Bulan Juni lalu,
khalayak pendidikan diributkan oleh berita tentang PPDB (Penerimaan Peserta
Didik Baru) Zonasi. Di Surabaya dan
beberapa daerah lain bahkan terjadi demonstrasi. Akhirnya Kemendikbud merevisi Permendikbud
No. 51/2018 yang digunakan sebagai dasar pelaksanaan PPDB Zonasi. Melalui Surat Edaran No. 3/2019, proporsi
siswa jalur prestasi yang semula maksimal 5% dinaikkan menjadi 15%, sedangkan
jalur zonasi yang semula minimal 90% diturunkan menjadi 80%. Detik.com menginformasikan kalau Gibernur
Jawa Tengah “memodifikasi” proporsi tersebut menjadi 60% untuk zonasi, 20%
untuk prestasi, dan 20% untuk kepindahan orang tua. Apakah perubahan proporsi tersebut meredakan
kegelisahan orangtua? Jujur, saya tidak
tahu.
Seingat saya, PPDB
dengan zonasi sudah dilakukan tahun lalu dan juga terjadi keresahan, walaupun
tidak sebesar sekarang. Saya juga sudah menulis tentang itu di blok ini pada 27
September 2017 dengan judul Kebijakan Zonasi dalam PPDB. Tulisan ini dimaksudkan untuk melengkapi
tulisan tersebut dengan beberapa konsep yang mendasar.
Menurut saya, PPDB Zonasi
bukanlah tujuan melainkan alat (means) untuk mencapai tujuan yang sering
disebut Pak Mendikbud yaitu pemerataan mutu pendidikan. Kebijakan baik yang
layak didukung. Dalam konteks ini, kata ”pemerataan”
tidak dimaknai seperti meratakan lahan saat akan membangun gedung, dengan
mengurangi yang tinggi dan menaikkan yang rendah sehingga ketinggian lahan sama
di semua titik. Namun semua siswa mampu
berprestasi optimal, sementara mutu sekolah tidak jauh berbeda satu dengan yang
lain.
Penelitian
John Hettie (2011) menemukan prestasi siswa itu 49% dipengaruhi oleh kemampuan
dasar yang dimiliki, 7% oleh orangtua, 30% oleh guru, 7% oleh sekolah, dan 7%
oleh teman bermain. Dengan asumsi bahwa
tingkat sosial ekonomi masyarakat terdistribusi merata menurut zonasi tempat
tinggalnya, kebijakan PPDB Zonasi akan mendistrbusikan potensi 49% + 7% = 56%
potensi peserta didik, yaitu dari kemampuan dasar dan tingkat sosial ekonomi
orangtua. Untuk konteks Indonesia,
mungkin asumsi bahwa tingkat sosial ekonomi orangtua terdistribusi secara
geografis itu yang perlu diuji. Di beberapa
kota umumnya lokasi perumahan itu seperti tersegmentasi. Ada perumahan kelas atas, kelas menengah dan
kelas bawah. Ada juga kantong-kantong kampung
lama yang umumnya merupakan tempat tinggal masyarakat tingkat menengah ke
bawah. Keluarga muda yang berasal dari
kampung lamapun kalau sudah “berhasil” cenderung bertempat tinggal di perumahan
baru. Mungkin ingin berada di lingkungan
yang sesuai dengan tingkat sosial ekonominya.
Yang lebih repot kalau
kemudian sekolah-sekolah yang saat ini bagus berada di lokasi perumahan elit
atau kelas menengah, sementara sekolah di lokasi kampung lama atau perumahan
sederhana mutunya belum bagus. Di
kabupaten diluar kota besar seperti Ponorogo, Bojonegori dan semacam itu, umumnya
sekolah yang bagus berada di kota, sedangkan sekolah-sekolah ke desa dan kecamatan
luar kota umumnya belum bagus mutunya.
Oleh karena itu, pembuatan zonasi dalam PPDB harus memperhatikan peta
mutu sekolah dan tingkat sosial ekonomi masyarakat, sehingga anak-anak dari
masyarakat sosial ekonomi rendah juga punya peluang masuk ke sekolah yang
bermutu baik.
Yang berdemo, dugaan
saya adalah orangtua yang tingkat ekonominya menengah ke bawah tetapi peduli
pada pendidikan anaknya. Ketika rumah
mereka tidak berada di zona sekolah yang “baik”, mereka merasa kehilangan
kesempatan. Apalagi jika mereka merasa
sulit untuk bersaing di kuota 5% jalur prestasi. Saya dapat informasi yang berdemo itu
termasuk beberapa guru, karena guru umumnya termasuk kategori masyarakat kelas
menengah tetapi sangat peduli pada penddikan anaknya.
Bukankah dengan
anak-anak mereka masuk ke sekolah di zonanya yang sekolah mutunya belum bagus
akan membuat sekolah tersebut menjadi bermutu?
Betul tetapi tentu perlu waktu, mungkin lima sampai sepuluh tahun,
sehingga mereka merasa anaknya akan menjadi tumah sebagai pendongkrak mutu
sekolah di zonanya. Mungkin kita
mengatakan, memang setiap kebijakan memerlukan pengorbanan.
Lantas adakah cara
untuk mengurangi pengorbanan tersebut, sekaligus menghindari keresahan orangtua? Menurut saya ada yaitu afirmasi dukungan
terhadap sekolah yang mutunya belum bagus.
Pemerintah perlu fokus membantu sekolah-sekolah yang mutunya belum
bagus, khususnya yang berada di desa dan zona masyarakat kelas menengah ke
bawah. Sekolah-sekolah di pedesaan dan
zona perumahan kelas menengah ke bawah perlu diberi perhatian, agar anak-anak
di zona tersebut dididik oleh guru yang bagus dengan sarana yang bagus pula. Jika mungkin afirmasi dilakukan lebih dahulu
sebelum PPDB Zonasi diberlakukan secara ketat. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar