Seorang teman memberi
informasi bahwa salah satu “penyempurnaan” Kurikulum 13 (K-13) adalah “mengurangi
beban guru” dengan menugaskan pengembangan KI-1 (sikap spiritual) hanya kepada
guru Agama dan pengembangan KI-2 (sikap sosial) hanya kepada guru PPKn. Dengan
kata lain, guru matapelajaran lain tidak perlu dibebani pengembangan sikap
spiritual dan sikap sosial. Jika informasi itu benar, berarti guru IPA di SMP
tidak perlu memikirkan bagaimana menumbuhkan sikap kejujuran kepada siswa,
karena itu merupakan tugas guru Agama (karena jujur adalah salah satu ajaran
agama). Guru Ekonomi tidak perlu
memikirkan apakah siswa suka menolong orang lain, karena itu merupakan tugas
guru PPKn.
Sebagai guru yang
sudah mengajar selama lebih dari 40 tahun, saya kaget dan setengah tidak
percaya dengan informasi itu. Bukankah
ruh dari K-13 adalah keinginan untuk menumbuhkembangkan sikap dan atau karakter
anak-anak? Oleh karena itu, pengembangan
sikap dan atau karakter dilakukan secara gotong-royong, secara sinergis oleh
semua guru dan bahkan semua karyawan di sekolah. Jika informasi itu benar, sekali lagi jika
informasi itu benar, maka K-13 yang telah “disempurkakan” telah kehilangan ruh
K-13.
Saya tidak ikut
menyusun K-13. Namun mempelajari K-13
saya menangkap kesan kuat bahwa K-13 ingin mengarusutamakan (me-main streaming-kan) pendidikan karakter
atau pendidikan budi pekerti. Mungkin
penggagas K-13 risau dengan perilaku anak bangsa ini yang seakan kehilangan
budi pekerti luhur, sehingga itu harus dikembalikan secara sistematis lewat
pendidikan. Mungkin juga penggagas K-13, ingin melaksanakan amanah pasal 3 UU
Sisdiknas yang berbunyi “Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab”. Jika berakhlak mulia, mandiri dan
menjai warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab itu termasuk aspek
karakter, maka tiga di atara tujuh karakterik manusia yang ingin dihasilkan
pendidikan adalah karakter.
Memang pendidikan
harus mengembangkan tiga ranah secara utuh.
Ki Hajar Dewantara mengatakan “pendidikan
adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin,
karakter), pikiran (intelect) dan tubuh anak. Bagian-bagian itu tidak boleh dipisahkan agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup anak kita”. Jika menggunakan istilah Bloom yang biasa
digunakan di sekolah, maka pendidikan afektif, kognitif dan psikomotor tidak
boleh dipisahkan.
Merenungkan informasi
itu, saya jadi teringat sebuah sekolah “inovatif” yang membedakan pendidikan agama dan pendidikan beragama. Pendidikan agama diajarkan oleh guru agama
dan penekanannya pada teori, baik pengetahuan, sikap maupun keterampilan. Pendidikan beragama dilakukan oleh semua
guru, yang penekanannya pada implementasi beragama sesuai dengan agama yang
dianut. Jika agama Islam mengajarkan
sholat berjamaah lebih baik dengan sholat sendiri, maka dalil-dalil tentang itu
diajarkan oleh guru Agama Islam. Namun
semua guru harus mengajarkan dengan cara memberi contoh, memberi motivasi dan
memfasilitasi siswa untuk sholat
berjamaah.
Pola pikir yang sama
dapat diterapkan untuk PPKn. Teori
Pancasila dan Kewarganegaraan diajarkan oleh guru PPKn, namun semua guru
mengajarkan penerapan Pancasila dan Kewarganegaraan dalam kehidupan
sehari-hari. Bagaimana caranya? Dengan memberikan contoh, memotivasi dan
memfasilitasi agar siswa dapat menerapkan nilai-niai Pancasila dan
Kewarganegaraan dalam kehidupan sehari-hari.
Semua guru harus memberikan contoh tolong menolong, mendorong siswa
untuk melakukan dan juga memfasilitasi pelaksanaannya.
Apakah demikian
penting sikap sikap spriritual dan sikap sosial, sehingga semua guru yang ikut
bergotong royong mengembangkan? Beberapa
bulan lalu, dalam suatu diskusi tentang pendidikan, hadir seorang ibu dari HRD Carrefour
Group. Ibu itu menyapaikan ketika
melakukan seleksi calon karyawan, bobot sikap 50%, bobot kemampuan nalar 30%
dan bobot keterampilan 20%. “Yang
penting sikapnya bagus dan dapat bernalar runtut. Soal keterampilan dapat
dilatih dengan cepat.” Pendapat serupa
juga dikemukakan oleh seorang tokoh industri di Kalimantan Timur, dengan
mengatakan “melatih keterampilan itu mudah, namun memperaiki sikap sangat
suli”.
Jika guru Matematika
sekaligus juga “guru beragama” dan juga “guru dalam implementasi Pancasila”,
apakah tidak terlalu berat bagi mereka? Untuk menjawab itu, kita dapat balik kertanya
lebih dahulu: “Guru Matematika itu harus
melaksanakan kuwajiban beragama atau tidak ya?” “Guru Matematika itu harus
menerapkan Pancasila apa tidak ya?”. Jika keduanya dijawab “ya”, berarti guru
Matematika sudah dapat menjadi teladan dalam beragama dan teladan dalam
pengamalan Pancasila.
Jika demikian tinggal
bagaimana guru Matematika memotivasi dan memfalitasi siswa dalam menjalankan
agama dan mengamalkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu, apakah
sebagai orang beragama dan bangsa Indonesia, kita tidak perlu memotivasi anak
kita untuk menjalankan ajaran agama dan Pancasila? Saya yakin, jawabannya “perlu”. Dengan demikian, sebenarnya tugas memotivasi
dan memfasilitasi siswa menjalankan agama dan nilai-nilai Pancasila juga tidak
sulit.
Apakah sebagai guru
dalam beragama dan pengamalan Pancasila, guru Matematika perlu memasukan
aspek-aspeknya dalam menyusun rencana pembelajaran (RPP) Matematika? Apakah guru Matematika juga mengukur atau
menilai hasil belajar yang berupa sikap spiritual maupun sikap sosial? Dua hal itulah yang tampaknya perlu didiskusikan,
karena memang membawa konkwensi tambahan pekerjaan bagi guru, selain guru Agama
dan PPKn.
Untuk menjawabnya,
mungkin kita awali dengan mengajukan pertanyaan akan ketika belajar Matematika
siswa juga harus jujur? Apakah ketika
diskusi suatu topik Fisika siswa juga harus santun? Apakah ketika belajar Ekonomi, siswa juga
harus belajar membantu orang lain? Jika
jawaban dari ketiga pertanyaan di atas “ya”, berarti siswa harus jujur, harus
santun dan harus membantu orang lain, ketika mereka belajar Matematika, Fisika
dan Ekonomi. Dengan kata lain, penting
memasukkan sikap spiritual dan sikap sosial dalam RPP Matematika, Fisika,
Ekonomi dsb. Tentu dipilih sikap yang
relevan dengan topik yang dibahas saja.
Tidak harus semua jenis sikap.
Apakah sikap spiritual
dan sikap sosial perlu diukur hasilnya oleh guru Matematika, IPA, Ekonomi dan
sebagainya? Karena masuk dalam RPP
tentu harus diukur hasilnya. Namun
berpengalaman banyak guru kesulitan mengukur sikap, harus dicarikan cara
sederhana. Karena sikap tidak cepat
berubah, maka dalam satu kali mengakar guru tidak harus mengamati sikap seluruh
siswa. Mungkin cukup 5 orang saja. Jika dalam satu kelas ada 50 orang, maka
dalam 10 kali pertemuan, semua siswa dapat diamati.
Sosiometri juga dapat
diterapkan. Siswa diminta untuk saling
menilai antar teman. Jika ragu mereka
dapat jujur pola ranking juga dapat membantu.
Misalnya siswa dalam suatu kelompok diminta saling menilai teman dalam
kelompoknya. Prinsipnya dicari pola
penilaian yang sederhana sehingga dapat diterapka tanpa membebani guru terlalu
berat. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar