Mingu-mingu
ini kita disuguhi berita tentang peristiwa pelecehan seksual di Jakarta
International School (JIS). Pada awalnya
hanya seorang siswa TK yang mengalami, tetapi kemudian muncul pengakuan lain. Yang dijadikan tersangka, semua hanya 3 orang
petugas kebersihan, tetapi kemudian bertambah menjadi 5 orang. Media juga memberitakan bahwa JIS pernah
memiliki guru yang menjadi buronan FBI karena masalah pedofilia. Bahkan ada yang menduga Wakil Kepala Sekolah
JIS juga terlibat. Namun yang
bersangkutan keburu pulang ke negaranya.
Tulisan
ini tidak akan membahas, peristiwa itu tetapi akan mencermati sisi
lainnya. Menurut lama resminya,
diketahui kalau JIS merupakan sekolah internasional yang tua, bahkan mungkin
tertua di Indonesia. JIS didirikan tahun
1951 oleh para pekerja PBB dengan nama JES (Joint Embassy School). JES pada awalnya dimaksudkan untuk anak-anak
expatriate (orang asing yang bekerja di Indonesia). Sepertinya pendirian JES didukung oleh Kedubes
Amerika Serikat, Inggris, Australia dan kemudian menyusul Yugoslavia. Baru pada tahun 1978 namanya berubah menjadi
Jakarta International School (JIS).
Saat
ini JIS memiliki TK, SD, SMP dan SMA, dengan jumlah siswa sekitar 2.400 orang
dengan guru 250 orang. Dengan bangga lama
JIS menyebutkan bahwa siswanya berasal dari 60 warga negara. Tentu ada orang
Indonesianya. Untuk tingkat SMA (High
School) JIS memiliki 906 orang siswa, yang terdiri dari 20% dari Amerika
Serikat, 18% dari Korea Selatan, 16 % dari Indonesia, lainnya berasal dari 45
negara. Juga tidak ada informasi pasti
berapa siswa SMP, kecuali daya tampung yang disebutkan SMP 600 siswa dan SMA
900 siswa. Jika totalnya 2400 siswa
dapat diduga siswa SD sekitar 900 orang dan TK sekitar 100 orang.
Laman
JIS menyebutkan bahwa bahasa pengantar yang digunakan adalah Bahasa Inggris dan
untuk jenjang SMA siswa dapat menembuh IB (International Baccalaureate)
Diploma. JIS diakreditasi oleh Council of International School dan Western
Association of Schools and Colleges.
Membaca
penjelasan di laman tersebut dapat disimpulkan bahwa pada awalnya, JIS adalah Sekolah
Perwakilah Negara Asing, sebagaimana dimaksud oleh pasal 64 UU Sisdiknas. Mungkin tidak efisien kalau masing-masing
mendirikan, akhirnya tiga negara (Amerika Serikat, Inggris dan Australia)
mendirikan bareng-bareng dan kemudian Yugoslavia bergabung. Sangat mungkin pada awalnya siswa JIS
(mungkin masih bernama JES) adalah anak-anak WNA.
Kita
tidak tahu sejak kapan JIS menerima siswa orang Indonesia. Mungkin setelah berganti nama dari JES
menjadi JIS, jadi sejak tahun 1978. Karena
menerima siswa WNI, maka sangat mungkin JIS berubah status menjadi Lembaga
Pendidikan Asing yang menyelenggarakan pedidikan di Indonesia, sebagaimana
dimaksud oleh pasal 65 ayat (1) UU Sisdiknas.
Jika
dugaan itu betul, maka JIS seharusnya bekerjasama dengan Lembaga Pendidikan di
Indonesia dan mengikutsertakan pendidik dan pengelola WNI (ayat 3). Disamping itu JIS harus memberikan
matapelajaran Agama dan Kewarganegaraan bagi siswa WNI (ayat 2).
Berangkat
dari data-data diatas, paling tidak ada beberapa fenomena yang menarik terkait
dengan JIS. Pertama, tampaknya JIS diminati oleh masyarakat kalangan atas. Dari informasi yang ada, sebagian besar siswa
JIS yang WNI adalah anak-anak keluarga kaya dan banyak yang keturan campuran
(ayahnya orang asing dan ibunya orang Indonesia atau sebaliknya). Nama “besar” JIS sepertinya menjadi magnet
atau seakan-akan menjadi jaminan mutu pendidikannya.
Sangat
mungkin JIS menjadi contoh sekaligus pemicu munculnya sekolah bertaraf
internasional lainnya di Indonesia.
Sebagaimana diketahui, sebelum pemerintah memunculkan RSBI (Rintisan
Sekolah Bertaraf Internasional), sebenarnya sudah banyak sekolah-sekolah swasta
yang menyatakan diri bertaraf internasional.
Umumnya menggunakan kurikulum asing, berbiaya mahal dan siswanya berasal
dari keluarga kaya. Dan sekolah seperti
itu memiliki banyak peminat, sehingga muncul di berbagai kota besar.
Kedua, tampaknya pemerintah “kecolongan”. Walaupun tidak tahu kapan JIS mulai menerima
siswa WNI tetapi saya yakin itu sudah lama.
Seingat saya pada akhir tahun 1990an sudah ada anak-anak WNI (biasanya
keluarga berada) yang sekolah di JIS.
Dengan demikian, semestinya sejak itu atau sejak terbinta UU Sisdiknas
(2003) JIS terkena aturan pasal 65 ayat (2) dan ayat (3). Namun tampaknya pemerintah belum sempat
mengevaluasinya.
Dari
laman resmi, tidak tampak kalau pengelolaan JS melibatkan WNI. Kepala Sekolah
JIS adalah Timothy Carr, Head of Business Development: Vivien Brelsford, Deputy
Head of School: Stephen Druggan. Dari nama tersebut, termasuk nama-nama Kepala
Sekolah SD, SMP dan SMA tidak tampak nama orang Indonesia. Laman
JIS tidak memuat nama-nama guru, sehingga kita tidak tahu apakah melibatkan
guru WNI atau tidak.
Laman
JIS tidak memuat kurikulum yang digunakan.
Namun kalau kita perhatian bahwa ada pilihan IB untuk SMA dan
akreditasinya mengikuti Council of International School dan Western Association
of Schools and Colleges, dapat diduga kalau JIS tidak menggunakan kurikulum
nasional Indonesia. Apakah siswa WNI
mendapat pelajaran Agama dan Kewarganegaraan sebagaimana diamanatkan pasay 65
ayat (2) UU Sisdiknas.
Ketika
diwawancarai, Kepala Pusat Informasi Kemdikbud juga tidak dapat memastikan dan
masih akan mengecek. Kita belum tahu
apakah secara periodik JIS dievaluasi atau tidak. Terungkapnya TK JIS tidak memiliki ijin
semakin memperkuat dugaan bahwa pemerintah kecolongan, paling tidak lupa tidak
melakukan evaluasi secara periodik.
Ketiga, tampaknya negara besar dibalik
JIS juga menjadi salah satu faktor.
Laman JIS memang tidak menjelaskan, sebenarnya JIS itu “induknya”
dimana. Kalau mengacu pasal 65 ayat (1)
yang boleh menyelenggarakan pendidikan di Indonesia adalah Lembaga Pendidikan
yang diakui atau terakreditasi di negaranya.
Semestinya JIS punya lembaga induk yang diakui atau terakreditasi di
negaranya. Informasi yang beredar “lembaga induk” JIS ada di Amerika
Serikat. Dan itu diperkuat ketika Dubes
Amerika untuk Indonesia ikut memberi komentar tentang kasus JIS. Nah, karena JIS dari Amerika membuat
masyarakat yakin mutunya bagus dan membuat pemerintah juga yakin tidak perlu
melakukan pemantauan secara ketat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar