Saya yakin pembaca
mengenal restoran De Cost, yang tersebar di berbagai kota. Restoran tersebut punya slogan, kalau tidak
salah “Rasa Bintang Lima, Harga Kaki Lima”.
Slogan itu dipasang di name board restoran, seakan menunjukkan ke orang
lewat “makanlah di Restoran De Cost, karena rasanya top tetapi harganya murah.
Nah, hari ini saya
mengalami mirip slogan itu, tepatnya “Hotel Bintang Lima Makan Kaki Lima”. Ceritanya, saya mengikuti acara workshop yang
diadakan The Head Foundation bersama Word Bank di Singapore. Keberangkatan saya diatur oleh World Bank,
sehingga saya tidak banyak mengurus.
Saya hanya berpesan, dari Surabaya ingin naik Garuda via Jakarta. Via Jakarta, karena memenuhi pesan beberapa
teman yang ingin bareng, sehingga bisa bertemu di bandara Cengkareng dan
terbang sama-sama ke Changi Singapore.
Mengapa naik Garuda, semata-mata karena maskapai milik pemerintah
Indonesia. Dari Surabaya ada dua
peserta, yaitu Bu Lutfi dan Bu Rooselyne, keduanya dari Unesa.
Saya mengingap di
Hotel Grand Park City Hall. Mbak Petra,staf
World Bank, yang memilihkan hotel
tersebut. Saya tidak tahu mengapa
dipilihkan hotel itu, mungkin dicarikan yang dekat tempat acara. Saat Mbah Dyah, staf World Bank, yang biasa
mengurus tiket pesawat dan hotel mengurusnya, ternyata tidak dapat menggunakan
vocher seperti biasanya di dalam negeri.
Oleh karena itu, menggunakan cara reimbers, yaitu saya harus membayar
sendiri terlebih dahulu nanti diganti oleh World Bank. Mbah Dyah mengatakan nanti travel agent BCD
(travel agent langganan World Bank) akan minta nomor kartu kredit.
Ketika Mbak Lidia dari
Travel Agent BCD mengirim email, saya menanyakan apakah room rate hotel
tersebut tidak melampai plafon World Bank.
Maksudnya jangan sampai saya nombok. Aturan Wolrd Bank itu aturan besi,
tidak bisa ditawar sama sekali. Jadi kalau kita nginap di hotel yang tarifnya
diatas plafon harus nomboki kekurangannya. Mbak Lidia meyakinkan bahwa harga
itu masih dalam plafon Word Bank.
Akhirnya saya bilang OK, tanpa melihat berapa harganya.
Saya berangkat dan
menginap di Hotel Grand Park City Hall bersama dengan Bu Lutfiah dan Bu
Rooselyne dari Unesa. Teman-teman dari
Indonesia lainnya menginap di Hotel Robinson. Semula saya tidak tahu mengapa.
Namun, setelah tiba di hotel dan kedua ibu menanyakan room rate (tarif kamar),
saya baru sadar bahwa ternyata sangat mahal.
Dan ternyata hotel tersebut bintang lima, sehingga room ratenya sangat
mahal untuk ukuran orang seperti saya.
Untunglah, saya dibayari oleh World Bank, sehingga mungkin untuk ukuran
mereka harga itu masih normal.
Bu Lutfi dan Bu
Rooselyne risau apakah Unesa mae membayari hotel yang tarifnya mahal. Saya berkelakar, kan ibu satu kamar untuk
berdua, jadi Unesa tentu mau. Kan bisa dianggap separuh tarif per orang. Memang agak repot, jika kemudian dibandingkan
dengan tarif di Indonesia. Apaagi di
Singapore yang terkenal semua mahal.
Toh, banya orang Unesa yang sering ke luar negeri yang tarif hotelnya
juga sangat mahal, misalnya di Jepang.
Moga-moga saja Unesa mengerti, apalagi WR 1 yang menugasi kedua ibu
tersebut, alumni Jerman yang pasti faham tentang tarif hotel di negara lain.
Ketika, sore hari
harus mencari makan malam, saya dengan Bu Lutfi dan Bu Rooselyne menjalankan
slogan pada judul tulisan ini. Ketika keluar dan melihat kiri-kanan, saya baru
faham mengapa tarif hotel tersebut mahal. Karena lokasinya di daerah elit dan
di sekitar hotel-hotel kelas atas. Kemana-mana dekat dan mudah, karena dekat
dengan jalur MRT. Juga banyak mal di
dekat hotel.
Keluar dari hotel
bintang lima, tetapi mencari tempat makan yang yang murah, sehingga terjangkau
oleh saku kami. Itu menjadi tidak mudah, karena di area pusat kota Singapore
tidak mudah menemukan restoran halal dengan harga murah. Pertama kami menemukan food court di basement
sebuah mall dan ramai sekali. Kami masuk
dan ternyata tidak menemukan makanan yang “aman”. Akhirnya kami keluar mencari yang lain.
Bu Lutfi dan Bu
Rooselyne yang sibuk googling mencari rumah makan yang halal. Ditemukan ada Indonesian Halal Food tetapi
jauh. Untungnya ada orang yang membawa
gelas McDonald, sehingga Bu Rooselyne menanyakankan dimana McDonald yang
terdekat. Ternyata cukup dekat, sehingga
kami memutuskan makan malam di McDonald saja.
Jalan kaki sekitar 15 menit.
Sampai di Mc Donal, kami memilih menu yang cocok yang kira-kira dapat
membuat perut kenyang. Tidak ada nasi,
sehinga akhirnya memilih menu kentang goreng plus chiken wing dan minuman
coklat panas dengan harga 6 dolar satu porsi atau sekitar 70 rb rupiah. Harga kali lima untuk ukuran Singapore. Jadilah tidur di Hotel Bintang Lima tetapi
Makan di Kaki Lima.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar