Sebagai warga
Surabaya, saya kaget-tidak menduga-bahkan tidak dapat memahami peristiwa
pengeboman hari Minggu dan Senin lalu.
Kebetulan hari Minggu itu saya akan ke Jakarta dan sudah memiliki tiket
Garuda pukul 15.50. Paginya ingin ke
Gramedia dahulu untuk membeli buku buat cucu yang berusia 3 tahun. Biasanya kalau saya datang ke rumahnya, si
cucu bertanya “yang kakung bawa buku?”.
Dia juga sering minta dibacakan buku kalau mau tidur. Begitu TV memuat berita pengeboman di Gereja
Maria Tak Bercela, rencana ke Gramedia saya batalkan, karena jalan dari rumah
ke Gramedia Manyar melewati sekitar gereja tersebut. Akhirnya saya di rumah saja, mendengarkan siaran
TV.
Sebagai orang awam
tentang terorisme, muncul pertanyaan di benak saya. Apakah ini fenomena baru, kok yang mengebom
merupakan tim keluarga. Info yang saya
dapat, pengebom di tiga gereja itu masing-masing dari satu keluarga. Ayah, isteri dan anak-anaknya. Konon juga ada
anaknya masih yang masih kecil. Dari yang
saya baca selama ini, biasanya pengeboman seperti itu dilakukan oleh sebuah tim
yang terdiri dari orang dewasa.
Logikanya mereka sudah tahu tentang apa yang mereka lakukan, termasuk
alasan dan konsekuansinya. Kalau
sekarang dilakukan oleh keluarga, apakah berarti terjadi perubahan pola? Jika ya, apakah itu merupakan strategi agar
tidak mudah terdeteksi pihak berwajib?
Apakah itu merupakan pelatihan bagi anak-anak mereka?
Pertanyaan berikutnya,
mengapa pengeboman tidak pada Kamis lalu saat ada misa yang pasti jamaahnya
banyak? Seingat saya, setiap ada hari
raya keagamaan tempat ibadah dijaga oleh yang berwajib karena kawatir ada
gangguan. Nah, apakah pengebom
menghindari penjagaan seperti itu, sehingga memilih hari lain? Atau terkait dengan informasi bahwa hari itu
ada jadwal istighosah di frontage barat Jl Ahmad Yani, sehingga diyakini sebagian
petugas dikonsentrasikan ke sana? Dengan
begitu penjagaan gereja menjadi agak longgar?
Yang mengherankan
adalah keberanian pengeboman di Mapolrestabes Surabaya. Bukankah kantor polisi pasti dijaga, apalagi
Mapolrestabes yang tentunya memiliki penjagaannya cukup ketat. Apalagi sehari sebelumnya sudah terjadi
pengembonan di 3 gereja yang logikanya membuat penjagaan obyek vital lebih
ketat, termasuk kantor polisi, lebih ketat.
Apakah itu terdorong oleh peritiwa di Markas Brimob dan itu mereka
anggap sukses? Apakah ada alasan
lain? Apalagi informasi di TV ketiga
keluarga yang melakukan pengeboman itu saling kenal, sehingga diduga merupakan
suatu jaringan.
Ke HP saya terus masuk
berbagai informasi, baik melalui WA, WA grup maupun sms. Anak saya yang tinggal di Edinbrugh dan
Jakarta ribut dan terus bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Keduanya pesan, saya dan isteri jangan keluar
rumah. Bahkan anak yang di Jakarta
mendesak segera saja berangkat ke Jakarta.
Prof Arismunandar, mantan rektor UNM, yang kebetulan dua putranya kuliah
di Surabaya bertanya apakah Surabaya cukup aman dan terkendali? Apakah putranya harus pulang ke Makasar dulu?
WA dan sms yang masuk
ke HP saya juga banyak yang memuat kutukan terhadap pengemboman itu. Kutukan yang menurut saya wajar dan bahkan
penting untuk menunjukkan ketidaksetujuan dengan tindakan itu. Kutukan datang dari perorangan maupun
berbagai organisasi. Cara mengungkapkan
kutukan juga bermacam-macam. Ada juga
yang disertai do’a bagi korban dan penguatan bagi keluarga yang ditinggalkan.
Merenungkan peristiwa
yang saya sulit memahami, saya berpikir pengutukan memang perlu bahkan penting,
tetapi rasanya tidak cukup. Perlu ada
kajian mendalam mengapa peristiwa itu terjadi.
Bahkan jika betul terjadi perubahan pola, mengapa terjadi perubahan pola
dan kemana arahnya. Apalagi sekarang
melibatkan anak kecil yang logikanya belum dapat memahami apa yang dilakukan
dan apa konkuensinya. Saya tidak
memiliki keahlian di bidang itu, sehingga berharap ada teman atau lembaga yang
melakukan kajian secara mendalam.
Berdasarkan kajian
seperti itu dapat dirancang upaya agar peristiswa semacam itu tidak
terulang. Ibaratnya kajian tersebut
dapat menemukan sumber masalah yag menyebabkan peristiwa tersebut apa,
bagaimana kaitan dengan faktor-faktor lain.
Jika menggunakan cara berpikir ala Six Hats-nya De Bono, semua warna
topi dikaji sehingga kita dapat menemukan solusi yang efektif. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar