Beberapa hari di
awal tahun 2016, Radio Suara Surabaya secara intens membahas kesiapan kita
menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).
Kesan saya, banyak penanggap yang meragukan kesiapan kita, khususnya
dari sisi SDM. Salah seorang penanggap
membahas lemahnya bahasa Inggris kita.
Penanggap mengatakan “kalau bahasa Inggris kita payah, jualan juga
sulit, negosiasi susah apalagi melamar kerja di perusahaan internasional”. Pada hal, saat MEA nanti arus modal akan
masuk deras ke Indonesia, sehingga jumlah perusahaan multinasional akan semakin
banyak. Dan tentu di perusahaan semacam
itu, bahasa Inggris sangat diperlukan.
Saya mendengarkan
“ocehan penting” itu sambil mengemudi, sehingga tidak dapat berpikir secara
baik. Sampai di kampus saya memikirkan
dan mencoba mengingat-ingat apakah apa yang disampaikan penanggap itu
betul. Kalau kita baca iklan di koran,
sangat banyak lowongan yang mensyaratkan bahasa Inggris. Kalau kita baca
formulir bank, hampir semua menggunakan dua bahasa. Konon, mengapa perawat kita tidak mampu
menembus lapangan kerja di Timur Tengah bukan karena skill keperawatan tetapi
karena bahasa Inggris kita yang lemah.
Akhirnya rumah sakita di Timur Tengah lebih senang menerima perawat dari
Phillipines.
Merenungkan itu,
saya jadi teringat RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) yang pernah
dikembangkan oleh pemerintah tetapi harus bubar karena pasal dalam UU Sisdiknas
yang dijadikan landasan dicabut oleh MK (Mahkamah Konstitusi). Saya dengan ada dua alasan mengapa dicabut, karena:
(1) RSBI mahal, sehingga meresahkan masyarakat, (2) RSBI menerapkan bahasa
Inggris sehingga ditakutkan mengerus rasa nasionalisme, dan (3) RSBI
mendiskriminasi anak kaya dan anak miskin, anak pandai dan anak kurang
pandai. Saya sendiri tidak tahu pasti
betul tidaknya alasan itu. Namun rasanya
perlu didiskusikan, agar lebih jelas dan mudah difahami.
Saya setuju kalau
RSBI mahal, karena setahu saya siswa yang masuk Kelas RSBI dibebani iuran
tambahan. Namun menurut saya itu kan
praksis dan bukan konsep. Untuk sekolah
negeri, pemerintah tentu dapat mengatur agar itu tidak terjadi, misalnya dengan
memberikan dukungan khusus bagi kelas RSBI.
Toh selama ini pemerintah juga memberikan dukungan untuk lomba-lomba
olimpiade yang dinikmati beberapa orang saja.
Sebenarnya kalau
kita jujur, ada atau tidaknya RSBI sekolah seperti itu sudah ada dan sampai
sekarang tetap berjalan. Namanya
macam-macam, misalnya “sekolah internasional”, “sekolah dengan kurikulum IB”
dan sebagainya. Pada umumnya sekolah
seperti itu sekolah swasta dengan biaya mahal, sehingga yang masuk hanya
anak-anak keluarga kaya. Seandainya RSBI
tetap ada dan pemerintah dapat mengatur agar tidak mahal, maka anak-anak pandai
dari keluarga tidak kaya dapat menikmati sekolah seperti itu.
Apakah penggunaan
bahasa Inggris untuk matapelajaran Matematika dan IPA akan menggerus rasa
nasionalisme dan rasa cinta kepada bahasa Indonesia, saya tidak tahu. Saya tidak punya kompetensi untuk menjawab
itu. Saya tidak tahu apakah Pak BJ Habibie yang lama sekolah dan bekerja di
Jerman rasa nasionalisme rendah. Apak Pak Dino Patti Jalal, mantan Wakil Menlu
di era Pak SBY yang sejak SMA sampai dapat doktor di Amerika Serikat, rasa
nasionalismenya rendah. Apakah Pak Ilham
anak Pak Habibie yang sejak SD sampai menjadi doktor di Jerman, rasa nasionalismenya
rendah. Apakah Asrul Ananda, anak Pak
Dahlan Iskan yang sejak SMA sampai lulus S1 di Amerika Serikat, rasa
nasionalismenya rendah. Apakah anak para
dosen yang menempuh SD, SMP, SMA di luar negeri karena ikut orangtuanya kuliah
S2/S3 nanti rasa nasionalismenya rendah.
Tampaknya perlu ahli
yang menjelaskan itu. Apalagi Pak Dahlan Iskan memperkenalkan istilah baru
“nasmod” (nasionalisme modern). Menurut
Pak Dahlan, rasa nasionalisme tidak perlu dikaitkan dengan tempat tinggal dan
tempat bekerja, tetapi kontribusi kepada negara. Orang yang tinggal dan bekerja di negara lain
tetapi memiliki kontribusi terhadap perkembangan negara Indonesia,berarti punya
rasa nasionalisme bagus. Pak Dahlan
mencontohkan para ahli yang saat ini bekerja di negara maju, tetapi menularkan
pengalamannya kepada generasi muda kita.
Apakah RSBI tidak
membuat diskriminasi anak kaya dan miskin serta anak pandai dan kurang
pandai? Jika RSBI bisa diatur agar
tidak mahal, maka diskriminasi kaya-miskin dapat dihilangkan. Malah jika tidak ada sekolah negeri RSBI,
diskriminasi terjadi karena hanya anak orang kaya yang dapat mengenyam sekolah
seperti itu karena sekolah swasta dengan bayaran mahal seperti yang terjadi
saat ini.
Apakah tidak membuat
diskriminasi antara anak pandai yang masuk kelas RSBI dan anak kurang pandai
yang masuk kelas biasa? Sebenarnya
pemilahan itu secara alami sudah terjadi.
Toh saat pendaftaran SMP dan SMK juga terjadi seleksi. Malah di Jerman dan beberapa negara lain
hanya anak-anak pandai yang boleh masuk SMA, sedangkan yang kurang pandai masuk
ke “SMK”. Dan hanya lulusan SMA yang
boleh ke universitas, sedangkan lulusan “SMK” ke politeknik.
Ya sudahlah, toh
RSBI sudah almarhum. Kalau memang bahasa
Inggris dianggap penting untuk bekal memasuki era MEA dan era global, mari
dicari cara untuk meningkatkan kemampuan anak-anak kita dalam berbahasa
Inggris. Toh Malaysia dan Phillipines
tidak menyebut sekolahnya dengan RSBI ketika menerakan billingual untuk
Matematika dan Sains sejak kelas 4 SD.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar