Karena baru pertama ke
Spanyol dan tahu tentang Spanyol hanya dari bacaan yang sangat terbatas, maka
saya ingin sekali melihat tradisi keseharian orang Spanyol. Oleh karena itu begitu ada informasi bahwa di
Cordoba ada Sunday Market (Pasar setiap hari Minggu) saya langsung ingin
melihatnya. Apalagi informasinya di pasar itu ada sekitar 240 stan dan dijual
berbagai barang produk lokal. Jarak tempat tinggal dengan pasar tersebut hanya
sekitar 25 menit jalan kaki, sehingga terjangkau dengan jalan kaki
pelan-pelan. Suhu udara saat itu juga
sekitar 27-30 derajat sehingga sudah biasa bagi orang Surabaya.
Kami, saya, isteri,
Kiki dan Roy jalan kaki pelan-pelan ke Sunday Market sambil lihat-lihat kiri
kanan. Mencermati orang yang lalu
lalang, saya mendapat kesan bahwa wajah orang Spanyol ada nuansa Timur Tengah-nya. Saya juga menjumpai nama-nama yang bernuasa
Arab, misalnya Al Manzor (nama hotel), Haman (nama salon) dan sebagainya. Bahkan ketika makan malam di restoran kecil
dekat tempat tinggal juga ada menu yang “Arabic”. Mungkin itu akulturasi selama
2 abad Islam memerintah di Spanyol dan Cordoba merupakan ibukota negara saat
itu.
Bahwa warna kulit
orang Spanyol lebih “gelap” dibanding orang Belanda dan Inggris saya faham. Bahwa rambut orang Spanyol cenderung hitam
dan tidak pirang atau merah seperti orang Jerman dan Skotlandia saya faham,
tetapi yang saya lihat wanita di Spanyol lebih “modis” bahkan lebih di banding
orang Perancis, apalagi orang Jerman yang tidak pernah pakai lipstik. Wanita Spanyol dandan pakai lipstik, alis dan
sebagainya. Mereka cenderung mengenakan
pakaian yanh ketat dan terbuka, bahkan banyak jalan-jalan memakai laging dan
kaos ketat, sehingga lekuk-lekuk badannya kelihatan. Itu tidak hanya untuk anak-anak remaja,
tetapi juga ibu-ibu yang sudah berumur.
Cordoba merupakan
daerah wisata, sehingga di hari Senin juga sangat banyak wisatawan. Namun saya
menangkap yang banyak wisatawan lokal, karena dari bahasanya saya menangkap
mereka umumnya berbicara bahasa Spanyol.
Sepanjang jalan, kiri-kanan dipenuhi toko souvenir dan restoran
kecil-kecil. Kata Kiki, orang Spanyol
biasa jalan-jalan dan ketika capai terus duduk dan minum atau makan makanan
kecil. Mungkin itu yang menyebabkan
banyaknya restoran-restoran kecil sepanjang jalan. Bahkan banyak yang tempat makan/minumnya di
halaman atau tempat terbuka dengan diberi payung-payung dari kain yang dapat
dibuka-tutup.
Kami sempat melewati
sebuah gereja dan tampaknya ada pernikahan atau pesta apa, karena di depannya
banyak orang berpakaian resmi (jas) dan para wanitanya dandan lengkap. Namun yang mengherankan sampai saya pulang
orang-orang masih banyak yang berdiri di depan pintu gereja itu. Apakah ada beberapa pernikahan (ingat saya
disebut pemberkatan) yang bergantian atau ada kebaktian atau acara lain, jujur
saya tidak tahu. Yang menarik, saat kami
makan siang di restoran kecil depan gereja itu, banyak orang yang tadinya
berdiri di depan pintu gereja dengan pakaian lengkap, kemudian juga makan di
tempat kami makan.
Sampai di pasar, saya
menjumpai sesuatu yang menarik. Stan
untuk jualan hanya berupa stan darurat dengan atap kain persis stan kaki lima
di Surabaya. Antara stan satu dengan lainnya
juga tidak ada pembatas yang jelas. Jadi
batasnya ya, hanya berupa lorong kecil sekitar 1 meteran. Yang dijual sangat beragam. Sayur mayor, buah-buahan, makanan atau
camilan khas Spanyol, baju, sepatu, dan sejeneisnya. Mirip pasar Pucang di Surabaya.
Yang sangat menarik,
penjualkan beteriak-teriak menawarkan dangannya. Oleh karena itu suasana pasar jadi riuh. Apalagi juga terjadi tawar menawar antara
pembeli dan penjual. Ketika isteri saya membeli buah zaitun yang diasinkan dan
asinan dari timun khas Spanyol ditawari untuk ngicipi. Kami juga menemui
penjual asparagus yang menjajakan dagangannya dalam gerobak di tengah jalan
sambil teriak-terak menawarkan. Mirip pasar Kliwon di Ponorogo.
Apakah pasar itu ada setiap
hari? Ternyata tidak, dan hanya ada pada
hari Minggu. Pada hari lain tempat itu
menjadi lapangan terbuka dan seringkali untuk parkir mobil. Lantas para penjual itu di hari lain kerja
apa? Tidak ada informasi yang jelas, ada
yang mengatakan memang seperti tradisinya, sehingga di hari lain penjual
mengerjakan pekerjaan lain. Namun
jawaban ini sudah dinalar, lha kalau sayuran atau buah-buahan tidak habis dan
harus menunggu satu minggu lain pastilah akan rusak. Ada informasi ada pasar di tempat lain pada
hari-hari lain. Mirip seperti di
Jakarta, ada pasar Minggu, pasar Senin dan seterusnya yang konon di masa lalu
hanya pada hari-hari itu pasarnya buka.
Mirip di Ponorogo, kampung saya, ada pasar Kliwon di dekat rumah yang
hanya ramai di hari Kliwon, ada pasa Legi di pusat kota yang hanya ramai di
hari Legi. Hari-hari itu disebut “dino
pasaran” atau hari waktu pasar ramai.
Apa memang tradisi pasar di Cordoba sama dengan di Indonesia? Jujur saya tidak mendapatkan informasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar