nya masing-masing.
Nah, dapat dibayangkan kalau mahasiswa, dosen dan karyawan mengikuti polling tanpa faham kriteria seperti apa
hasilnya. Demikian pula jika anggota
senat melakukan pemilihan dengan memahami kriteria calon rektor, seperti apa
hasilnya.
Namun
saya juga percaya kalau dosen Unesa semakin rasional, sehingga tidak mudah
digiring dalam pemikiran tertentu.
Apalagi hampir semua dosen Unesa minimal berpendidikan S2 dan juga sudah
banyak yang S3. Apapun bidang ilmunya,
saya yakin seseorang yang berpendidikan S2 apalagi S3, pasti mampu berpikir
rasional, kritis dan jernih. Jika toh
masih ada penggiringan dan dosen tidak berani menolak, saya menduga dalam hati
mereka mengatakan “ya” tetapi sebenarnya
“tidak setuju”.
Menurut
seorang teman yang mendalami ilmu politik, demokrasi akan berjalan baik jika
masyarakatnya well educated dan well informed. Dengan pendidikan yang baik, orang akan dapat
berpikir kritis dan jernih, sehingga tidak mudah digiring oleh pemikiran
tertentu. Akhirnya orang dapat memiliki
pemikiran dan pilihannya sendiri. Dengan
dimilikinya informasi yang bagus, berarti orang memiliki bahan pertimbangan
dalam menganalisis atau memilih.
Masyarakat
Unesa, khususnya dosen tentunya termasuk orang-orang yang well educated (berpendidikan baik).
Mahasiswa juga sudah memiliki bekal pendidikan yang memadai dan sedang
memperkuat basis ilmu pengetahuannya, sehingga saya yakin mereka telah memiliki
kemampuan untuk berpikir kritis dan jernih.
Jadi yang diperlukan adalah tersedianya informasi yang cukup dan
mutakhir. Tantangan Unesa ke depan dan
kriteria calon rektor yang cocok memimpin untuk menghadapi situasi tersebut
merupakan informasi penting yang harus dimiliki dosen, karyawan dan mahasiswa.
Banyak
teman dan mahasiswa yang bertanya diantara tiga calon rektor, mana yang menurut
saya paling cocok. Saya selalu menjawab,
sebagai rektor saya harus netral. Ketiga
calon adalah “adik-adik” saya dan semuanya guru besar yang tentu sudah teruji. Oleh
karena itu saya tidak pernah hadir ketika diundang pertemuan yang terkait
dengan percalonan rektor. Bukan berarti
saya golput. Saya tetap akan memilih
sesuai kriteria yang saya percayai, tetapi saya tidak boleh menggiring orang
lain untuk memilih calon tertentu.
Dengan
posisi sebagai rektor, sebenarnya saya menghadapi problem yang melekat dalam
proses pemilihan rektor mendatang. Jika
yang terpilih calon A, sangat mungkin calon B dan C marah. Jika yang terpilih calon B, calon A dan C yang
marah. Jika calon C yang terpilih, calon
A dan B yang marah. Mengapa? Karena yang tidak terpilih menduga, saya
mendorong Mendikbud memberikan suaranya kepada calon yang terpilih. Beberapa teman-teman dekat berkomentar itu
risiko jabatan.
Pemilihan
rektor sudah berjalan dengan lancar.
Saya yakin dan tetap berharap semua pihak menerima hasil itu dengan
lapang dada. Dalam demokrasi, kita boleh
berbeda pendapat, berdiskusi dan bahkan berdebat. Namun jika yang berwenang sudah mengambil
keputusan, kita harus mengikuti keputusan tersebut. Kita boleh punya pilihan yang berbeda, namun
ketika proses pemilihan sudah berlangsung sesuai ketentuan dan sudah ada calon
rektor terpilih, maka kita harus menerima hasil tersebut dengan lapang dada.
Saya
mengenal baik Pak Nurhasan dan Pak Yatim, sehingga saya yakin beliau berdua
menerima baik hasil pilihan rektor.
Bahkan sebelum pemilihan saya sering melihat para calon berkelakar dan
mengatakan, siapapun yang nanti terpilih akan yang lain akan mendukung. Saya juga yakin para anggota Senat Unesa
adalah para guru besar dan dosen terpilih yang selalu berpikir rasional dan
dewasa dalam berdemokrasi, sehingga menerima hasil pilihan rektor dengan lapang
dada.
Sambutan
Pak Patdono menjelang pemberian suara sangat bagus dan cocok untuk direnungkan.
Beliau mengatakan, setelah pemilihan dilakukan dan hasilnya diketahui, semua
pihak harus dapat menerimanya. Setelah
itu semua pihak harus mendukung siapapun yang terpilih untuk melanjutkan
pengembangan Unesa. Jangan sampai timbul
ketegangan dan gangguan yang dapat menyebabkan pengembangan Unesa stagnan
apalagi mundur.
Oleh
karena itu setelah calon terpilih dilantik, sebaiknya kita semua mendukung
dengan membantu menyusun konsep program apa sebaiknya untuk empat tahun
mendatang. Kondisi empat tahun ke depan
tentu berbeda dengan empat tahun lalu, sehingga rektor baru memerlukan program
baru sebagai kelanjutan program sebelumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar