Rabu, 08 April 2020

KAMPUS MERDEKA, DARI ANDRAGOGI KE HEUTAGOGI?


Mendikbud Nadiem Makarim membuat gebrakan kedua, dengan meluncurkan program “Kampus Merdeka”.  Jika merdeka belajar, lebih diarahkan kependidikan dasar dan menengah, Kampus Merdeka diarahkan kependidikan tinggi. Menurut Mendikbud mahasiswa berkuliah di program studinya (prodinya) cukup 5 semester saja atau setara dengan 100 sks, sedangkan sisanya sekitar 40 sks dapat ditempuh pada prodi lain atau fakultas lain atau bahkan perguruan tinggi lain atau magang di dunia kerja. Untuk yang 40 sks itu mahasiswa bebas memilih matakuliah apa atau pengalaman apa yang ingin dipelajari, sesuai dengan rencananya ke depan setelah lulus.
Kampus Merdeka memberikan keleluasaan kepada mahasiswa untuk menentukan apa yang ingin dipelajari dan bagaimana cara belajar yang diyakini paling baik. Menggunakan pemikiran Lisa Marie Blaschke (2012) kebijakan Kampus Merdeka tersebut menerapkan prinsip heutagogi. Jika ini benar, berarti Kampus Merdeka mengubah konsep pembelajaran di perguruan tinggi yang selama ini diterapkan, yaitu , dari andragogi ke heutagogi.  Jika pada andragogi pendidikan diarahkan untuk membentuk kompetensi (competency development), pada heutagogi pendidikan diarahkan untuk membangun kemampuan (capability development), sehingga lulusan dapat mengembangkan diri sesuai dengan tuntutan kehidupannya. 
Pola pembelajaran di heutagogi menerapkan prinsip self determined, sehingga mahasiswa menentukan sendiri matakuliah yang ingin ditempuh dan bagaimana cara belajarnya. Konskuensinya, mahasiswa harus menerapkan double loop learning (Chris Argyris, 1976). Artinya dapat melakukan refleksi, apakah yang dipelajari sesuai dengan yang dia inginkan atau tidak.  Jika tidak, mereka harus berani mencari alternatif penggantinya. Dengan kata lain, mahasiswa harus mampu menerapkan prinsip meta kognisi dalam belajar.

Jika pemaknaan ini benar, maka diperlukan perubahan mendasar dari dua sisi, yaitu pola pikir mahasiswa dan pola pikir kalangan perguruan tinggi. Mahasiswa sejak awal masuk kuliah sudah harus tahu dan memutuskan profesi apa atau karier apa yang diinginkan setelah lulus. Mereka juga harus mencari informasi kompetensi apa yang diperlukan untuk menekuni karier tersebut. Berdasar informasi itu, yang bersangkutan memilih mata kuliah apa yang harus diikuti, di program studi atau fakultas atau perguruan tinggi mana, mata kuliah tersebut tersedia. Dan apakah ada kompetensi yang lebih baik dipelajari di dunia kerja.

Dunia Maya
Di era keterbukaan informasi, informasi yang terkait dengan profesi dan perguruan tinggi serta perusahaan dapat diperoleh dengan mudah di dunia maya.  Masalahnya, apakah calon mahasiswa yang baru lulus SMA itu mampu dan terbiasa untuk mencari data tersebut dan menganalisisnya. Apakah mereka sudah dapat menentukan pilihan tersebut.
Wawancara dengan siswa SMA dan guru BK menunjukkan pada umumnya siswa SMA belum memutuskan karier yang ditekuni setelah dewasa.  Pemilihan program studi maupun perguruan tinggi tempat kuliah lebih banyak didasarkan pada tingkat kefavoritan perguruan tinggi, hasil diskusi dengan teman dan dorongan orangtua.  Bagi lulusan SMA, yang penting kuliah di Universitas yang bergengsi, soal prodi itu tidak penting.
Dengan demikian, penerapan kampus merdeka pada akhirnya berimplikasi pada pendidikan di SMA. Di SMA siswa sudah dipandu dan didorong untuk menentukan karier ke depan. Bahkan mata pelajaran yang harus ditempuh di SMA juga harus disesuaikan dengan bidang karier tersebut.  Jika siswa memutuskan akan menempuh karier di bidang Keteknikan misalnya, mereka harus konsentrasi pada mata pelajaran Matematika dan Fisika. Sedang jika siswa akan menekuni bidang Kesehatan, mereka harus konsentrasi pada mata pelajaran Biologi dan Kimia.  Dengan demikian pola penjurusan di SMA saat ini perlu ditinjau kembali, paling tidak ada peminatan di dalam penjerusan yang selama ini berlaku.
Kalangan perguruan tinggi juga harus mau mengubah pola pikirnya mulai seleksi masuk perguruan tinggi sampai pengaturan organisasi perkuliahan.  Menyamakan materi tes masuk calon mahasiswa Teknik dan Kedokteran tentu tidak tepat.  Demikian halnya menyamakan materi tes masuk calon mahasiwa Ilmu Ekonomi dengan Sastra Inggris. Seleksi masuk perguruan tinggi yang selama ini hanya memilah menjadi Bidang Sains dan Humaniora perlu ditinjau kembali.  Paling tidak perlu pembobotan yang mempertimbangkan hubungan antara matapelajaran yang diujikan dengan program studi yang dipilih calon mahasiswa.
Kalangan perguruan tinggi harus menerima kenyataan bahwa dunia kerja berubah dengan cepat dan cenderung kemultidisiplin.  Ego keilmuan di prodi yang biasanya sangat kental harus diturunkan.  Jurusan dan program studi harus diperjelas tugasnya. Jurusan harus didudukkan sebagai unit sumber, sedangkan program studi didudukkan sebagai unit layanan perkuliahan.
Sebagai unit sumber yang memiliki dosen dan laboratorium, tugas utama jurusan meningkatkan keprofesionalan dosen dalam melaksanakan pengembangan ilmu.  Sedangkan perkuliahan diurus oleh program studi. Program studi harus konsentrasi pada layanan, agar mahasiswa mendapatkan perkuliahan yang menjadi bekal menekuni karier yang diinginkan. Dapat saja, kurikulum di suatu program studi merupakan lintas jurusan, karena matakuliah di program studi tersebut berasal  lebih dari satu cabang keilmuan. Jika mahasiswa memutuskan ingin menekuni karier di bidang bisnis kuliner memerlukan kompetensi masak-memasak, manajemen dan lainnya.  Mungkin yang bersangkutan terdaftar sebagai mahasiswa prodi Tata Boga, tetapi mengambil mata kuliah di prodi manajemen, di prodi sistem informasi dan sebagainya.  Dengan demikian posisi program studi tidak lagi sebagai “anak”dari jurusan seperti sekarang ini.

Diperlukan persiapan matang
Meramu berbagai mata kuliah yang berasal dari beberapa disiplin ilmu bukan perkara mudah.  Apalagi jika harus dikontekskan dengan karier yang diinginkan mahasiswa.  Contextual Project Based Learning (CPBL) (Kwietniewski, 2017) menjadi salah satu pendekatan yang cocok.  CPjBL dapat diwujudkan mata kuliah sebagai wahana bagi mahasiwa berlatih memecahkan masalah secara kreatif (creative problem solving) secara interdisiplin untuk bidang yang nantinya akan ditekuni.
Bahkan juga dapat menjadi wahana belajar cross culture collaboration, jika proyek tersebut dikerjakan secara kelompok mahasiswa lintas prodi dan lintas universitas. Namun harus disadari bahwa dosen yang biasanya berkutat pada mono disiplin tidak terbiasa dengan CPjBL yang interdisiplin. Diperlukan masa transisi dan bahkan keterlibatan praktisi untuk mengasuh mata kuliah tersebut.
Jadi, gagasan Kampus Merdeka yang menerapkan konsep heutagogi memerlukan persiapan matang dalam pelaksanaannya. Tidak hanya menyangkut dosen, tetapi juga calon mahasiswa. Tidak hanya di perguruan tinggi tetapi juga di SMA. 
Jika tidak, maka gagasan tersebut hanya akan menjadi angan-angan, karena pasal 15 ayat (1) Permendikbud Nomer 3 Tahun 2020 yang mengatur itu menyebut pola perkuliahan “dapat” dilaksanakan di dalam prodi dan di luar prodi.  Artinya, tidak salah jika semua perkuliahan dilaksanakan di dalam prodi seperti yang berjalan selama ini.

1 komentar:

Leni yang mengatakan...

Pecinta drakor jangan lupa nonton drakor terbaru Itaewon Class disini!!!