Beberapa hari ini saya
melihat tayangan TV tentang anggota DPR berinisial DWP yang tertangkap tangan
menerima suap. Tampaknya ini menyusul
anggota DPR lainnya berinisial DYL yang juga ditangkap polisi karena kasus suap. Menurut berita, kasusnya hampir sama yaitu menerima
suap untuk memuluskan pengurusan anggaran suatu proyek.
Saya tidak punya
kapasitas untuk mendiskusikan substansi suap atau masalah hukum lainnya. Yang ingin saya bahas adalah perilaku mereka,
khususnya DWP yang ditayangkan oleh TV. Saya tidak ingat persis penampilan DYP,
mungkin saat itu saya tidak begitu perhatian.
Untuk DWP, kebetulan saat itu saya sedang menginap di hotel, sehingga
ketika ditayangkan di TV saya sempat memperhatian. Dengan mengenakan rompi oranye, rompi tahanan
KPK, DWP selalu menebar senyum di depan kamera dan bahkan sempat melambaikan
tangan. Dalam pandangan saya, tidak tampak sama sekali wajah sedih atau yang
sejenis itu.
Apakah penampilan DYL
dan orang-orang yang ditangkap KPK karena kasus korupsi seperti itu? Saya tidak ingat. Apakah memang dalam kehidupan sehari-hari DWP
selalu tersenyum, sehingga walaupun terkena kasus juga tetap tersenyum? Atau ketangkap KPK karena suap dianggap hal
yang “tidak memalukan” atau bahkan “membanggakan” karena dianggap punya
kewenangan?
Jujur saya kawatir
jika yang terakhir itu yang benar.
Mengapa? Karena, konon banyak
orang yang dihukum karena korupsi, saat sudah keluar menyalonkan diri menjadi
bupati. Artinya yang bersangkutan tidak
merasa malu karena korupsi. Yang
bersangkutan tetap percaya diri dan menganggap diri layak untuk menjadi
bupati. Bahan menurut berita, ada koruptor
yang saat keluar dari penjara dijemput oleh “pendukungnya” bak pahlawan.
Seingat saya sekitar
15 tahun lalu, ada pejabat di propinsi Jawa Timur yang diadili karena korupsi.
Ketika proses penyidikan berlangsung dan bahkan sampai proses pengadilan, keluarganya
sangat tertekan. Anaknya yang sekolah di
SMP dan SMA sampai tidak tahan dan konon pindah ke Bandung, daerah asal
orangtuanya. Menurut anak saya yang
kebetulan teman mereka, bercerita sejak Bapaknya terkena kasus korupsi
anak-anak itu menjadi pendiam dan sangat mudah tersinggung
Mengapa terjadi
perubahan yang demikian signifikan?
Itulah pertanyaan yang berkecamuk di benak saya. Mungkin teman dari psikologi atau sosiologi
yang dapat menjawab. Sebagai guru saya
hanya bisa bertanya dan menduga-duga.
Apakah sudah terjadi pergeseran nilai di masyarakat kita? Apakah masyarakat yang cenderung hedonistik
kemudian “menghalalkan” korupsi sebagai salah satu cara mendapatkan materi?
Saya kemudian
mengaitkan dengan apa yang terjadi di sekolah.
Saya pernah bertanya kepada para guru: “jika sedang mengadakan ulangan
umum dan kemudian terpaksa harus meninggalkan ruang kelas, berapa orang yang
menyontek?”. Pada umumnya para guru
menjawab “lebih dari 50%”. Sepertinya
menyontek sudah menjadi “hal biasa” dan tidak lagi dianggap aib. Konon anak
yang ketahuan menyontek juga tidak malu.
Apakah itu juga akibat pergeseran nilai-nilai seperti halnya pada kasus
korupsi?
Saya juga teringat
dengan kebiasaan sopir angkutan umum yang suka berhenti di lokasi yang ada tanda
larangan berhenti (huruf S yg disilang), namun karena itu sudah menjadi
kebiasaan, akhirnya masyarakat menganggapnya seperti hal yang biasa. Apakah korupsi dan nyontek juga seperti itu? Karena banyaknya orang korupsi dan anak
nyontek, akhirnya masyarakat menganggapnya hal biasa.
Tentu kita sepakat
bahwa korupsi, nyontek dan melanggar rambu lalu lintas merupakan perbuatan salah
dan harus dihindari dan dihilangkan.
Pertanyaannya, bagaimana caranya?
Semoga pembaca dapat memberikan usulan yang tepat.