Idul Fitri tahun ini
sangat istimewa bagi keluarga saya, karena semua anak sudah pada menikah dan
ada cucu yang baru berusia 15 bulan. Kiki, anak sulung yang tinggal di Edinbrugh
tidak dapat pulang, karena baru pulang awal tahun ini. Reza, anak nomer dua, ingin sholat Idul Fitri
di Malang, sehingga sehari sebelum lebaran sudah meluncur ke rumah mertuanya di
daerah Kemirahan Blimbing Malang. Lala,
anak bontot yang tinggal di Jakarta sudah mudik ke rumah kami sejak Sabtu
bersama Bim, suaminya dan anaknya Freya yang berusia 15 bulan. Jadinya rumah terasa lebih semarak. Apalagi Freya yang mulai berceloteh memanggih
anggota keluarga dengan panggilan lucu karena baru mulai belajar bicara.
Pengalaman macet di
perjalanan membuat keluarga saya dan keluarga adik bungsu yang tinggal di
Malang sepakat menunda mudik ke Ponorogo sampai arus mudik menyusut. Menterengnya, ingin mengurangi kemacetan atau
sebenarnya “takut” terkena macet karena membawa anak yang masih kecil. Keponakan, anak adik yang sulung juga masi
sulit mencari hari kosong, karena baru lulus S1 Kedokteran dan mulai pendidikan
profesi di RSU Saiful Anwar. Sebenarnya
Camel, isteri Reza ingin mudik ke Ponorogo, karena semenjak menikah September
tahun lalu pernah ke Ponorogo. Apalagi
saya sering mengatakan “kamu harus ke Ponorogo to see my root”.
Akhirnya kami memutuskan
akan berlebaran di rumah ibu mertua di Malang.
Kebetulan Bulik yang dulu saya tumpangi (bahasa Jawanya saya dereki)
saat kuliah sekarang juga tinggal di Malang, sehingga kami juga akan
silaturahim ke beliau. Biasanya di rumah
ibu mertua dan di rumah Bulik banya keluarga yang datang, sehingga dapat
bertemu dengan saudara-saudara yang lain.
Rumah Bulik di Arjosari Malang memang selalu menjadi jujukan silaturahmi
Idul Fitri, karena beliau satu-satunya generasi beliau yang tertua dan tinggal
di Surabaya, Malang dan sekitarnya.
Kami berangkat agak
siang, karena nunggu cucu “pupy” dulu.
Lala khawatir kalau Freya sulit pupy di Malang. Akhirnya kami baru berangkat jam 10an, dengan
Bim yang menyopir dan saya duduk di sampingnya.
Di kursi belakang Lala dan ibunya anak-anak, sedangkan Freya di car
seat. Seperti biasanya Freya tenang di
car seat sambil mainan. Sepertinya Freya
gembira karena nyanyi-nyanyi sambil jalan dan akirnya tertidur.
Sampai menjelang
pertigaan Purwosari perjalanan lancar, namun mulai merayap sejak pertigaan arah
ke Pasuruan sampai di Karanglo.
Tampaknya hanya karena volume kendaraan saja, karena sampai di Malang tidak
ada kejadian yang menonjol. Satu-satunya
yang khusus adalah mobil carry yang ngadat pas naik flyover Lawang. Tampaknya terlalu
berat muatan dan panas. Untungnya pengemudinya
masih muda dan cekatan, sehingga tidak sampai menggaggu lalu lintas.
Ketika sampai di rumah
ibu, pas TV menyiarkan panggung Bimbo dengan lagu-lagu religinya. Namun yang justru menarik perhatian saya adalah
wawancara dengan Taufik Ismail yang ternyata penulis syair lagu Sajadah Panjang
dan Rindu Rasul. Bahwa Taufik Ismail
adalah penyair, walaupun pendidikan formalnya konon dokter hewan, tentu orang
sudah faham. Beberapa bulan lalu, beliau
juga diwawancarai TV sebagai penulis lagu Panggung Kehidupan yang dinyanyikan
oleh Ahmad Albar. Tetapi hari Idul Fitri
itu saya benar-benar tercenung mendengar uraian beliau tentang makna Sajadah
Panjang dan Rindu Rasul. Sajadah yang dimaksud
ternyata bukanlah sekedar sajadah untuk sholat, tetapi sajadah kehidupan. Mungkin, sekali lagi mungkin Pak Taufik mengaitkan
ayat yang sering diterjenagkan “Tiada Aku ciptakan jin dan manusia kecuali
untuk beribadah.........”. Nah, karena kehidupan pada hakekatnya ibadah maka
memerlukan sajadah yang panjang, yaitu pekerjaan, kemasyarakatan dan segala
aktivitas yang semuanya diniati sebagai ibadah.
Selesai tayangan TV
saya agak lama merenungkan Bimbo dan Taufik Ismail, khususnya setelah Sang
Penyair menjelaskan makna kedua lagu itu.
Bahwa menuliskannya sulit karena melodi lagu sudah jadi, sehingga
panjang pendeknya kata harus pas, saya dapat memahami. Namun bagaimana Taufik Ismail dapat merangkai
kata-kata yag sarat makna “dakwah” saya sunggugh sangat kagum. Bahwa puisi dan lagu adalah bahasa universal
sudah sering saya dengar. Bahwa puisi
dan lagu adalah media ungkapan hati yang terdalam juga pernah saya dengar. Namun sekali lagi, menurut saya dua lagu itu
bentuk dakwah dengan bahasa universal.
Apapun agama seseorang, rasanya dapat menerima dakwahnya. Itu terbukti ada orang Amerika yang ditanya oleh
Najwa, sang host, dan menyatakan senang dengan lagu-lagu itu.
Apakah Bimbo dan
Taufik Ismail dapat disebut da’i, karena dalam lagu-lagu yang dibawakan berisi
dakwah? Saya merasa tidak memiliki
kapasitas untuk menjawab. Namun saya
teringat oleh ungkapan da’i muda dalam acara Pelita Hati yang dipandu oleh Mas
Pri GS. Da’i itu mengatakan bahwa dakwah
itu merangkul dan bukan memukul, dakwah itu mengajak dan bukan menyepak. Apakah syair Taufik Ismail dan lagu-lagu
Bimbo itu tidak tergolong ajakan dan rangkulan?
Di hari Idul Fitri itu
saya meralat simpulan saya sendiri tentang lagu-lagu saat ini. Sebelumnya saya sering berkeluh kesah dengan
isteri, mengapa lagu-lagu sekarang tidak memiliki makna dalam seperti lagu
dahulu. Lagu-lagu sekarang sekedar
rangkaian kata-kata keseharian yang seringali kering. Itulah sebabnya saya lebih senang
mendengarkan musik instrumentalia yang tanpa syair. Dengan begitu saya dapat fokus menikmati
melogi lagunya dan tidak terganggu oleh syair yang seringkali tanpa makna.
Tembang zaman dahulu,
walaupun jenis tembangnya terbatas, tetapi syairnya syarat makna. Bahkan banyak falsafah kehidupan yang
diungkapkan dalam bentyk tembang. Yang paling populer di Jawa Timur adalah
temang Ilir-ilir. Ingat saya serat Centini juga diwujudkan dalam bentuk
tembang. Nah, simpulan saya bahwa lagu
sekarang tanpa makna menjadi tidak tepat ketika menyadari makna lagu-lagu
Bimbo, khususnya yang ditulis oleh Taufik Ismail.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar