Full day school
merupakan gagasan pertama dari Mendikbud baru kita, Prof Dr. Muhajir
Effendi. Menurut berita di koran, dengan
full day school diharapkan lama waktu siswa di sekolah lebih lama, sehingga
proses pengembangan karakter lebih intensif.
Dengan full day, siswa tidak terlalu lama di rumah tanpa ada
pendampingan orangtua karena kedua orangtuanya bekerja di luar rumah. Mungkin pagi hari orangtua dapat megantar
anaknya ke sekolah sambil berangkat kerja dan sore hari menjemputnya sambil
pulang kerja. Dengan begitu ketika di
sekolah ada pendamping yaitu para guru, ketika di rumah juga ada pendamping
yaitu orangtuanya.
Seperti kebiasaan di
Indonesia, ide itu mendapat tanggapan beragam dan bahkan menjadi diskusi
berkepanjangan. Arah diskusipun menjadi tidak jelas, karena masing-masing
penanggap menafsirkan gagasan Pak Mendikbud menurut versinya masing-masing. Media sosial menjadi ajang perdebatan
berkepanjangan. Kebebasan menyampaikan
gagasan di medsos tampaknya menumbuhkan kontrol diri yang kurang baik di
masyarakat kita.
Apa sebetulnya yang
dipikirkan Pak Mendikbud di balik ide full day school? Jika benar, bahwa muculnya gagasan full day
school itu dilatarbelakangi kerisauan beliau karena pendidikan karakter belum
optimal, maka itu optimalisasi pendidikan karakter itulah yang harus
dipikirkan. Full day school adalah
jawaban “hipotetik”, yang masih harus “diuji” kebenarannya. Bahkan full day school barulah salah satu
dari sekian banyak wahana untuk mengoptimalkan pendidikan karakter.
Bahwa pendidikan
karakter perlu segera dioptimalkan rasanya tidak ada orang yang tidak
setuju. Banyak pakar yang menyatakan,
keruwetan bangsa ini bersumber dari moral atau karakter kita yang kurang
baik. Korupsi konon sudah terjadi di
semua lapisan dan melibatkan segala profesi.
Eksekutif, legistatif, yudikatif, tentara, polisi, pengusaha dan
lainnya. Seorang kawan bahkan bertanya
“bukankah pengawai yang bermain saat jam kerja itu juga korupsi, yaitu korupsi
waktu”. “Bukankah warung yang melayani
karyawan makan di jam kerja itu juga membantu terjadinya korupsi waktu oleh di karyawan”. “Bukankah nyontek itu benih korupsi, karena
ingin mendapat hasil yang baik tanpa mau bekerja keras”.
Untuk mengoptimalkan
pendidikan karakter, sebaiknya didiskusikan dulu bagaimana proses pendidikan
karakter yang efektif. Liinckona
menyebutkan karakter itu memiliki 3 lapisan yang hirarkhis, yaitu moral
knowing, moral feeling dan moral action.
Orang yang tahu suatu aturan (moral knowing) belum tentu merasa itu
harus dilakukan (moral feeling). Contoh
sederhana adalah perilaku kita dalam berlalu lintas. Saya yakin hampir semua pengendara tahu makna
rambu-rambu lalu lintas (moral knowing), namun betapa banyak yang tidak merasa
itu harus ditaati (moral feeling).
Orang yang merasa itu
harus dilakukan (moral feeling) belum tentu benar-benar melakukan (moral
action), karena situasi di sekitar mungkin mendorong atau memaksanya melakukan
itu. Konon ada seorang yang dihukum
karena korupsi bercerita, bahwa yang bersangkutan tahu dan sangat yakin apa
yang dilakukan itu salah dan bertentangan dengan hukum maupun agamnya. Namun situasi tempat yang bersangkutan
bekerja, organisasi dimana yang bersangkutan terikat memaksa harus berbuat
begitu.
Jadi pendidikan
karakter tidak boleh hanya berupa ceramah dan diskusi atau baca referensi yang
intinya menambah pengetahuan. Juga tidak
boleh hanya sampai pada membaca biografi tokoh atau bahkan bermain peran,
karena itu hanya sampai internalisasi (moral feeling). Diperlukan situasi yang membuat anak-anak
terbiasa mengimplementasikan karakter dalam kehidupan sehari-hari. Jadi idealnya kehidupan di sekolah dan di
rumah mencerminkan implementasi karakter itu.
Dalam teori yang
pernah saya baca, pendidikan karakter akan efektif jika dilakukan melalui
habituasi (pembiasaan) yang dilanjutkan dengan inkulturisasi
(pembudayaan). Untuk itu diperlukan
situasi sekolah/rumah yang cocok, diperlukan norma kehidupan (agama sbg sumber)
yang relevan dan diperlukan teladan dalam kehidupan keseharian.
Nah, dengan begitu
sebelum gagasan full day school itu diterapkan secara masal, perlu disiapkan
agar situasi di sekolah memenuhi syarat untuk habituasi dan inkulturisasi
karakter. Guru dan karyawan di sekolah, serta fasilitas di sekolah juga perlu
dipersiapkan agar mendukung implementasi habituasi dan inkulturisasi itu.
Apakah habituasi dan
inkulturisasi hanya dapat dilaksanakan di sekolah? Tidak.
Di rumah dan bahkan di masyarakatpun juga bisa. Asalkan, seperti disebutkan di atas, situasi
di rumah dan atau di masyarakat mendukung prinsip habituasi dan inkulturisasi
itu. Dengan demikian, jika situasi di
sekolah belum memungkinkan dan masyarakat masih belum kondusif, maka rumah
menjadi alternatif. Asalnya orangtua
faham dan bersedia menjadi fasilitator dan teladan penumbuhka karakter. Untuk
itu program parenting untuk menyamakan visi antara sekolah dan rumah menjadi
penting, agar dalam berjalan seiring dan berbagi peran serta tanggung jawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar