Yang dimasud dengan
Sarwo Edy dalam tulisan ini bukahlah almarhum Jenderal Sarwo Edi Wibowo, mertua
Pak SBY. Sarwo Edy dalam tulisan ini
adalah mahasiswa S3 Manajemen Pendidikan Unesa yang baru lulus ujian terbuka
tanggal 27 Agustus 2016 lalu. Yang
bersangkutan mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Gresik, yang tentu saja
seorang aktivis Muhammadiyah.
Prof Sonhaji, guru
besar Universitas Negeri Malang yang bertidak sebagai penguji tamu, sempat
berkelakar bahwa yang sedang ujian adalah mantan Komandan Kopasus yang sangat
terkenal, karena keberhasilan mengatasi pergolakan G-30-S yang menelan korban
banyak Jenderal di tahun 1965. Tentu itu
hanya kelakar untuk mencairkan situasi.
Saya mengenal baik Pak
Sarwo, karena ketika kuliah S1, S2 sampai S3 saya sempat mengajar beliau. Bahkan saya sebagai promotornya saat menyusun
disertasi S3. Perawakannya sedang,
dengan kulit sawo matang dan wajah ngganteng dengan kumis tipis. Bicaranya
tegas, dengan artikulasi kalimat yang baik, khas seorang aktivis.
Apa yang khas dari Pak
Sarwo? Inilah yang ingin saya bagi
dengan pembaca. Saat menyusun disertasi,
beliau meneliti berbagai faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa SD Muhammadiyah
di Jawa Timur. Pak Sarwo menggunakan
pola pikir Leithwood yang meneliti hal yang mirip itu di Kanada. Namun Pak Sarwo menambahkan satu faktor
(variabel) khusus yang dia sebut dengan Islamic
World View atau pemahaman terhadap Islam sebagai pandangan hidup dan itu
diadopsi dari pemikiran Sayid Qutub.
Hasilnya sungguh mengejutkan
dan menimbulkan tanda tanya. Islamic
World View ternyata tidak punya pengaruh langsung terhadap hasil belajar,
namun berpengaruh tidak langsung melalui school
leadership, guru dan seterusnya.
Sampai disini secara nalar mudah difahami, karena yang diteliti anak SD yang mungkin belum terlalu kuat kaitannya
dengan Islamic World View. Toh, Islamic
World View mempengaruhi kepemimpian sekolah dan guru, baik aspek nalar (rational path) maupun aspek psikologis (emotional path).
Yang menarik dan
menumbulkan tanya tanya adalah Islamic World View tidak berpengaruh
terhadap kondisi keluarga (family path),
sementara family path berpengaruh
signifikan terhadap prestasi belajar siswa.
Dengan demikian dapat dikatakan dakwah teman-teman Mohammadiyah tidak
berhasil. Yang lebih menarik lagi status
sosial ekonomi (SES) orangtua juga tidak berpengaruh signifikan terhadap
prestasi belajar siswa. Dengan kata
lain, walimurid SD Muhammadiyah belum memanfaatkan pengetahuan dan kekayaannya
untuk membantu belajar anaknya.
Mengapa itu menarik? Karena temuan itu merupakan kritik keras
kepada aktivis Muhammadiyah dan Pak Sarwo berada di dalamnya. Sebagai promotor saya gembira, karena Pak
Sarwo sudah menunjukkan salah satu kriteria penting calon doktor, yaitu jujur
dengan data penelitian yang dihasilkan.
Walaupun hasilnya mengritik diri sendiri (tentu juga aktivis
Muhammadiyah lainnya), Pak Sarwo tidak mengubahnya. Bahkan dalam presentasi Pak Sarwo mengakui
hal itu sebagai sebuah introspeksi diri.
Tentu temuan itu
belumlah bersifat final, karena sebagaimana lazimnya temuan yang “aneh” harus
diverifikasi bahkan direplikasi untuk memastikan kebenarannya. Namun, kejujuran dan keberanian mengritik
diri sendiri dan organisasi sebesar Muhammadiyah patut diacungi jempol. Oleh karena itu, ketika sebagai promotor
diminta memberikan sambutan di akhir ujian, saya menyampaikan penghargaan atas
kejujuran dan keberanian Pak Sarwo mblejeti diri sendiri. Karena diantara yang
hadir banyak tokoh-tokoh Muhammadiyah, saya menyarankan untuk menggunakan
temuan Pak Sarwo untuk melihat kembali, jangan-jangan metoda dakwah yang selama
ini diterapkan tidak lagi cocok dengan era sekarang.
Para orangtua SD Muhammadiyah
tentulan termasuk golongan orang muda muslim yang umumnya tinggal di perkotaan
(urban moslem society) yang mungkin memerlulam pola dakwak “kotemporer” dan
tidak sama degan pola dakwah yang selama ini diterapkan. Itu hanya dugaan orang yang awam dengan
dakwal seperti saya ini.
Satu lagi yang saya
sampaikan adalah kekhawatiran saya kemungkinan Pak Sarwo terjun ke
politik. Politik adalah bidang baik,
namun jangan semua intelektual seperti Pak Sarwo terjun ke dunia itu. Kita memerlukan orang pandai yang istikhomah
menekui dunia akademik, dunia pendidikan yang ikut menentukan mutu sumberdaya
manusia di masa datang.