Mendikbud Nadiem
Makarim membuat gebrakan kedua, dengan meluncurkan program “Kampus Merdeka”. Jika merdeka belajar, lebih diarahkan kependidikan
dasar dan menengah, Kampus Merdeka diarahkan kependidikan tinggi. Menurut Mendikbud
mahasiswa berkuliah di program studinya (prodinya) cukup 5 semester saja atau setara
dengan 100 sks, sedangkan sisanya sekitar 40 sks dapat ditempuh pada prodi lain
atau fakultas lain atau bahkan perguruan tinggi lain atau magang di dunia
kerja. Untuk yang 40 sks itu mahasiswa bebas memilih matakuliah apa atau pengalaman
apa yang ingin dipelajari, sesuai dengan rencananya ke depan setelah lulus.
Kampus Merdeka memberikan keleluasaan kepada mahasiswa untuk menentukan
apa yang ingin dipelajari dan bagaimana cara belajar yang diyakini paling baik.
Menggunakan pemikiran Lisa Marie Blaschke (2012) kebijakan Kampus Merdeka tersebut
menerapkan prinsip heutagogi. Jika ini benar, berarti Kampus Merdeka mengubah konsep
pembelajaran di perguruan tinggi yang selama ini diterapkan, yaitu , dari andragogi
ke heutagogi. Jika pada andragogi pendidikan
diarahkan untuk membentuk kompetensi (competency
development), pada heutagogi pendidikan diarahkan untuk membangun kemampuan
(capability development), sehingga lulusan
dapat mengembangkan diri sesuai dengan tuntutan kehidupannya.
Pola pembelajaran di heutagogi menerapkan prinsip self determined, sehingga mahasiswa menentukan
sendiri matakuliah yang ingin ditempuh dan bagaimana cara belajarnya. Konskuensinya,
mahasiswa harus menerapkan double loop
learning (Chris Argyris, 1976). Artinya dapat melakukan refleksi, apakah yang
dipelajari sesuai dengan yang dia inginkan atau tidak. Jika tidak, mereka harus berani mencari
alternatif penggantinya. Dengan kata lain, mahasiswa harus mampu menerapkan prinsip
meta kognisi dalam belajar.
Jika pemaknaan ini benar, maka diperlukan perubahan mendasar dari
dua sisi, yaitu pola pikir mahasiswa dan pola pikir kalangan perguruan tinggi. Mahasiswa
sejak awal masuk kuliah sudah harus tahu dan memutuskan profesi apa atau karier
apa yang diinginkan setelah lulus. Mereka juga harus mencari informasi kompetensi
apa yang diperlukan untuk menekuni karier tersebut. Berdasar informasi itu,
yang bersangkutan memilih mata kuliah apa yang harus diikuti, di program studi atau
fakultas atau perguruan tinggi mana, mata kuliah tersebut tersedia. Dan apakah ada
kompetensi yang lebih baik dipelajari di dunia kerja.
Dunia Maya
Di era keterbukaan informasi, informasi yang terkait dengan profesi
dan perguruan tinggi serta perusahaan dapat diperoleh dengan mudah di dunia
maya. Masalahnya, apakah calon mahasiswa
yang baru lulus SMA itu mampu dan terbiasa untuk mencari data tersebut dan
menganalisisnya. Apakah mereka sudah dapat menentukan pilihan tersebut.
Wawancara dengan siswa SMA dan guru BK menunjukkan pada
umumnya siswa SMA belum memutuskan karier yang ditekuni setelah dewasa. Pemilihan program studi maupun perguruan tinggi
tempat kuliah lebih banyak didasarkan pada tingkat kefavoritan perguruan tinggi,
hasil diskusi dengan teman dan dorongan orangtua. Bagi lulusan SMA, yang penting kuliah di
Universitas yang bergengsi, soal prodi itu tidak penting.
Dengan demikian, penerapan kampus merdeka pada akhirnya berimplikasi
pada pendidikan di SMA. Di SMA siswa sudah dipandu dan didorong untuk menentukan
karier ke depan. Bahkan mata pelajaran yang harus ditempuh di SMA juga harus disesuaikan
dengan bidang karier tersebut. Jika siswa
memutuskan akan menempuh karier di bidang Keteknikan misalnya, mereka harus konsentrasi
pada mata pelajaran Matematika dan Fisika. Sedang jika siswa akan menekuni bidang
Kesehatan, mereka harus konsentrasi pada mata pelajaran Biologi dan Kimia. Dengan demikian pola penjurusan di SMA saat ini perlu ditinjau kembali, paling tidak ada peminatan di dalam penjerusan yang selama ini berlaku.
Kalangan perguruan tinggi juga harus mau mengubah pola pikirnya
mulai seleksi masuk perguruan tinggi sampai pengaturan organisasi perkuliahan. Menyamakan materi tes masuk calon mahasiswa
Teknik dan Kedokteran tentu tidak tepat.
Demikian halnya menyamakan materi tes masuk calon mahasiwa Ilmu Ekonomi
dengan Sastra Inggris. Seleksi masuk perguruan tinggi yang selama ini hanya memilah
menjadi Bidang Sains dan Humaniora perlu ditinjau kembali. Paling tidak perlu pembobotan yang mempertimbangkan hubungan antara matapelajaran yang diujikan dengan program studi yang dipilih calon mahasiswa.
Kalangan perguruan tinggi harus menerima kenyataan bahwa
dunia kerja berubah dengan cepat dan cenderung kemultidisiplin. Ego keilmuan di prodi yang biasanya sangat kental
harus diturunkan. Jurusan dan program
studi harus diperjelas tugasnya. Jurusan harus didudukkan sebagai unit sumber,
sedangkan program studi didudukkan sebagai unit layanan perkuliahan.
Sebagai unit sumber yang memiliki dosen dan laboratorium,
tugas utama jurusan meningkatkan keprofesionalan dosen dalam melaksanakan pengembangan
ilmu. Sedangkan perkuliahan diurus oleh
program studi. Program studi harus konsentrasi pada layanan, agar mahasiswa mendapatkan
perkuliahan yang menjadi bekal menekuni karier yang diinginkan. Dapat saja,
kurikulum di suatu program studi merupakan lintas jurusan, karena matakuliah di program
studi tersebut berasal lebih dari satu cabang
keilmuan. Jika mahasiswa memutuskan ingin menekuni karier di bidang bisnis kuliner
memerlukan kompetensi masak-memasak, manajemen dan lainnya. Mungkin yang bersangkutan terdaftar sebagai mahasiswa
prodi Tata Boga, tetapi mengambil mata kuliah di prodi manajemen, di prodi sistem
informasi dan sebagainya. Dengan demikian
posisi program studi tidak lagi sebagai “anak”dari jurusan seperti sekarang ini.
Diperlukan persiapan matang
Meramu berbagai mata kuliah yang berasal dari beberapa disiplin
ilmu bukan perkara mudah. Apalagi jika harus
dikontekskan dengan karier yang diinginkan mahasiswa. Contextual Project Based Learning (CPBL)
(Kwietniewski, 2017) menjadi salah satu pendekatan yang cocok. CPjBL dapat diwujudkan mata kuliah sebagai wahana
bagi mahasiwa berlatih memecahkan masalah secara kreatif (creative problem
solving) secara interdisiplin untuk bidang yang nantinya akan ditekuni.
Bahkan juga dapat menjadi wahana belajar cross culture
collaboration, jika proyek tersebut dikerjakan secara kelompok mahasiswa lintas
prodi dan lintas universitas. Namun harus disadari bahwa dosen yang biasanya berkutat
pada mono disiplin tidak terbiasa dengan CPjBL yang interdisiplin. Diperlukan
masa transisi dan bahkan keterlibatan praktisi untuk mengasuh mata kuliah tersebut.
Jadi, gagasan Kampus Merdeka yang menerapkan konsep heutagogi
memerlukan persiapan matang dalam pelaksanaannya. Tidak hanya menyangkut dosen,
tetapi juga calon mahasiswa. Tidak hanya di perguruan tinggi tetapi juga di SMA.
Jika tidak, maka gagasan tersebut hanya akan menjadi angan-angan,
karena pasal 15 ayat (1) Permendikbud Nomer 3 Tahun 2020 yang mengatur itu menyebut
pola perkuliahan “dapat” dilaksanakan di dalam prodi dan di luar prodi. Artinya, tidak salah jika semua perkuliahan dilaksanakan
di dalam prodi seperti yang berjalan selama ini.