Dua hari ini saya
berada di Kalimantan Timur (Kaltim), khususnya di Balikpapan dan
Samarinda. Bersama dengan Bu Ari, Pak
Budi, Mas Afan dari Tanoto Foundation, saya ke Unmul dan IAIN Samarinda. Sebenarnya saya sudah berkali-kali ke Kaltim. Bahkan pada awal tahun 2003-2005 saya sering
ke Kaltim karena saat itu saya menjadi konsultan lepas World Bank pada Junior
Secondary Education Project (JSE-2) yang salah satu wilayahnya propinsi
Kaltim. Pada tahun 2007an saya juga
beberapa kali ke Kaltim, khususnya Kutai Timur karena Unesa punya kerjasama
dengan Pemkab setempat dan saat itu saya menjadi Pembantu Rektor Bidang
Kerjasama. Setelah itu sangat jarang
saya ke Kaltim. Tahun lalu saya ke
Tarakan yang sekarang sudah “berpisah” menjadi propinsi Kalimantan Utara
(Kaltara) dan hanya transit penerbangan di bandara Sepinggan Balikpapan.
Seperti biasanya,
begitu mengunjungi suatu daerah dan waktunya makan, saya selalu bertanya “apa
makanan khas di daerah ini dan kemana bisa mencarinya”. Nah, ternyata itu tidak mudah di
Kaltim. Mas Andre, driver yang menemani
kami mengatakan di Kaltim tidak ada makanan khas. Hampir semua warung makan, restoran yang
punya atau paling tidak juru masaknya orang Jawa. Apalagi warung kecil dan kaki lima praktis
“dikuasai” orang Jawa. Dan bentul, Man
Andre yang asli Balikpapan menunjukkan betapa banyaknya warung dengan inisial
Jawa, misalnya Soto Lamongan, Pecel Blitar, Warung Ponorogo, Ikan Bakar Cak
Gundul, Mie Pak Karso Jogya, Ayam Bakar Wong Solo dan sebagainya.
Apa tidak ada warung
yang menjual makanan asli Kaltim? Mas
Budi punya penjelasan yang masuk akal.
Ada, tetapi sangat sedikit dan biasanya di lokasi pedesaan. Mengapa?
Karena yang membeli orang “lokal” dan itupun tidak banyak. Orang lokal juga lebih senang membeli makanan
buatan orang Jawa yang konon lebih murah dan lebih enak. Kalau toh ada “orang luar” yang ingin
merasakan makanan lokal yang orang yang jarang-jarang ke Kaltim, seperti Pak
Muchlas. Jadi wajar kalau tidak ada
warung makanan khas Kaltim di Samarinda dan Balikpapan. Yang ada di Tenggarong, yaitu Warung Gamis
yang menjual sate payau atau sate kijang.
Mendengar penjelasan
Pak Budi dan Mas Andre, saya mencoba mengamati dan mencari informasi dari
teman-teman di Samarinda. Dan jawabannya
menguatkan tesis Pak Budi. Pokoknya
kalau warung makanan sudah dikuasai orang Jawa.
Bukan hanya itu, toko-toko kecil yang menguasai orang Jawa dan orang
Bugis. Orang sini malas pak. Maunya makan enak tetapi malas bekerja. Ya, akhirnya perdangangan atau bahkan
aktivitas ekonomi dikuasai oleh orang Jawa dan Bugis.
Mendengar penjelasan
teman Samarinda itu, saya bertanya-tanya apakah itu memang benar? Bahwa banyak orang Jawa yang membuka warung
makan di luar Jawa, saya sudah faham.
Bahkan saat saya ke Meraoke beberapa tahun lalu, saya menjumpai
banyaknya warung kaki lima yang bercirikan khas Jawa. Umumnya orang Gresik dan Lamongan, yang
membuka warung ikan bakar kaki lima.
Namun kalau sampai orang Jawa dan atau Bugis menguasai penyediaan warung
saya baru mendengar hari itu.
Merenungkan fenomena
itu saya berpikir, mengapa orang Jawa dan orang Bugis sukses “menguasai”
aktivitas ekonomi, khususnya di sektor makanan di Kalimantan Timur? Apakah fenomena seperti itu juga terjadi di
daerah lain? Apakah itu terkait dengan
fenomena yang seringkali kita dengan pendatang seringkali sukses dan
“menggeser” orang lokal. Misalnya transmigran di berbagai daerah ternyata
sukses dan menggeser penduduk lokal.
Saya jadi teringat
pendapat seorang kawan, orang-orang di sekolah swasta biasanya lebih gigih dan
lebih kreatif. Orang-orang di perusahaan swasta lebih gigih dan kreatif
dibanding dengan mereka yang bekerja di BUMN apalagi di birokrasi pemerintahan. Mengapa?
Teman saya mengatakan, orang-orang di sekolah swasta atau di perusahaan
swasta “dipaksa” untuk kerja keras dan kreatif agar sekolahnya atau
perusahaannya tidak tutup. Sementara
teman-teman di sekolah negeri dan BUMN dan birokrasi pemerintah, tenan-tenang
karena toh anggaran sudah ada dari negara.
Gaji juga sudah pasti diberi oleh negara.
Apakah semua itu berarti,
kondisi yang memaksa dapat membuat orang bekerja keras dan bahkan memunculkan
kreativitas untuk mengatasi kendala yang dihadapi? Jika logika itu benar, maka pertanyaannya
“bagaimana pendidikan dapat menciptakan situasi keterpaksaan, sehingga siswa
terdorong untuk kerja keras dan bahkan kreatif untuk mengatasi hambatan yang
terjadi”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar