Lima hari mengikuti
workshop di THF (The Head Foundation), diselingi berkunjung ke NIE (Nanyang
Institute of Education) dan Fajar Secondary School, saya merasa belajar banyak. Selama workshop, saya sempat mengikuti
presentasi dan bahkan diskusi di luar forum dengan beberapa orang yang faham
bentul bagaimana Singapore menyiapkan calon guru dan membinanya setelah mereka
bekerja. Di samping Prof Gopinatan yang
punya pengalaman panjang di NIE, juga Prof Berinderjeet Kaur-profesor Pendidikan
Matematika di NIE-yang ternyata penggagas “teaching track” dalam pembinaan
guru, Prog Teo Tang Wee-profesor Pendidikan Sains-, Dr. Jessie Png-orang yang
lama menjadi Assistant Dean yang mengurusi practicum (mirip dengan PPL di
LPTK), Mrs Belinda Charles-pensiunan kepala sekolah dan lama menjadi Dean of
School Principal Academy (semacam MKKS di Indonesia)-, Mrs Margaret Tan-orang
yang lama menjadi kepala sekolah dan baru saja pensiun. Tentu saja, diskusi dengan beberapa dosen di
NIE dan guru-guru di Fajar Secondary School.
NIE adalah
satu-satunya lembaga yang bertugas menyiapkan calon guru dan sekaligus
melakukan pembinaan guru, termasuk kepala sekolah, di luar pembinaan rutin oleh
jajaran MoE (Kementerian Pendidikan Singapore).
Jadi Singapore tidak memiliki LPMP dan P4TK seperti di Indonesia. Mungkin negara kecil dengan penduduk sekitar
3,5 juta dengan jumlah guru sekitar 33 ribu orang. Secara georgrafis juga hanya merupakan sebuah
pulau kecil, sehingga semua sekolah dapat dijangkau dari NIE.
Secara umum,
pendidikan calon guru di Singapore dapat dibagi menjadi 3 track. Pertama dan yang jumlahnya paling besar
disebut PGDE (Post Graduate Diploma of Education) yang dilakukan di NIE selama
16 bulan. Pesertanya mereka yang sudah
memiliki ijasah universitas dalam bidang ilmu murni, misalnya Matematika,
Teknik Sipil dan sebagainya. Bukan dari
bidang Pendidikan, misalnya Pendidikan Matematika. Jadi mereka belum memiliki bekal sama sekali
tentang bagaimana mengajar.
Sebelum mendaftar ke
PGDE, calon mahasiswa harus menjalani apa yang disebut contract teacher, yaitu
menjadi guru kontrak selama 1 semester di sekolah. Periode ini dirancang untuk semacam
penjajagan apakah yang bersangkutan memang senang menjadi guru dan juga cocok
untuk menjadi guru. Senang artinya
merasa menikmati mengajar, sehingga tidak mudah keluar ketika kelak menjadi
guru. Cocok, artinya yang bersangkutan
punya “bakat” menjadi guru. Oleh karena
itu rekomendasi dari kepala sekolah diperlukan ketika yang bersangkutan melamar
ke PGDE. Kepala sekolah juga tidak
sembarangan memberi rekomendasi, karena dari pengalaman biasanya setelah lulus,
yang bersangkutan dikembalikan menjadi guru di sekolah yang dahulu yang
berangkutan menjadi contract teacher.
Berbekal surat rekomendasi
dari kepala sekolah yang bersangkutan mengikuti serangkaian tes di MoE. Begitu diterima dan mulai mengikuti kuliah,
yang bersangkutan mendapat beasiswa (konon cukup besar dan cukup untuk hidup di
Singapore) dan jika lulus langsung diangkat menjadi guru. Yang melakukan tes MoE dan bukan NIE. NIE tinggal menerima calon mahasiswa yang
dikirim oleh MoE. Pola ini dirancang,
karena yang bersangkutan akan menjadi guru-nya MoE, sehingga MoE yang punya
kewenangan memastikan siapa yang memenuhi standarnya. Info yang saya dapat, pejabat di MoE,
khususnya di bagian pendidikan (disebut wing teaching) dan bukan bagian
pendukung (misalnya keuangan), semuanya mantan guru sehingga mengerti bagaimana
guru yang baik.
Pola pendidikan PGDE menggunakan
pola in-on-in-on. Sebagian di sekolah
dan sebagian di kampus. Diawali dengan perkuliahan awal di kampus selama 2
minggu (in), disambung dengan pengenalan sekolah (3 minggu), disambung lagi
dengan perkuliahan di kampus (in) dan diakhiri dengan praktek mengajar selama
10 minggu di sekolah (on). Karena
mahasiswa PGDE adalah lulusan S1 murni, maka selama perkuliahan mereka
mendapatkan matakuliah yang terkait dengan kependidikan dan kemudian
dilanjutkan dengan PPL sebagai wahana mempratekkannya d sekolah.
Bagaimana jika bekal
bidang studinya kurang? Misalnya ada S1
Teknik Lingkungan yang ingin menjadi guru IPA?
Bagi mahasiwa seperti itu ada program khusus untuk “menambal” bekal
bidang ilmu yang diangga kurang. Program
ini diluar kuliah reguler, sehingga mahasiswa harus bekerja ekstra. Umumnya ditempuh sebelum masuk di program
resmi PGDE.
Pola kedua disebut BSc
(Ed) or BA (Ed) track. Pesertanya
lulusan JC (Junior College), mirip SMA tetapi yang dipersiapkan masuk ke
universitas, berarti anak yang pandai-pandai.
Program ini ditempuh mahasiswa selama 4 tahun, jadi lebih lama dibanding
program S1 (di Singapore disebut bachelor program) yaitu selama 3 tahun. Disebut
program BSc (Ed) atau BA (Ed) bukan Bed, karena mahasiswa mendapatkan materi
bidang studi “setara” dengan S1 murni.
Dengan demikian seakan-akan, program ini penggabungan antara S1 biasa
(BSc ata BA) dengan PGDE.
Pogram ini merupakan
impian MoE Singapore untuk mendapatkan guru yang cerdas dan sekaligus
benar-benar ingin menjadi guru sejak lulusan JC. Yang bisa melamar ke program ini adalah
kelompok terbaik dari lulusan JC dan begitu diterima akan mendapat beasiswa
yang menggiurkan serta langsung diangkat menjadi guru setelah lulus. Selama kuliah juga mendapat kesempatan
mengikuti seminar di negera lain dengan biaya ditanggung negara. Lebih dari
itu, juga mendapat peluang untuk mengikuti program sandwich di negara
maju. Pokoknya program BSc (Ed) atau BA
(Ed) ini merupakan program unggulan, dengan fasilitas mewah.
Namun demikian “kemewahan”
itu juga belum mampu menari minta anak muda di Singapore. Informasi yang saya dapatkan tahun ini
program ini hanya memiliki 52 orang mahasiswa baru, lebih sedikit dari kursi
yang disediakan. Mengapa? Menurut informasi, walaupun gaji guru di
Singapore cukup tinggi dan ketika kuliah mendapatkan fasilitas yang wah,
lulusan JC masih lebih memilih ke profesi lain, yang memang secara finansial
lebih menjanjikan.
Progam ketiga yaitu
Dip Ed (Diploma Kependidikan), khusus untuk guru bidang seni dan olahraga. Mereka cukup menempuh studi dalam 2 tahun dan
ini merupakan program khusus, karena diambil dari mereka yang benar-benar punya
bakat dalam bidang yang sesuai. Guru
seni adalah harus memiliki bakat seni yang menonjol, guru olahraga harus
memiliki bakat olahraga yang menonjok, sehingga dapat menadi contoh bagi
siswanya.
Sebagaimana disebutkan
terdahulu, program pendidikan calon guru, baik PGDE, BSc(Ed)/BA(Ed) maupun Dip
Ed, dilaksanakan di NIE dan sekolah partner. Kerjasama antara NIE dengan
sekolah tampaknya berjalan dengan baik.
Semua dosen NIE, khususnya yang membidangi pendidikan pernah menjadi
guru. Semua guru dan kepala sekolah
adalah mantan mahasiswa NIE. Setiap tahun guru di Singapore wajib mengikuti
pengembangan diri selama 100 jam dan pada umumnya ditangani oleh NIE, sehingga
mereka mengenal satu dengan yang lain, bahkan merasa satu keluarga.
Apakah semua mahasiwa
PGDE, BSc(Ed), BA(Ed) dan Dip ED lulus
dan diangkat menjadi guru? Ternyata hampir semua lulus. Kalau ada yang tidak lulus, itu yang
“keterlaluan” dan biasanya terkait dengan “perilaku” dan bukan karena kemampuan
mengajar. Seleksi yang ketat, pola
contract teacher, pembinaan selama kuliah yang sangat efektif, tampaknya
dirancang agar tidak banyak mahasiswa yang drop dan merugikan keuangan negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar