Salah satu keinginan
saya ke Spanyol adalah untuk mengunjungi “masjid Cordoba” yang sekarang menjadi
obyek wisata terkenal. Mengenang
kejayaan Islam di masa lalu. Yang pernah
saya baca di Wikipedia, masjid tersebut dibangun pada masa Dinasti Umayyah,
namun setelah Islam kalah perang wilayah tersebut dikuasai oleh bangsa Spanyol
yang beragama Kristem, masjid tersebut diubah fungsinya menjadi Katedral Gotik
beberap bagian direnovasi dengan gaya arsitektur Moor.
Oleh karena itu begitu
mendapat kesempatan mengikuti TVET International Conference di Valencia Univ,
saya mengatur waktu ada sebelumnya dapat ke Cordoba. Saya terbang dari Edinbrugh Sabtu tgl 27
April pagi-pagi dan mendarat di Malaga sekitar pukul 11 waktu setempat. Selanjutnya naik kereta api ke Cordoba
setelah makan siang dulu di stasiun Malaga.
Sampai Cordoba sudah sore, sekitar pukul 15an. Turun dari kereta disambung dengan taksi yang
hanya bisa berhenti di tepi jalan, karena penginapan saya di Jewis centre,
kawasan yang konon dahulu daerah kaum Yahudi.
Lokasinya di gang sempit dan mobil tidak dapat masuk. Jadi saya, anak dan menantu mesti jalan
sekitar 50 meter sambal menarik koper.
Sorenya istirahat sambil mencari informasi tentang Cordoba.
Kami dapat informasi
kalau ada tradisi tidur siang di masyarakat Spanyol. Infonya semua toko dari kantor tutup anatara
jam 13.00 s.d 17.00, karena orangnya istirahat tidur siang. Mendengar informasi itu, saya jadi teringat
diskusi antara Ustad Taufiq AB dengan Pak Latif Burhan sekian tahun lalu. Pak Taufiq menyampaikan kalau Nabi Muhammad
biasa tidur siang dan itu baik bagi kesehatan.
Sebaliknya Pak Latif mengatakan tidur siang itu dilarang, masak di jam
kantor tidur. Mungkinkah kebiasaan itu yang sekarang menjadi tradisi di
Cordoba, mengingat Cordoba dahulu merupakan ibukota Spanyol di era Islam.
Apa kaitannya tidur
siang dengan pergi ke masjid Cordoba?
Saya takut jam 13.00 masjid ditutup, sedangkan jam 09.00 baru
dibuka. Apalagi informasinya pengunjung
sangat banyak dan harus antri waktu masuk. Juga jumlah orang di dalam masjid
dibatasi, sehingga jika dirasa penuh pengunjung lain diharuskan menunggu di
luar dahulu. Oleh karena itu kami
memutuskan untuk ke masjid Cordoba pagi-pagi. Kami berangkat jam 08.10 dengan
harapan dapat masuk rombongan pertama. Dan betul, pada pukul 08.45an kami sampai ke
gerbang sudah ada sekitar 20 orang yang antri, pada hal pintu belum dibuka,
sehingga saya dengan istri, anak dan menantu masuk rombongan pertama.
Setelah membeli tiket,
kami masuk ke dalam masjid. Sepertinya
pintu utama yang asli ditutup, dan pengunjung masuk melalui pintu samping yang
paling kanan. Begitu masuk, saya
menyadari betapa megah masjid Cordoba.
Sebagai bangunan yang dibuat pada abda ke 8, menurut saya sudah sangat
megah. Pola bangunan ada kemiripan
dengan masjidil haram, dengan lengkungan-lengkungan antar tiang yang terbuat
dari marmer.
Melihat ornamen masjid, tampak sekali dominasi kritiasi, karena banyak hiasan lukisan dan
patung seperi lazimnya gereja. Saya berusaha mencari peninggalan Islam yang
khas dan menemukan lokasi imaman (tempat imam sholat). Masih utuh, tetapi dipagari besi dan ada
penjaga di dekatnya. Tidak boleh lagi
sholat di situ. Lama saya berdiri dan
merenung, mencoba berkotemplasi bagaimana situasi saat masjid masih berfungsi
dahulu. Jantung saya terasa berdegub. Saya membayangkan betapa perjuangan untuk
membangun masjid sebesar itu di abad ke depalan yang tentunya teknologi masih
sederhana. Lantai masjid dari
marmer,begitu pula tiangnya, yang tentu harganya mahal dan pembuatannya tidak
mudah.
Di dekat imaman ada semacam
batu putih tipis selebar 1 x 2 meter bertuliskan huruf Arab gundul yang jujur
saya tidak dapat membacanya. Artefak itu
ditutupi dengan kaca, sehingga pengunjung hanya dapat melihat dari jarak
sekitar 2 meter. Di dekatnya juga ada
“jam matahati” yang ditempelkan di tembok.
Sayang tidak dapat dilihat berfungsi atau tidak, karena didekatnya ada
lampu, sehingga banyangan yang tampak di jam itu bukan dari sinar matahari
melainkan dari lampu tersebut.
Kira-kita ditengah
masjid, saya menjumpai sesuatu yang saya duga itulah tanda utama bahwa masjid
diubah fungsinya menjadi katedral. Sepertinya ada bagian masjid yang dibongkar
dan disitu dibuat semacam mihrab tempat pastur menyampaikan kotbah. Tampak
sekali ornamen asli masjid yang tentu bernuasa Islam dan ornament gereja yang
dihiasi gambar dan patung. Lantai mihrab
maupun atapnya dibuat lebih tinggi. Atap
bagian mihrab itu sangat mungkin dibuat dengan memotong atap masjid yang asli,
karena langit-langitnya jauh lebih tinggi dibanding langit-langit masjid
aslinya.
Di dekat mihrab itu
saya menjumpai kursi berderat dan dipagari dengan tali merah. Ternyata lokasi itu untuk acara
kebaktian. Ada tiga lokasi seperti
itu. Saya tidak dapat informasi apakah
dibuat tiga karena ada tiga ordo yang berbeda.
Yang jelas dengan adanya tanda itu berarti masjid itu masih berfungsi sebagai gereja,
walupun sampai saja keluar sekitar pukul 11an tidak ada aktivitas
kebaktian.
Di dinding sekeliling
masjid, kecuali sekitar imaman, semuanya menuasa kristiasi yang dipenuhi dengan
gambar dan patung-patung. Namun demikian
jika melihat ke tengah nuansa masjid masih tampak dominan. Bentuk tiang dan penyangga atap lekat dengan
bentuk masjid. Ruangan besar yang datar
tanpa pembatas juga merupakan bentuk khas masjid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar