Jawa Pos tanggal 3 dan 4 Januari 2016 memuat berita kalau
Surabaya dan Jawa Timur defisit guru, karena banyaknya guru yang pensiun. Kejadian itu tidak hanya di Jawa Timur tetapi
di seluruh Indonesia, karena datangnya gelombang pensiun guru SD yang diangkat akhir
tahun 1970an ketika pendirian SD Inpres secara besar-besaran. Seingat saya, tahun 2006 data itu sudah
diungkap oleh Dirjen PMPTK Fasli Jalal berdasar hasil studi Bank Dunia. Sayangnya antisipasi terhadap itu tidak
dilakukan, sehingga saat ini banyak SD yang kekurangan guru.
Kejadian serius itu tidak akan terjadi kalau kita tidak
melupakan pasal penting dalam Undang-undang Guru dan Dosen (UUGD). UUGD diundangkan tanggal 30 Desember 2005,
sehingga 30 Desember 2015 sudah berumur 10 tahun. Namun demikian pasal sangat penting, terkait
dengan jaminan pemenuhan kebutuhan guru sepertinya tidak mendapat perhatian. Saya dapat mengatakan demikan, karena ketika
pasal itu saya sampaikan kepada beberapa pejabat yang menangani pendidikan, hampir
semua belum membaca. Agak aneh UUGD
sudah berusia 10 tahun tetapi ada pejabat yang terkait belum membaca. Semoga
itu bukan berarti mereka tidak punya perhatian atau bahkan melempar tanggung
jawab.
Pasal yang dimaksud adalah pasal 24 yang secara lengkap
berbunyi: (1) Pemerintah wajib memenuhi kebutuhan guru, baik dalam jumlah,
kualifikasi akademik, maupun dalam kompetensi secara merata untuk menjamin
keberlangsungan satuan pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal serta
untuk menjamin keberlangsungan pendidikan dasar dan menengah yang
diselenggarakan oleh Pemerintah; (2) Pemerintah provinsi wajib memenuhi
kebutuhan guru, baik dalam jumlah, kualifikasi akademik, maupun dalam
kompetensi secara merata untuk menjamin keberlangsungan pendidikan menengah dan
pendidikan khusus sesuai dengan kewenangan; (3) Pemerintah kabupaten/kota wajib
memenuhi kebutuhan guru, baik dalam jumlah, kualifikasi akademik, maupun dalam
kompetensi secara merata untuk menjamin keberlangsungan pendidikan dasar dan
pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal sesuai dengan kewenangan; (4)
Penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan anak usia dini jalur pendidikan
formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah yang diselenggarakan oleh
masyarakat wajib memenuhi kebutuhan guru-tetap, baik dalam jumlah, kualifikasi
akademik, maupun kompetensinya untuk menjamin keberlangsungan pendidikan.
Menurut seorang kawan yang dahulu ikut menyusun UUGD, pasal
tersebut sengaja membagi kuwajiban untuk memenuhi kebutuhan guru. Ayat (1) mengamanatkan agar pemerintah pusat,
dalam hal ini Kementerian Agama untuk memenuhi kebutuhan guru di madrasah
negeri, karena madrasah tidak termasuk urusan yang didesentralisasikan. Ayat (2) mengamanatkan agar pemerintah
propinsi memenuhi kebutuhan guru SMA/SMK/SLB negeri. Ayat (3) mengamanatkan agar pemerintah
kabupaten/kota memenuhi kebutuhan guru TK/SD/SMP negeri. Ayat (4) mengamatkan agar yayasan
penyelenggaran pendidikan memenuhi kebutuhan guru di
TK/RA/SD/MI/SMP/MTs/SMA/SMK/MA yang dikelolanya.
Menurut saya pembagian kuwajiban pada pasal 24 tersebut
sangat rasional, karena memang itulah tanggung jawabnya. Dengan begitu jika ada madrasah negeri yang
kekurangan guru, Kementerian Agama yang harus bertanggung jawab. Jika ada
TK/SD/SMP negeri yang kekurangan guru pemerintah kabupaten/kota yang harus
bertanggung jawab dan seterusnya.
Perancang pasal itu sangat jeli, karena ayat (4) secara
jelas menyebut untuk sekolah swasta yang yang harus disediakan oleh yayasan
adalah guru tetap dan bukan guru honorer, karena berdasarkan pengalaman banyak
yayasan yang lebih senang mengangkat guru honorer dibanding guru tetap, dengan
alasan agar tidak terlalu membebani keuangan yayasan. Pada hal kita tahu guru honorer hanya datang
saat mengajar, sehingga tidak dapat membina kegiatan sekolah lainnya.
Jaminan akan adanya guru seperti diamanatkan pasal 24
tersebut sangat penting, karena berbagai studi membuktikan bahwa kontribusi
guru terhadap hasil belajar siswa melebihi 50%.
Studi John Hattie (2008) di New Zeland menyimpulkan 58% hasil belajar
siswa tergantung pada gurunya. Studi serupa
di Amerika menunjukkan pengaruh tersebut sebesar 53% (Mourshed and Barber,
2010), sedangkan di Indonesia pengaruh itu sebesar 54,5% (Pujiastuti, Widodo
dan Raharjo,2012). Bersadarkan tiga studi tersebut, jika semua sekolah memiliki
guru dalam jumlah cukup dengan mutu yang bagus, maka peluang siswa untuk
mendapatkan nilai bagus lebih 50%.
Dengan pikiran terbalik kita dapat mengatakan jika sekolah
tidak memiliki guru yang cukup dengan mutu yang baik, maka peluang hasil
belajar siswa jelek juga lebih 50%. Dan
itulah yang tampaknya kita hadapi saat ini.
Apalagi jika defisit guru tidak segera kita atasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar