Hari ini dilaksanakan
Pilkada seretak di banyak propinsi dan kabupaten/kota. Konon ini merupakan
pilkada yang sangat menyita perhatian masyarakat dan menyita banyak energi para
politisi. Mengapa? Karena menyangkut di propinsi dan
kabupaten/kota yang berpenduduk besar.
Sebutlah, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatra Utara, Sulawesi
Selatan dan sebagainya. Bahkan beberapa
pengamat menyebutkan Pilkada tahun ini merupakan pemanasan atau gambaran Pemilu
dan Pilpres tahun 2019.
Beberapa hari lalu,
saya ngobrol santai dengan beberapa teman lama dan salah satu topiknya adalah
Pilkada. Salah satu teman yang ikut ngobrol itu dahulu aktivis mahasiswa dan
sekarang terjun ke bidang politik, sehingga menjadi “nara sumber” ketika
obrolan menyangkut Pilkada. Peserta ngobrol yang lain umumnya para pendidik dan
wiraswasta, waluupun pada umumnya dahulu juga aktif dalam organisasi mahasiswa.
Lucunya, ketika topik
obrolannya tentang Pilkada teman politisi itu seakan dikeroyok, diolok-olok dan
menjadi bulan-bulanan. Kasihan juga,
karena kadang-kadang sesama teman akrab kalau berkelakar kebablasan. Secara pribadi saya tidak begitu faham
tentang dunia politik, sehingga sampai obrolan buyar karena sudah tengah malam,
masih banyak pertanyaan di kepala saya.
Nah, ijinkan saya berbagi.
Minimal untuk mengurangi beban otak saya, syukur kalau ada yang mau
menjernihkan.
Pertama, perbandingan politisi sekarang dan jaman kemerdekaan. Seorang peserta obrolan itu menjelaskan kalau
para politisi di era kemerdekaan itu berjuang atas dasar ideologi dengan berani
mengorbankan kepentingan pribadi. Dengan
menyebut beberapa nama, teman tadi menunjukkan bagaimana para politisi di era
kemerdekaan itu hidup sederhana (bahkan melarat) tetapi gigih memperjuangkan
ideologinya. Menurut dia, politisi
sekarang itu menganggap bidang politik dengan pekerjaan, tempat mencari nafkah. Ideologi tidak penting. Itulah sebabnya banya politisi yang dengan
mudah pindah partai, yang sangat berbeda ideologinya. Itulah sebabanya para politisi berebut
menjadi anggota DPR/DPRD untuk memperoleh penghasilan yang besar. Apa betul begitu ya? Apakah itu generalisasi
yang berlebihan?
Ketika dikeroyok,
teman yang terjun ke politik itu mengeluarkan jurus pamungkas dengan
menyampaikan: “Itulah kesalahan kalian yang alergi ke politik. Akhirnya partai politik diisi oleh
orang-orang yang tidak baik, sehingga jangan salahkan kalau undang-undang,
pimpinan negara, pimpinan daerah serta kebijakannya tidak baik. Karena undang-undang dan peraturan itu
disusun oleh DPR?DPRD yang isinya orang partai politik. Pimpinan negara maupun
daerah diajukan oleh partai politik”.
Betul juga ya. Jadi bagaimana ini?
Masuk ke dunia politik takut karena “kotor”, tetapi kalau orang baik
tidak masuk kemudian partai politik diisi oleh mereka yang kurang baik.
Kedua, soal koalisi yang seperti gado-gado.
Seorang teman mempertanyakan bagaimana bisa terjadi koalisi partai
politik yang berubah-ubah di setiap daerah.
Di propinsi 1 partai politi A berkoalisi dengan B dan C, melawan partai
D, E dan F. Namun di propinsi 2, partai
poloitik A berkoalisi dengan D, E melawan partai politik B, C dan F. Teman politisi ini menjelaskan, itulah dunia
politik dan sangat dinamis dan segala kemungkinan dapat terjadi. Semua partai ingin calonnya jadi, sehingga
akan mencari dan mendukung calon yang diyakini bakal menang.
Apakah fenomena itu
menguatkan bahwa politisi sekarang bukan orang ideologis, sehingga dengan mudah
berbagi koalisi bahkan berkoalisi dengan partai politik yang secara historis
memiliki ideologi berbeda jauh? Teman
politisi menjawab dengan enteng: “Itulah seni politik, seni mencari peluang
agar dapat posisi yang dapat menentukan kebijakan. Jika calon yang didukung menang menjadi
gubernur/bupati/walikota, maka partai politik itu dapat memasukan perjuangannya
menjadi kebijakan daerah”. Betul juga
ya. Namun apakah itu betul? Atau ada udang
di balik batu?
Ketiga, biaya Pilkada. Seorang kawan
minta konfirmasi apakah betul berita bahwa untuk maju menjadi
bupati/walikota/gubernur itu memerlukan biaya yang sangat besar. Ada korang yang menyebut untuk maju sebagai
gubernur perlu biaya sampai 300 milyar, untuk menjadi bupati/walikota perlu
biaya sampai 150 milyar rupiah. Teman
politisi tidak menjawab secara jelas, jawabannya abu-abu khas seorang
politisi. Dia mengajak berhitung, berapa
saksi yang harus diberi uang saku, berapa biaya kampanye, berapa biaya ini dan
itu. Ternyata kalau dijumlah memang sangat besar.
Pertanyaannya, dari
mana uang itu diperoleh dan bagaimana mendapatkan gantinya. Mungkinkah penghasilan gubernur itu sebulan
lebih dari 300 milyar/60 atau 5 milyar sebulan? Lagi-lagi teman politisi itu tidak
menjawab secara jelas. Dia hanya memberi
ilustrasi, ketika seorang tokoh maju menjadi calon gubernur atau bupati atau
walikota tentu banyak pendukungnya.
Konon para pendukung itu yang ikut menanggung biaya? Saiapa pendukung semacam itu? Apakah mereka rela mengeluarkan uang tanpa
mengharap keuntungan?
Merenungkan itu, saya
jadi ingat posting dengan gambar Cak Lontong yang mengatan: “Jangan gara-gara
pilkada kamu dari bertengkar dengan teman. Ingat kalau kamu sakit yang nengokin
temanmu bukan gubernur yang kami pilih.
Ingat kalau kamu butuh uang yang minjemin temanmu bukan gubernur yang
kamu bela mati-matian”. Kalau begitu
mari kita mikir yang ringan-ringan saja. Toh seperti nasehat Cak Lontong belum
tentu gubernur/bupati/walikota ingat sama kita.