Pernahkan Anda
berkunjung ke perguruan tinggi seni, misalnya Sekolah Tinggi Seni atau Akademi
Seni atau Institut Seni? Atau Jurusan
atau Program Studi Seni di Universitas tertentu, misalnya Senirupa ITB atau
bahkan yang berbau pendidikan seperti program studi Seni di Unesa? Jika pernah, apa perbedaan dengan perguruan
tinggi lain atau dengan program studi lain di ITB dan di Unesa?
Pengalaman saya, yang
segera membedakan adalah gaya mereka dalam berpakaian atau katakanlah
berpenampilan. Mungkin saya yang tidak
faham tentang seni dan tidak terbiasa dengan situasi itu, sehingga segera
merasakan. Biasanya mahasiswa (atau ada
dosennya) yang menurut saya berpenampilan nyentrik. Banyak diantara mereka yang berambut panjang
dengan berbagai model, celama jean belel, seringkali berkaos yang juga belel,
bersandal dan sebagainya.
Apakah itu aneh? Bagi seniman ( dan mahasiswa seni),
teman-teman yang sudah terbiasa bergaul dengan mereka tentu tidak aneh. Aneh hanya bagi mereka yang belum faham,
seperti saya. Apakah itu salah? Menurut
saya tidak, wong berpakaian itu hak masing-masing. Apakah seniman (mahasiswa seni) harus
berpenampilan begitu? Saya tidak
faham. Saya pernah menanyakan hal itu
kepada Pak Budi Darma (budayawan dan mantan Rektor Unesa) juga tidak mendapatkan
jawaban yang jelas. Kesan saya beliau
menyerahkan kepada masing-masing.
Pada tulisan pendek
ini saya tidak ingin mendiskusikan itu.
Tetapi justru apa yang saya dengarkan dalam diskusi tentang hubungan
kreativitas dan kebebasan. Diskusi itu
diawali dengan keinginan untuk menemukan bagaimana model pembelajaran yang
mampu mengembangkan kreativitas.
Keinginan itu dipicu oleh hasil studi yang mengatakan bahwa kreativitas
merupakan salah satu kemampuan yang sangat penting di abad 21. Nah, konon
seniman adalah profesi yang menuntut kreativitas tinggi. Mungkinkah ada kaitan cara berpenampilan
dengan kreativitas?
Beberapa literatur
menyebut kreativitas mencakup empat dimensi yaitu fluency, flexibility,
originality dan elaboration. Dari ke
empat itu aspek yang paling sulit
dikembangkan adalah oroginaliy. Saya
tidak tahu pasti penyebabnya. Namun seorang teman mengatakan hal itu terkait
dengan kehidupan kita yang penuh dengan aturan dan kurang memberi kebebasan
untuk berpikir beda. Aturan-aturan yang
ketat konon menyebabkan kreativitas sulit berkembang. Teman tadi mengatakan,
kreativitas khususnya aspek orisinalitas memerlukan ruang kebebasan yang cukup.
Apakah kebebasan itu
yang diterapkan di perguruan tinggi seni, sehingga cara berpakaian mahasiswa
yang khas? Apakah kebebasan itu memang
sengaja dirancang agar kreativitas mahasiswa seni tumbuh baik? Apakah mahasiswa jurusan lain yang juga
memerlukan kreativitas tinggi, misalnya desain produk, multimedia dan sebagainya
tidak memerlukan kebebasan seperti mahasiswa seni? Jujur saya tidak tahu jawabnya.
Merenungkan itu, saya
jadi teringat dua pertanyaan. Pertama, pertanyaan mengapa banyak
pedagang hebat tidak berlatar belakang sarjana ekonomi, penulis novel handal tidak
berlatar belakang sarjana sastra, banyak guru yang hebat bukan lulusan
LPTK. Seorang teman mengatakan,
jangan-jangan perkuliahan S1 Ekonomi, S1 Sastra, S1 LPTK terlalu banyak aturan,
sehingga mahasiswa terbelenggu aturan dan tidak tumbuh kreativitasnya. Apa itu betul? Saya tidak tahu, mungkin pembaca yang dapat
menjawabnya.
Kedua, apakah kebebasan harus diberikan tanpa batas? Jika harus ada, apa pembatasnya? Menurut
saya, tidak ada kebebasan tanpa batas, karena kita hidup bermasyarakat. Kebebasan kita dibatasi oleh kebebesan orang
lain. Artinya, jangan sampai kebebasan
kita menabrak kebebasan orang lain.
Misalnya, kita bebas merokok, tetapi jangan sampai hal itu mengganggu
orang lain yang juga punya kebebasan tidak ditanggu oleh asap rokok. Jadi etika merupakan pembatas kebebasan
kita. Kita bebas melakukan apapun tetapi
janga sampai melanggar etika yang berlaku di masyarakat dimana kita berada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar