Pagi kemarin, Jum’at tanggl 22 Juli 2016 saya kaget
membaca WA, karena ada info Bu Fasich wafat.
Bukan kaget beliu wafat, karena memang sudah sejak Maret lalu beliau
koma. Bahkan waktu besuk terakhir saya ketemu
seorang kolega dari Unair yang faham tentang kesehatan dan mengatakan kalau
tipis harapan untuk siuman. Kaget karena
baru saja saya ketemu Prof Zaidun, mantan Dekan Fakultas Hukum bersama ibu dan
mendiskusikan tentang sakitnya Bu Fasich dan Pak Fasich. Saat itu, dalam hati saya ingin
membesuk. Belum sempat membesuk beliau
wafat.
Begitu dapat berita itu, saya segera mendikusikan
dengan isteri dan mengajaknya takziah.
Ternyata, tidak ada yang jaga rumah sehingga saya harus takziah
sendiri. Segera saya mandi, berganti
baju koko dan berangkat ke RS Unair karena menurut informasi jenazah
disemayamkan di audotorium RS Unair menunggu disholatkan di masjid Nurul Azmi
Unair sehabis sholat Jum’at.
Sampai di RS Unair, naik ke lantai 8, saya sungguh
tertegun. Bukan karena yang datang sudah
banyak, tetapi karena Mas Fasich, begitu biasa saya memanggil, berbaring di
kursi panjang dan menggunakan oksigin yang selangnya ditempelkan di lubang
hidung. Ditunggui dua puteranya yang
memijit-mijit kakinya. Ketika saya
mendekat, mencium pipi beliau yang basah air mata tangan saya ditarik. Dengan suara pelan beliau berbisik kira-kira:
“dosaku akeh kok cobaanku koyo ngene. Aku ojo dtinggal yo. Sedurune terus yo”. Mendengar itu, mulut saya cerkekat dan tidak
mampu membendung air mata. Saya hanya
dapat berkata “sabar ya mas”.
Lama saya jongkok dan mendekatkan kepala saya ke Mas
Fasich untuk berusaha sedapat mungkin beliau tenang. Saya baru berdiri ketika menyadari banyak
pentakziah yang antre untuk bersalaman.
Lama saya duduk dikursi di samping beliau berbaring, berbagi kursi
dengan Pak Jazidie. Memandangi raut muka
Mas Fasich yang kurus dan berlinang air mata, saya ikut bersedih. Sungguh bersedih.
Ketika memandang berkeliling saya melihat banya kawan
yang takziah. Tentu yang banyak teman
dari Unair, tetapi saya juga melihat teman lain, misalnya Pak Abdulkadir Baraja
dari Al Hikmah, ustad Taufik AB dari Nara Qualitas, Pak Supari dari Unesa dan
masih banyak yang lain. Saat sholat
jenazah dimulai audotorium sangat penuh.
Bahkan ada sholat gelombang kedua karena ada yang datang setelah sholat
selesai.
Karena ada janji dengan mahasiswa S2 untuk konsultasi
tesis, saya segera pulang setelah selesai sholat jenazah. Sambil menyopir saya mencoba mengingat-ingat
figur Bu Fasich. Orangnya sangat-sangat
sederhana, mungkin isteri rektor yang paling sederhana yang pernah saya
kenal. Isteri saya pernah bercerita
belanja kerudung ke pasar Tanah Abang bersama Bu Fasich. Katanya, Bu Fasich memberi kerudung sangat
sederhana, sangat murah, yang mungkin penjualnya tidak percaya kalau yang
membeli itu rektor Unair. Kalau toh
tahu, mungkin dikira Bu Fasich membeli untuk orang lain. Namun yang dibeli itu setipe dengan yang saat
itu dipakai.
Saya juga teringat ketika kami sama-sama punya cara di
Hotel Atlet Senayang. Waktu itu beliau
keluar restoran sehabis sarapan dan saya baru mau sarapan. Seperti biasa kami berhenti dan salaman. Pak
Fasich berbisik: “bojoku iku tekenku”.
Mungkin beliau ingin menjelaskan mengapa ketika berjalan beliau
berpegangan pundah Bu Fasich. Tentu saya
hanya menjawab “nggih mas”, karena sudah tahu maksudnya.
Sambil pulang terpikir ingin memberi kabar kepada
teman lain yang mungkin belum tahu kalau Bu Fasich wafat. Oleh karena itu, saya sms ke Radio Suara
Surabaya tentang wafatnya Bu Fasich dengan permintaan itu diumumkan. Saya
menduga masih banyak teman yang belum dapat kabar. Waktu di RS Unair saya mengirim sms ke Pak
Imam Suprayoga, mantan rektor UIN Malang dengan maksud dapat menyebarluarkan
berita itu ke rekan-rekan di Malang. Namun belum mendapat respons. Saya juga belum melihat teman-teman Sidoarjo
dan Gresik.
Ketika
pulang dan sampai rumah, saya menceritakan semua itu kepada isteri. Kami berdua mengenang Bu Fasich dengan segala
kesederhanannya. Kami juga mengingat apa
yang kami lihat ketika beliau terbaring koma di rumah sakit. Allahumma firlaha warhamha wa afii wa'fuanha, semoga
beliau khusnul khatimah.