Tanggal 24 Nopember
2014 kami, rombongan Unesa ke ITB - Institut Technik und Bildung Universitat
Bremen (Institute Technology and Education - Bremen University). Sebenarnya saya sudah pernah ke ITB beberapa
tahun lalu, kalau tidak salah tahun 2008 atau 2009. Waktu itu saya datang ke ITB Bremen
University sebagai Direktur Ketenagaan Ditjen Dikti dan menyampaikan presentasi
tentang program-program Dikti.
Waktu itu saya
praktis tidak memiliki waktu cukup, baik untuk persiapan maupun melihat-lihat
di kota Bremen. Saya diberitahu kalau
harus ke Bremen pagi hari dan sorenya sudah harus berangkat. Dengan menumpang pesawat SQ saya tiba di
bandara Frankfrut pagi-pagi. Setelah
ganti baju dan mengenakan jas saya mencari minuman hangat dan mengerjar pesawat
lokal (seingat saya Lutfansa) untuk terbang ke Bremen. Saya ingat betul membeli minuman hangat
(kalau tidak salah capucino atau sejenis itu) dan harganya “selangit”. Minum capucino dan jalan cepat menuju gerbang
keberangkatan sambil menggerutu.
Sampai di bandara
Bremen cepat-cepat mencari taksi dan langsung ke ITB. Sampai di ITB, acara sudah mulai sehingga
saya termasuk terlambat datang. Untunglah giliran presentasi saya siang,
sehingga tidak mengganggu jadwal secara keseluruhan. Acara workshop selama dua hari, sehingga saya
menginap satu malam di hotel IBIS di dekat kampus. Pada hari kedua, pagi-pagi saya sudah check
out dari hotel dan selesai workshop saya langsung ke bandara untuk pulang ke
Indonesia. Jadi praktis saya tidak punya
waktu untuk melihat-lihat kampus maupun kota Bremen.
Yang saya ingat,
selama workshop tidak disediakan makan siang.
Jadi ketika waktu makan, semua peserta pergi ke kantin (seingat saya
namanya Menzana) untuk antre membeli makang siang bersama-sama dengan dosen dan
mahasiswa. Saya mengambil kentang dan
ayam yang porsinya besar sekali, sehingga saya hanya mampu menghabiskan
separuhnya.
Sekarang saya ke ITB
Bremen Univesity bersama rombongan Unesa dengan acara agak longgar. Acara pokoknya hanya penandatangan MoU antara
Dekan FT Unesa dengan Direktur ITB Bremen University, dilanjutkan dengan
diskusi penjajagan item-item yang dikerjasamakan. Dalam diskusi itulah kami mendapatkan
pelajaran yang sangat menarik. Memang
kondisinya berbeda, sehinga tidak begitu saja dapat ditiru. Namun sangat menarik untuk menjadi bahan
banding.
Kami datang di
gedung ITB pukul 08.45an, sedangkan menurut jadwal acara akan dimulai pukul
09.00. Jadi kami tidak terlambat dan
juga tidak terlalu awal datang.
Sebagaimana difahami, orang Jerman biasa tepat waktu. Kalau kita terlambat (seperti pengalaman saya
pada tahun 2009) dianggap tidak baik.
Tetapi kalau datang terlalu awal juga dianggap aneh, apakah kita tidak
punya kegiatan lain atau tidak dapat mengatur waktu jadwal kegiatan yang lebih efisien.
Ketika berhenti
menunggu tema-teman yang naik taksi berbeda, tiba-tiba muncul Prof. Georg Spottl,
mantan direktur ITB. Saya sudah lama
mengenal beliau dan menjelang berangkat ke Jerman, saya juga mengirim email
untuk “say hello”, sekaligus mengatakan kalau saya ingin mendiskusikan
sesuatu. Beliau merespons baik dan
mengatakan akan senang kalau nanti dapat berdiskusi. Oleh karena itu, saya senang sekali bertemu
pagi itu. Paling tidak beliau berada di
tempat sehingga dapat berdiskusi.
Setelah saling menyapa seperti kebiasaan orang barat, dia mengatakan
nati acaranya di latai 3 seperti biasanya.
Mungkin dia mengira saya masih ingat ruang yang dulu untuk diskusi. Pada hal jujur, saya sudah lupa.
Setelah rombongan
lengkap, Mas Bowo dosen muda Unesa yang sedang pelatihan di ITB, memandu kami
naik ke lantai dua dan masuk ke ruangan yang mirip ruang kuliah. Tepat pukul 09.00 Prof Michael Gessler,
direktur ITB yang menggantikan Prof Georg Spottl muncul dan beberapa saat
diikuti oleh Prof Spottl. Setelah
mengucapkan “good morning” dan “welcome to ITB”, dia mengatakan tempat
pertemuan di lantai 3. “Please follow me” dan kami mengikuti beliau berdua
menuju ruang diskusi di lantai 3.
Selama diskusi ya
hanya dua orang itu yang menemui kami.
Sepertinya tidak ada panitia atau apapun. Di luar ruangan disiapkan minuman dengan self service seperti biasanya di negara
barat. Di ruangan juga tidak ada
tulisan apapun. Prof Spottl menenteng
laptop, sedangkan Prof Gessler tidak membawa apa-apa. Kalau LCD memang sudah siap, karena itu
bagian perlengkapan ruangan yang memang terpasang secara permanen disitu
Walaupun acara
pokoknya penandatangan MoU, seperti tidak ada persiapan apa-apa. Tanpa mike, tanpa tulisan apapun di
ruangan. Acara dimulai oleh Prof Gessler
dengan menjelaskan apa itu ITB, kapan didirikan, apa misi khususnya, apa
prestasi yang dicapai dan berapa orang staf pendukungnya. ITB sebenarnya merupakan lembaga penelitian
di bidang TVET (Teachnical and Vocational Education and Training), tetapi juga
memiliki mahasiswa S1, S2 dan S3 untuk bidang Pendidikan Teknologi dan Kejuruan
(TVET).
Ada enam bidang
kajian di ITB, yaitu (1) technology and skill dependecy, (2) work organizaion
and curiculum development, (3) pedagogogic, teaching and learning, (4) transistion
from school to work, (5) vocation and skill formation, dan (6) industrial
culture and innovation. Di luar bidang
itu, ITB melaksanakan pendidikan guru TVET, baik untuk pra jabatan maupun dalam
jabatan. Juga melaksanakan pendidikan
jenjang bachelor, master maupun doktor.
Ada berberapa yang
menarik untuk jadi bahan pelajaran di ITB Bremen University. Pertama, semua serba sederhana, terawat
dan efisien. Acara sangat sederhana,
ruangan sederhana, peralatan sederhana tetapi terawat baik. Menerima rombongan
dari Indonesia sebanyak 12 orang dengan acara penandatangan MoU, tetapi tanpa
panitia, tanpa acara formal. Namu semua
terlaksana dengan rapi. Tanpa basa-basi,
tanpa protokol, tanpa spanduk, tanpa pengeras suara dan yang terlibat hanya 2
orang.
Kedua, staf
ITB berasal dari berbagai fakultas dan hanya yang tertarik dalam bidang TVET
saja. Sebagai contoh Prof Gessler berasal dari Faculty of
Education dan mendalami teaching-learning untuk TVET. Prof Spottl berasal dari Faculty of
Mechanical Engineering yang banyak mendalamani
kompetensi lulusan TVET. Dan
sebagainya. Jadi, yang menjadi
pertimbangan utama perekrutan atau lebih tepatnya tawaran untuk bergabung adalah
apakah punya minat melakukan penelitian/pengembangan dalam bidang TVET. Oleh karena itu sajar, kalau fokus kegiatan
staf di ITB adalah penelitian.
Ketiga, walaupun
menyelenggaran pendidikan S1, S2 dan S3 tetapi sebagian besar matakuliah “dititipkan”
di fakultas yang relevan. Hanya “matakuliah
khusus” yang tidak ada di fakultas lain, dilaksanakan di ITB. Misalnya matakuliah yang terkait bidang
teknologi murni dititipkan di fakultas teknologi yang relavan. Matakuliah bidang pendidikan yang bersifat
umum dititipkan di fakultas pendidikan.
Namun isi matakuliah tersebut sudah dirancang sesuai dengan kebutuhan calon
guru TVET.
Ke empat,
sesuai dengan pola dual education mahasiswa
calon guru TVET banyak melakukan kegiatan belajar di industri atau traning
center. Kesepahaman dalam pembagian
tugas membimbing mahasiswa ketika melakukan kegiatan di industri dan training
center, sepertinya tebangun bagus. Pihak
industri dan training center terlibat aktif dan bertanggung jawab penuh
terhadap kualitas proses belajar selama di tempatnya.
Kelima,
walaupun statusnya sebagai perguruan tinggi negeri (state university), namun
lebih dari separuh anggaran ITB diperoleh dari luar atau bukan dari
pemerintah. ITB banyak mendapatkan dana
dari program riset, pengembangan dan berbagai kegiatan lainnya. Mahasiswa ITB memang tidak banyak. Mahasiswa baru jenjang S1 maksimal 40 orang
dan mahasiswa S2 maksimal 20 orang per tahun.
Sedangkan mahasiswa S3 tidak menentu, karena ITB menerapkan research based
model untuk jenjang S3 sehingga tidak ada perkuliahan. Oleh karena itu mungkin biaya operasional
perkuliahan tidak banyak. Apalagi banyak
matakuliah yang dititipkan di fakultas lain.
Ke enam, dan
paling menarik, ITB itu setengah perguruan tinggi setengah industri. Banyak kegiatan di ITB yang sangat mirip
dengan industri. Dan bahkan di sayap
gedung sebelah dari gedung ITB diisi oleh staf yang bekerja dalam aktivitas
bisnis. Tentu bisnis yang terkait dengan
bidang peelitian dan pengembangan TVET dan teknologi.
Sudah waktunya PTN
di Indonesia, seperti Unesa mempertimbangkan pola kerja di ITB Bremen agar
lebih efisien, lebih mendekatkan dengan “pengguna lulusan” dan juga menyongsing
era keterbukaan. Pola kerja yang kental
dengan birokrasi yang selama ini berlangsung di PTN tampaknya sudah tidak cocok
dengan tantangan era keterbukaan. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar