Tanggal 10 Februari
2016 saya terlibat diskusi untuk menyemurnaan PPL (Praktek Pengalaman Lapangan)
mahasiswa calon guru di LPTK. Saat itu
Bu Dian, dosen UIN Sunan Gunung Jati, mempresentasikan hasil kunjungannya
selama 2 bulan ke Michigan State University (MSU). Beliau menyampaikan PPL di
MSU 25 tahun lalu yang katanya mirip dengan apa yang kita lakukan saat
ini. Setelah itu belia menyampaikan
seperti apa model PPL yang dilaksanakan di MSU saat ini.
Setelah itu giliran Bu
Nensi dari Universitas Negeri Makasar (UNM) mempresentasikan hasil kerja
timnya. Selama Bu Nensi bersama timnya menyusun
model PPL yang diharapkan dilaksanakan di PPG.
Di awal presentasi Bu Nensi mengatakan apa yang disampaikan oleh Bu Dian
hampir persis dengan apa yang dirancang timnya.
Jadi apa yang dikerjakan di MSU persis dengan apa yang dirancang timnya
Bu Nensi. Mendengar itu, beberapa teman
menanggapi jangan-jangan MSU meniru timnya Bu Nensi.
Semula saya agak
ragu. Namun setelah Bu Nensi selesai
presentasi dan saya bandingkan dengan presentasi Bu Dian, ternyata apa yang
dikatakan Bu Nensi bahwa keduanya hampir sama memang benar. Saya ingin
mengatakan lebih 90% apa yang dilaksanakan di MSU sama dengan apa yang
dirancang oleh timnya Bu Nensi. Memang
ada perbedaan, tetapi ternyata itu lebih pada istilah yang digunakan dan
situasi sekolah yang berbeda.
Kalau begitu mengapa
PPL kita sering dikatakan tidak bagus?
Ternyata lebih pada implementasinya.
Panduan PPG ternyata sudah cukup rinci dan baik. Namun belum diimplementasikan secara sungguh-sungguh. Beberapa teman mengatakan, sebenarnya kita
sudah tahu teorinya dan bahkan sudah “nglontok”. Hanya saja kita kedodoran atau
mungkin tidak serius dalam melaksanakan.
Saya jadi teringat
diskusi saya dengan dokter Tommy, dokter bedah digestif, yang melakukan operasi
batu empedu Lala, anaka bontot saya.
Ketika operasi Lala dipasangi slang berbentuk T untuk membuang cairan
empedu, sementara saluran aslinya belum sembuh.
Nah, ketika itu saya baca pada slang plastik itu tertulis “made in
Germany”. Saya bertanya kepada dokter
Tommy, apakah Indonesia tidak bisa membuat itu, kok harus impor dari
Jerman. Saya juga menceritakan hal itu
dengan Pak Nuh yang profesor Elektromedik lulusan Perancis.
Jawaban dokter Tommy
dan Pak Nuh kurang lebih sama. Secara
teori dan bahkan pada tahap eksperimen sebenarnya teman-teman dari ITS dan
perguruan lain bisa membuat barang-barang seperti itu. Masalahnya kita kurang sungguh-sungguh ketika
mengerjakan, sehingga tidak memenuhi aspek presisi, hygiene dan sebagainya.
Mendapatkan jawaban
itu, saya teringat kejadian sekian tahun lalu.
Saat itu saya mendapat penjelasan seorang teman yang menjadi bos
perusahaan konsultan. Perusahaan itu memperkerjaan
beberapa arsitek dari Phillipines. Ketika saya tanya, apakah mereka lebih
pandai arsitek dari Indonesia? Beliau menjawab,
sebenarnya arsitek Indonesia tidak kalah pandai, tetapi sayangnya dalam bekerja
kurang serius. Akibatnya produktivitas
kerja arsitek Indonesia lebih rendah dibanding rekannya dari Phillipines.
Apakah itu gejala umum
atau hanya arsitek di Surabaya dan dosen LPTK?
Saya tidak tahu. Konon orang
Indonesia itu juga termasuk tenaga kerja yang rajin ketika bekerja di negara
lain. Konon perkebunan di New Zeland
senang sekali dengan orang Indonesia yang bekerja sebagai pemetik anggur,
karena dikenal rajin dan jujur.
1 komentar:
Bukan hanya dari Indoensia (dalam negeri) ke luar negeri yg bikin orang kerja keras kayaknya Pak Profesor. Tapi juga sepengamatan saya, jika org bekerja (PNS) di daerah lain (provinsi lain)akan menjadi pekerja rajin. Misal : Guru/PNS dari Jawa Barat (Bandung)yg bertugas di Banten, akan lebih rajin dan berprestasi. Begitu orang dari Jawa yang bekerja di Banten/Bandung, akan lebih rajin dari pribumi. Jadi sepertinya mereka membawa misi "jangan memalukan nama baik daerah asal". Wallahu a'lam.
Posting Komentar