Sabtu, 23 Juli 2016

BU FASICH - SEMOGA KHUSNUL KHOTIMAH



Pagi kemarin, Jum’at tanggl 22 Juli 2016 saya kaget membaca WA, karena ada info Bu Fasich wafat.  Bukan kaget beliu wafat, karena memang sudah sejak Maret lalu beliau koma. Bahkan  waktu besuk terakhir saya ketemu seorang kolega dari Unair yang faham tentang kesehatan dan mengatakan kalau tipis harapan untuk siuman.  Kaget karena baru saja saya ketemu Prof Zaidun, mantan Dekan Fakultas Hukum bersama ibu dan mendiskusikan tentang sakitnya Bu Fasich dan Pak Fasich.  Saat itu, dalam hati saya ingin membesuk.  Belum sempat membesuk beliau wafat.
Begitu dapat berita itu, saya segera mendikusikan dengan isteri dan mengajaknya takziah.  Ternyata, tidak ada yang jaga rumah sehingga saya harus takziah sendiri.  Segera saya mandi, berganti baju koko dan berangkat ke RS Unair karena menurut informasi jenazah disemayamkan di audotorium RS Unair menunggu disholatkan di masjid Nurul Azmi Unair sehabis sholat Jum’at.
Sampai di RS Unair, naik ke lantai 8, saya sungguh tertegun.  Bukan karena yang datang sudah banyak, tetapi karena Mas Fasich, begitu biasa saya memanggil, berbaring di kursi panjang dan menggunakan oksigin yang selangnya ditempelkan di lubang hidung.  Ditunggui dua puteranya yang memijit-mijit kakinya.  Ketika saya mendekat, mencium pipi beliau yang basah air mata tangan saya ditarik.  Dengan suara pelan beliau berbisik kira-kira: “dosaku akeh kok cobaanku koyo ngene. Aku ojo dtinggal yo. Sedurune terus yo”.  Mendengar itu, mulut saya cerkekat dan tidak mampu membendung air mata.  Saya hanya dapat berkata “sabar ya mas”.
Lama saya jongkok dan mendekatkan kepala saya ke Mas Fasich untuk berusaha sedapat mungkin beliau tenang.  Saya baru berdiri ketika menyadari banyak pentakziah yang antre untuk bersalaman.  Lama saya duduk dikursi di samping beliau berbaring, berbagi kursi dengan Pak Jazidie.  Memandangi raut muka Mas Fasich yang kurus dan berlinang air mata, saya ikut bersedih.  Sungguh bersedih.
Ketika memandang berkeliling saya melihat banya kawan yang takziah.  Tentu yang banyak teman dari Unair, tetapi saya juga melihat teman lain, misalnya Pak Abdulkadir Baraja dari Al Hikmah, ustad Taufik AB dari Nara Qualitas, Pak Supari dari Unesa dan masih banyak yang lain.  Saat sholat jenazah dimulai audotorium sangat penuh.  Bahkan ada sholat gelombang kedua karena ada yang datang setelah sholat selesai.
Karena ada janji dengan mahasiswa S2 untuk konsultasi tesis, saya segera pulang setelah selesai sholat jenazah.  Sambil menyopir saya mencoba mengingat-ingat figur Bu Fasich.  Orangnya sangat-sangat sederhana, mungkin isteri rektor yang paling sederhana yang pernah saya kenal.  Isteri saya pernah bercerita belanja kerudung ke pasar Tanah Abang bersama Bu Fasich.  Katanya, Bu Fasich memberi kerudung sangat sederhana, sangat murah, yang mungkin penjualnya tidak percaya kalau yang membeli itu rektor Unair.  Kalau toh tahu, mungkin dikira Bu Fasich membeli untuk orang lain.  Namun yang dibeli itu setipe dengan yang saat itu dipakai.
Saya juga teringat ketika kami sama-sama punya cara di Hotel Atlet Senayang.  Waktu itu beliau keluar restoran sehabis sarapan dan saya baru mau sarapan.  Seperti biasa kami berhenti dan salaman. Pak Fasich berbisik: “bojoku iku tekenku”.  Mungkin beliau ingin menjelaskan mengapa ketika berjalan beliau berpegangan pundah Bu Fasich.  Tentu saya hanya menjawab “nggih mas”, karena sudah tahu maksudnya.
Sambil pulang terpikir ingin memberi kabar kepada teman lain yang mungkin belum tahu kalau Bu Fasich wafat.  Oleh karena itu, saya sms ke Radio Suara Surabaya tentang wafatnya Bu Fasich dengan permintaan itu diumumkan. Saya menduga masih banyak teman yang belum dapat kabar.  Waktu di RS Unair saya mengirim sms ke Pak Imam Suprayoga, mantan rektor UIN Malang dengan maksud dapat menyebarluarkan berita itu ke rekan-rekan di Malang. Namun belum mendapat respons.  Saya juga belum melihat teman-teman Sidoarjo dan Gresik.
Ketika pulang dan sampai rumah, saya menceritakan semua itu kepada isteri.  Kami berdua mengenang Bu Fasich dengan segala kesederhanannya.  Kami juga mengingat apa yang kami lihat ketika beliau terbaring koma di rumah sakit.  Allahumma firlaha warhamha wa afii wa'fuanha, semoga beliau khusnul khatimah.

Tidak ada komentar: