Prof Gopinatan
adalah penasehat akademik di The Head Foundation Singapore dan adjunct
professor pada Lee Kuan Yew of Public Policy NUS. Dia mantan Dean School of Education Nanyang
Institute of Education NTU. Dari tampilan
fisik, maupun nama, saya menduga beliau keturunan India. Saya mengenal beliau belum lama. Pertama ketemu sambil sarapan padi di hotel
Century sekitar 3 bulan lalu. Kesan
pertama saya, Prof Gopinatan banyak pengalaman dalam bidang pendidikan guru.
Tanggal 15-18
Oktober 2018, saya mendapat kesempatan berpartisipasi dalam workhop di The Head
Foundation, bahkan saya diberi kesempatan mengisi acara itu bersama dengan Prof
Gopinatan. Berinteraksi seharian pada
tanggal 15 Oktober, termasuk makan malam di restoran vegetarian, saya mendapat
kesan mendalam. Bicaranya pelan tetapi
menunjukkan kesugguhan serta bijak, yang menggambarkan pengalamannya yang
panjang, mulai sebagai guru sampai menjadi dekan di NIE, pensiun dan sekarang
aktif sebagai adviser The Head Foundation, sebuah NGO yang bergeran dalam
bidang pendidikan dan peningkatan SDM.
Salah satu
yang sangat berkesan, ketika beliau bercerita tentang keluarganya. Beliau bercerita memulai karir sebagai guru Kimia
dengan kehidupan pas-pasan, dan setahap demi setahap membaik. Anak-anaknya tidak mengalami itu, sehingga
pandangannya berbeda dengan beliau.
Tampaknya beliau ingin mengatakan, daya juang anak sekarang berbeda
dengan generasi beliau karena tidak mengalami susahnya kehidupan.
Pola itu
tampaknya disadari oleh pemerintah Singapore, sehingga secara terprogram
menumbuhkan keyakinan kepada anak-anak Singapore bahwa Singapore itu “tidak
punya apa-apa”, sehingga hanya dapat mengandalkan “kepandaian”. Orang Singapore harus pandai agar bisa
“bersaing” dengan negara lain yang memiliki sumberdaya alam lebih baik. Kesadaran itu tampaknya telah menjadi program
nasional, sebagaimana diuraikan oleh LIM siong Guan, dalam bukunya berjudul
“Can Singapore Fall: Making the Future for Singapore”.
Mendengar cerita
itu, saya jadi ingat “filosofi kejepit”.
Orang rantau pada umumnya lebih sukses dibanding orang lokal. Orang Jawa yang dikenal “malas” ternyata
menjadi rajin dan pekerja keras ketika merantau keluar Jawa. Sebaliknya orang Banjar yang konon juga malas
ketika tinggal di Kalimantan ternyata menjadi pekerja keras ketika hidup di
Jawa.
Mengapa
demikian? Tampaknya “rasa tidak aman”,
takut kelaparan, takut tidak punya apa-apa menyebabkan mereka kerja keras,
memutar otak untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Sementara ketika tinggal di kampung halaman,
mereka merasa aman, toh sudah punya ini dan itu, banyak keluarga di
sekitarnya. Nah, karena merasa aman
tidak tumbuh jaya juang dalam kehidupan sehari-hari.
Saya juga
ingat sebuah lagu yang dibawakan oleh Koes Plus, yang menyebutkan “bukan lautan
hanya kolam susu..........”, yang seakan mengatakan kalau Indonesia sangat
makmur. Semuanya ada, sehingga kita
tidak perlu risau dan secara tidak sadar terselip pesan kita tidak perlu kerja
keras, toh tongkat dan kayu bisa jadi tanaman yang bisa dimakan. Toh, dengan kail saja orang sudah bisa hidup
dengan cukup.
Saya juga
ingat konon, sekali lagi konon, dalam keluarga pengusaha, generasi pertama dan
kedua memiliki daya juang sangat kuat.
Generasi pertama yang memulai, generasi kedua yang membantu generasi
pertama sehingga tahu susah payahnya mengelola usaha. Tiba pada generasi ketika, mereka lahir
ketika usaha sudah besar, sehingga tidak mengalami sulitnya kehidupan bahkan
tinggal menikmatinya. Nah, konon mulai
generasi ketiga inilah daya juang menurun.
Jadi, rasa
aman, tidak pernah mengalami kesulitan hidup dan kondisi seperti itu dapat
membuat daya juang orang tidak kuat.
Pertanyaannya, lha kalau memang kondisi nyatanya seperti itu bagaimana? Misalnya, memang terlahir sebagai anaknya
orang kaya. Memag, terlahir di negara
makmur seperti di Indonesia. Nah, mereka
yang menamakan diri sebagai ahli pendidikan, praktisi pendidikan dan pemerhati
pendidikan, yang harus memikirkan.
Bagaimana menciptakan situasi belajar yang dapat menumbuhkan daya juang.
Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar