Tahun 2011 saya berkesempatan dalam serangkaian acara bersama
Pak BJ Habibie di Jepang. Waktu itu Pak
Habibie mendapat gelar Dr HC (doktor honoris causa) dari Nagoya University,
yang diberikan bersama dengan acara Joint Conference antara para rektor
universitas di Jepang dan universitas di Indonesia. Hadir juga Pak Mohammad Nuh sebagai Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan RI.
Bahwa Pak Habibie mantan presiden saya yakin orang yang hadir
di acara itu pasti tahu. Bahwa Pak
Habibie pakar aeronautika saya menduga mereka juga tahu. Bahwa Pak Habibie seorang tokoh pastilah
diketahui, karena biasanya para tokoh yang diberi gelar doktor honoris
causa. Namun saya heran mengapa
penghormatan kepada beliau begitu besar.
Saat acara dimulai dengan pidato President (Rektor) Nagoya University
acara berjalan biasa-biasa saja.
Pidatonya pendek dan tanpa protokoler, khas gaya Jepang. Ketika Pak Nuh pidato sebagai Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan RI, acara juga berjalan biasa saja. Nah, ketika Pak Habibie berpidato acara
sungguh heboh. Ketika nama beliau
disebut dan dibacakan biografi singkatnya tepuk tangan sudah mulai muncul. Ketika beliau diundang dan berjalan ke
podium, hadirin berdiri sambil bertepuk tangan.
Saya tidak ingat berapa kali hadirin bertepuk tangan, ketika Pak Habibie
pidato. Seperti biasanya Pak Habibie berpidato berapi-api dengan menekankan
pentingnya SDM demi kemajuan suatu bangsa.
Malamnya diadakan malam kesenian dan kebetulan Unesa yang
dipercaya mengisinya dari Indonesia.
Sebagai undangan khusus, Pak Habibie diberi tempat duduk di meja bundar
dekat dengan panggung. Karena Unesa yang
ditugasi untuk mengisi acara, sebagai rektor Unesa (saat itu) saya diberi
tempat duduk satu meja dengan beliau. Beberapa mahasiswa yang mengisi acara
kesenian saya ajak duduk mengelilingi beliau, karena memang tidak ada tempat
untuk penari, penyanyi dan pemusik.
Ternyata Pak Habibie sangat hamble. Kami ngobrol santai, tanpa ada kesan beliau sebagai “orang
besar”. Tentu obrolan ringan sekitar
seni dan teknologi. Karena pernah
mendengar kalau beliau senang lagu Mata Bola, sengaja saya minta teman-teman
mahasiswa dan dosen pembimbing menyiapkan lagu itu dan saya akan mendaulat Pak
Habibie naik panggung ikut bernyanyi. Nah benar, ketika lagu Mata Bola mulai
dinyanyikan oleh seorang dosen muda dan seorang mahasiswi (maaf saya lupa
namanya), Pak Habibie tampak senang dan ikut bernyanyi. Saat itulah saya memohon beliau naik panggung
ikut menyanyi. Semula tidak mau karena
tidak hafal. Tetapi ketika kami sodori
teks yang sudah dipersiapkan, beliau bersedia.
Jadilah Pak Habibie bernyanyi bersama tim kesenian Unesa seperti pada
foto. Gemuruhlah tepuk tangan hadirin.
Selama acara berlangsung, apalagi setelah Pak Habibie
menyanyi, banyak sekali hadirin yang minta foto bersama dengan beliau. Saya yang semua duduk disamping beliau,
kemudian bergeser dan mengosongkan satu kursi tepat di samping Pak Habibie
untuk hadirin yang ingin berfoto. Kesan
yang saya tangkap, begitu besar rasa hormat dan kagum hadirin yang tentunya
kalangan akademisi Jepang kepada Pak Habibie.
Mengapa demikian? Itulah yang
menjadi pertanyaan di benak saya sepulang dari acara itu.
Apakah karena Pak Habibie mantan presiden? Setahu saya di Jepang dan juga di barat, penghargaan
terhadap mantan presiden biasa-biasa saja.
Kita dapat menyaksikan bagaimana respons masyarakat ketika mantan
Presiden Clinton mendampingi isterinya kampanye. Jepang yang sering berganti perdana menteri
bahkan seakan-akan menganggap mantan perdana menteri seperti orang biasa. Apalagi kalangan akademisi yang konon terlalu
mengagungkan bidang ilmunya dan kurang menghargai birokrat.
Apakah karena Pak Habibie ahli aeronautika terkenal? Mungkin, tetapi bukankah di Jepang banyak
ilmuwan terkenal bahkan mendapat hadiah nobel. Bukankah Jepang terkenal sebagai
salah satu kiblat teknologi. Walaupun
pesawat udara buatan Jepang belum pernah terdengar, namun teknologi automotif
dan robotik seakan menjadi milik Jepang.
Konon banyak komponen elektronika pesawat ruang angkasa yang dibuat di
Jepang.
Pertanyaan itu baru terjawab pada akhir Juni lalu menjelang
pemutaran film Rudy Habibie yang dibintangi oleg Reza Rahadian. Jawa Pos, kalau
tidak salah edisi tanggal 30 Juni memuat sekelumit cerita tentang Habibie, yang
selama ini saya belum tahu. Ternyata Pak
Habibie punya 43 patent level internasional di bidang aeronautika. Ada teori Habibie, rumus Habibie dan faktor
Habibie. Jawa Pos menyebutkan siapapun
yang belajar aeronautika tidak akan bisa lepas dari kata “Habibie” karena
adanya teori, rumus dan faktor Habibie itu.
Mungkin karena itulah, orang Jepang yang maju dalam bidang teknologi
sangat hormat kepada Pak Habibie. Bukan
karena beliau sebagai mantan presiden RI, tetapi sebagai kampiun kelas dunia
dalam bidang aeronautika dengan sederet temuannya yang sangat fenomenal. Bayangkan 43 hak paten kelas dunia, yang
mungkin tidak tertandingi oleh orang lain, termasuk orang Jepang dan orang
barat. Nama Habibie akan dikenang
sepanjang masa, seperti kita mengenal nama Pythagoras, Einstain dan Newton
karena temuannya kita pelajari.
Sayang, seperti yang dikeluhkan Jawa Pos prestasi itu tidak
didokumentasikan dengan baik. Memang ada
beberapa buku tentang Pak Habibie, tetapi cenderung dari sisi “human-nya”. Buku yang menggambarkan Habibie yang cinta
tanah air sehingga bersumpah akan berbuat apapun demi Indonesia, Habibie
sebagai yang sangat cinta kepada isterinya, Bu Ainun, Habibie yang percaya
bahwa SDM adalah modal terbaik dalam kemajuan bangsa, Habibie yang memiliki
impian besar agar bangsa Indonesia menjadi bangsa maju setara dengan bangsa lainnya
di dunia.
Saya jadi teringat dua gagasan yang diucapkan beliau ketika
memulai industri strategis dulu. Pertama, terkait dengan riset dengan
prinsip “berawal di akhir dan berakhir di awal”. Maksudnya, bagi negera sedang berkembang
seperti di Indonesia riset diawali dengan riset terapan yang hasilnya langsung
dapat diaplikasikan dalam memajukan industri dan kemajuan bangsa. Baru, setahap demi setahap mengarah ke riset
dasar yang akan menopang riset terapan dan kemajuan iptek. Prinsip itulah yang pada medio tahun 1990an
digunakan oleh DRN (Dewan Riset Nasional) dengan RUT (Riset Unggulan Terpadu)
dan RUK (Riset Unggulan Kemitraan).
Dalam kedua jenis riset itu, peneliti dituntut untuk menunjukkan
bagaimana hasil risetnya dapat segera diterapkan.
Kedua, jembatan udara antar pulau. Waktu itu Pak Habibie mengatakan sebagai negara
kepulauan Indonesia memerlukan penghubung antar pulau yang dapat dilalui dengan
cepat. Pilihannya adalah pesawat udara
tipe kecil dan untuk itu mulai dikembangkan industri pesawat terbang di IPTN
Bandung.
Untuk menunjang dua gagasan itu dibentuklah BPPT dan
mengirimkan banyak anak muda lulusan SMA/SMK dan S1 yang cemerlang untuk
menempuh pendidikan di negara maju.
Setelah selesai mereka ditempatkan di BPPT, IPTN Bandung, PAL Surabaya dan
sebagainya. Sayang sekali, IPTN dan PAL
kemudian “pingsan” atau “dipingsankan” ketika Indonesia terkena dampak krisis
dan dibantu oleh IMF. Akibatnya banyak
tenaga muda cemerlang itu hengkang dan bekerja di luar negeri. Konon mereka sekarang menjadi tenaga kerja
handal di negara lain. Sepupu saya
sendiri, keluar dari IPTN dan sekarang bekerja di pabrik BMW dengan kehidupan yang sangat baik di Jerman.
Seandainya IPTN tetap jalan, mungkin kita tidak perlu impor pesawat sejenis ATR
yang kini banyak digunakan oleh Wing Air dan penerbangan lainnya. Tampaknya kita tidak mampu menangkap prediksi
Habibie yang ternyata tepat. Kita baru
sadar setelah apa yang diprediksi sekian tahun lalu itu sekarang menjadi
kenyataan.
Berkaca kepada orang Jepang yang sangat hormat kepada Pak
Habibie, sebaiknya pemikiran beliau sebagai teknolog dilacak kembali. Di tengah keinginan kuat untuk memajukan ilmu
pengetahuan dan teknologi, sebaiknya temuan-temuan Pak Habibie dan juga tokoh
Indonesia lainnya dibukukan. Kalau dapat
dengan kisah bagaimana proses penemuannya agar dapat menjadi inspirasi generasi
muda. Bukankah bangsa bangsa besar
adalah bangsa yang menghormati para pendahulunya. Bukan hanya pendahulu dalam perang dan
politik, tetapi juga bidang iptek.
Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar