Sebenarnya kami ke
Amsterdam hanya mampir, karena penerbangan langsung dari Bremen ke Jakarta
tidak ada. Pilihannya tansit di
Frankfrut atau Amsterdam. Tampaknya
teman-teman memilih di Amsterdam. Mungkin ingin melihat negara yang dulu
menjajah Indonesia selama 350 tahun.
Dari Bremen teman-teman juga memutuskan untuk naik kereta api, mungkin
agar dapat melihat pertanian dan peternakan di sepanjang perjalanan. Bagaimana negara Belanda yang wilayahnya
hanya “secuil” tetapi terkenal dengan kejunya yang sangat enak. Mungkin juga teman-teman ingin melihat
situasi Belanda yang wilayahnya kecil tapi dapat bertahan menjajah kita selama
350 tahun. Pak Pardji berkelakar ingin "mengencingi" negara yang dulu menjajah kita.
Saya sendiri sudah
beberapa kali ke Amsterdam, sehingga tidak begitu menarik lagi. Seingat saya, terakhir kali ke Belanda tahun
2013 bersama Prof Kisyani dan Prof Ketut Budayasa, untuk urusan dengan Utrecht
University dan Groningen University.
Waktu itu kami datang di musim dingin dan salju dimana-mana. Bahkan ketika naik kereta api dari Groningen
kembali ke Amsterdam dan berhenti di suatu stasiun (saya lupa namanya), Pak
Ketut dan Bu Kis sempat bermain salju ria dengan dipotret segala.
Karena hanya transit
dan menginap semalam, tampaknya teman-teman memilih hotel yang terletak di
lokasi wisata. Pilihan jatuh pada hotel
The Exchange di Damrak, sekitar 150 meter dari stasiun Amsterdam Central. Kami berjalan kaki dari stasiun sambil menarik
koper masing-masing. Seperti jalan di
kota-kota Eropa pada umumnya, jalan Damrak memiliki pedistrian yang sangat
lebar, melebihi lebar jalannya, sehingga kami dapat berjalan dengan nyaman
sambil melihat turis yang lalu lalang.
Begitu mulai berjalan
dan melihat gedung bernama Beurs van Berlage, saya ingat dahulu Pak Ketut
pernah membeli tiket tour di situ.
Berarti The Exchange hotel juga di sekitar itu. Rasanya tidak mungkin hotel kami cari
terletak di sisi gedung Beurs van Berlage, yang kalau toh ada hotel lain tentu
tarifnya sangat mahal. Jadi sangat
mungkin letaknya di sisi jalan yang lain, tempat pedistrian kami berjalan. Kami sudah hampir sampai ujung jalan, tetapi
tidak menemukan hotel The Exchange. Ya
terpaksa bertanya dan ternyata sudah lewat.
Jadinya kami berjalan balik.
Tepat di depan pintu
gerbang Beurs van Balage ada sebuah lorong selebar 1 meteran dan di pintunya
tertulis The Exchange Hotel dengan simbul bintang sebanyak 15. Kami ragu-ragu, dimana hotelnya. Ada diujung lorong? Apa iya hotel tempat kami akan menginap di
dalam lorong sekecil itu? Setelah
diamati tenyata di ujung lorong itu ada tulisan RESEPTIE. Dan itulah front office hotel yang kami cari. Tadi kami terlewat, karena di benak saya
pintu gerbang hotel ya paling tidak sekitar 4 meteran dan dari luar tampak ada
lobi dimana ada front office disitu.
Setelah masuk lorong
yang sulit untuk bersimpangan sambil membawa koper, berdiri di dekat front office saya baru “ngeh”. Tampaknya pemilik hotel sangat kreatif. Sebenarnya dia punya satu petak ruko. Namun justru ruko bagian depan digunakan
untuk restoran dengan nama Fresh Coffe and Breakfast. Baru sebagian dari ruko itu dibagian belakang
digunakan sebagai front office
hotel. Sedangkan pintu masukkan mengambil
sebagian ruko itu dan dipaskan ke tangga yang aslinya untuk naik ke lantai 2. Setelah naik, sayatahu kalau kamar-kamar hotel
melebar dan berada di atas toko/rumah makan yang lain. Sekali lagi, pemilik hotel tersebut cerdas
dan kreatif. Di lantai bawah yang mahal,
dia hanya mengambil satu budah ruko tetapi untuk lantai dua dan seterusnya
mengambil beberapa ruko. Tentu harganya lebih murah.
Untuk ke kamar kami
harus naik lif yang sangat kecil dan hanya cukup untuk 2 orang dengan
masing-masing membawa 1 koper. Saya naik
bersama dengan teman, saya lupa siapa dia.
Yang jelas, saya menunju lantai 1 dan beliau ke lantai 2. Setelah pintu ditutup manual, lift mulai
berjalan dan berhenti di lantai satu saya bingung. Pintu tidak membuka dan sejenak kemudian lift
berjalan ke lantai 2. Pintu juga tidak
membuka, saya mencari tombol membuka pintu tidak ada. Akhirnya lift berjalan turun kembali ke
lantai dasar.
Di lantai dasar saya
bertanya tombol membuka pintu. Dan
“ajaib” dijawab tidak ada dan kami harus membuka pintu dengan
mendorongnya. Pengalaman pertama yang
sangat menarik. Ketika lift kembali
berjalan naik dan berhenti di lantai 1, saya dorong pintunya dan terbuka. “Ya
berhasil, menggunakan lift dengan pintu terbuka secara manual”. Di Belanda yang katanya negara maju, ternyata
masih ada lift dengan pintu manual.
Keluar dari lift saya
mencari kamar 106 dimana saya akan menginap berdua dengan Prof Ismet
Basuki. Sampai kamar, ternyata Pak Ismet
sudah berada dan sedang makan nasi goreng yang dibawakan adiknya Bu Harti (Bu
Mislan). Saya mengamati kamar 106 yang
sangat terkesan. Seluruh dinding
ditutupi foam yang dibentuk seperti batuan pegunungan berwarna putih. Termasuk pintu juga dibuat seperti itu. Jadi kesannya seperti di dalam gua dengan
didingi gua berwarna putih.
Di dalam kamar saya
berpikir, apa hotel ini memenuhi syarat? Bagaimana seandainya ada kebakaran?
Bukankah setiap gedung bertingkat ada standar keamanan? Apalagi ini hotel yang jumlah orang yang
tinggal banyak dan yang belum familiar dengan situasi setempat? Apakah ketika minta ijin tidak dipersyaratkan
keamanan hotel?
Dalam rombongan ada
dua orang teman dari jurusan Sipil, yaitu Dr. Supardji dan Suprapto, MT. Namun keduanya juga tidak dapat memberi
jawaban yang tuntas. Keduanya juga
mempertanyakan masalah itu. Masih banyak
pertanyaan lain tentang hotel itu, khususnya tentang keamanan yang tidak
terjawab sampai kami pulang.
Kalau kondisi kamar
saya tidak begitu risau. Walaupun kecil
dan dekorasinya aneh bagi saya tidak ada masalah. Apalagi dalam brosur hotel tertulis slogan
“hotel with romm decorated as a model”.
Mungkin maksudnya, kamar hotel didekorasi seperti model di fashion show
yang bajunya aneh-aneh. Kamar mandi juga
standar, katakanlah standar minimal untuk orang barat. Dalam kamar juga ada telepon dan TV. Wifi juga bagus aksesnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar